Dampak Omnibus Law bagi Pekerja

Jumat, 25 November 2022 | 07:41 WIB
0
126
Dampak Omnibus Law bagi Pekerja
ilustrasi oleh th.boell.org

Kesejahteraan pekerja menjadi isu yang krusial untuk diperbincangkan dan diangkat sebagai diskursus. Bukan hanya tentang  pekerja sebagai sumber daya yang menentukan ke arah mana kemajuan ekonomi suatu negara, pekerja juga merupakan pihak yang hak-haknya mesti dipenuhi serta dilindungi.  Di Indonesia, pekerja atau buruh masih menemui beragam masalah dalam pemenuhan hak-haknya, baik dari segi kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah, maupun eksekusi yang berada di tangan para pengusaha yang mempekerjakan para buruh.

Dalam praktiknya, kesejahteraan buruh di Indonesia masih meninggalkan celah-celah rumpang untuk dibenahi, regulasi yang ada tak mampu menjadi tembok yang cukup kokoh untuk melindungi buruh dari ketidakadilan, malah regulasi yang ada justru menjadi jalan bagi fleksibelnya kesewenang-wenangan terhadap buruh selaku pihak yang lemah dalam keberadaan relasi kuasa.   

Adalah undang-undang cipta kerja booming pada tahun 2020 lalu, ada beberapa kejanggalan dimata masyarkat tentang UU Cipta Kerja 2020 ini. UU Cipta Kerja yang merupakan produk pertama dari metode Omnibus Law. Omnibus Law merupakan sebuah metode dalam pembentukan Undang-undang yang meringkas beberapa undang-undang menjadi satu. Omnibus law digunakan oleh pemerintah dengan tujuan meringkas undang-undang di Indonesia yang sudah mengalami obesitas konstitusi.

Obesitas konstitusi merupakan sebuah kejadian disuatu negara yang dimana undang-undang atau peraturannya sudah terlalu banyak. Omnibus law Cipta Kerja ini bertujuan untuk memperbaiki investasi dan juga menciptakan kemudahan dalam pemberdayaan UMK untuk menciptakan lapangan kerja.

Pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja mendatangkan banyak kritik dari berbagai pihak, terutama para buruh yang merasa bahwa dengan disahkannya undang-undang ini, semakin mempersulit buruh untuk memperoleh haknya. Undang-undang ini juga disebut-sebut sebagai bentuk kurangnya keberpihakan pemerintah terhadap buruh. Sebelum UU Ciptaker ditetapkan sebagai payung yang menaungi hukum tentang tenaga kerja, terlebih dahulu regulasi mengenai ketenagakerjaan diatur dalam UU No.13 Tahun 2003, di dalam UU Ciptaker, hal-hal yang bersangkutan dengan tenaga kerja diatur di dalam UU No. 11 Tahun 2020. 

Contoh pertama adalah penghapusan pasal 91 pada UU No. 13 Tahun 2003 yang menjelaskan bahwa pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dihapuskannya pasal ini membuka peluang bagi para pengusaha untuk membayar buruh di bawah upah minimum yang berlaku sebab sanksi terhadap hal ini menjadi lebih longgar. 

Selanjutnya, Pasal 66 ayat 1 di UU No. 13 Tahun 2003 yang menjelaskan bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja alih daya tidak boleh bersangkutan langsung dengan pekerjaan utama yang dimiliki oleh perusahaan. Pasal 66 ayat (1) pada UU Cipta Kerja menggantinya dan menjelaskan bahwa hubungan pekerjaan di antara pekerja, perusahaan subkontrak, dan perusahaan pengguna atau alih daya ditentukan melalui perjanjian tertulis yang menentukan jenis pekerjaan dengan waktu tertentu atau pekerjaan dengan waktu tidak tertentu. Hal ini mengisyaratkan bahwa pengusaha menjadi lebih bebas memerintah buruh untuk melakukan jenis pekerjaan yang diminta oleh pengusaha dan mengaburkan batasan-batasan mengenai pekerjaan jenis apa yang dapat dikerjakan oleh pekerja alih daya. 

Dua pasal di atas hanyalah segelintir contoh mengenai betapa hukum di Indonesia masih minim keberpihakannya kepada buruh atau pekerja. Undang-undang yang semestinya menjadi produk hukum dan politik penopang regulasi demi melindungi hak-hak buruh, malah sebaliknya menjadi boomerang bagi para buruh. 

Dampak UU Ciptaker terhadap tenaga kerja Indonesia yang lainnya antara lain sebagai berikut:

1. Buruh diancam tidak akan diberhentikan.

       Undang-undang Hak Cipta menghapus setidaknya 5 klausul pemotongan. Akibatnya, karyawan berisiko tidak menerima pesangon jika mereka pergi, diberhentikan, atau meninggal. Pertama, pasal 81(51) UU Ciptaker mencabut ketentuan  162 UU Ketenagakerjaan, yang berisi aturan tentang pesangon bagi karyawan yang meninggalkan pekerjaannya. Kedua, pasal 81 (52) UU Ciptaker mencabut pasal 163  UU Ketenagakerjaan, yang mengatur pemberian pembayaran redundansi karena perubahan status, merger, konsolidasi, atau perubahan kepemilikan. Ketiga, Pasal 81 (53) UU Ciptaker mencabut Pasal 16 UU Ketenagakerjaan, yang mengatur pemberian uang pesangon jika perusahaan terus mengalami kerugian atau force majeure dalam waktu 2 tahun. Keempat, Pasal 81 (5) UU Ciptaker mencabut Pasal 165  UU Ketenagakerjaan, yang mengatur tentang penetapan uang pesangon sehubungan dengan pemberhentian karena pailitnya perusahaan. Kelima, Pasal 81 (55) UU Ciptaker mencabut Pasal 166 UU Ketenagakerjaan, yang mengatur tentang pemberian uang  pesangon kepada ahli waris dalam hal karyawan atau karyawan meninggal dunia.

2. Tenaga kerja asing lebih mudah masuk ke Negara Kesatuan Republik Indonesia.

UU Ciptaker memfasilitasi masuknya Tenaga Kerja Asing (TKW) ke Indonesia. Hal ini dilakukan melalui Pasal 81 sampai (11) UU Hak Cipta, yang mengubah dan mencabut aturan terkait tenaga kerja asing dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Misalnya, ari UU Hak Cipta, pemerintah menghapus persyaratan izin tertulis berdasarkan Pasal 81  UU Ciptaker tentang bisnis yang ingin mempekerjakan pekerja asing. Sebelumnya, kewajiban ini disebutkan dalam TLS 2, ayat 1. "Setiap majikan yang mempekerjakan pekerja asing harus memiliki izin tertulis dari menteri atau pejabat," kata UU Ketenagakerjaan. Sebaliknya, majikan hanya boleh memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing, sebagaimana diatur dalam pasal 81  UU Ciptaker, yang mengubah pasal. 2 UU Ketenagakerjaan menjadi: "Setiap majikan yang mempekerjakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disetujui oleh lembaga negara." , membaca undang-undang hak cipta. Setelah itu, pemerintah juga mempersempit posisi pekerja migran yang tidak diperbolehkan. Sebelumnya diatur dalam   6 UU Ketenagakerjaan, dimana tenaga kerja asing tidak diperbolehkan melakukan tugas kepegawaian dan tugas-tugas tertentu yang diatur dalam peraturan menteri. Namun, pemerintah menghapus pasal tersebut dari Pasal 81 (8) UU Hak Cipta. Pemerintah hanya melarang pekerja asing bekerja di posisi staf.

 3. Jangka waktu maksimum tiga tahun untuk pekerja kontrak akan dihapuskan.

 Pemerintah mengubah dan menghapus beberapa pasal yang berkaitan dengan ketentuan Kontrak Kerja  Waktu Tetap (PKWT)  UU Ciptaker. Salah satu poin perdebatan adalah bahwa pemerintah menghapus batas maksimum tiga tahun untuk pekerja kontrak dari UU Ciptaker. Sebelumnya,  59 ayat 1 UU Ketenagakerjaan menetapkan bahwa PKWT dibuat hanya  untuk pekerjaan-pekerjaan tersebut yang diperkirakan penyelesaiannya  tidak terlalu lama dan tidak lebih dari 3 tahun. Namun, Pasal 81 (15) UU Ciptaker mengubah pengaruh Pasal 59 UU Ketenagakerjaan sehingga hanya disebutkan bahwa PKWT hanya dapat dilakukan untuk pekerjaan yang diharapkan selesai dalam waktu yang tidak terlalu lama. waktu Jelas bahwa pemerintah telah kehilangan batas maksimum tiga tahun. Namun, Pemerintah memasukkan pasal 81 (15), yang mengamandemen pasal 56 Undang-Undang Hak Cipta, di mana durasi atau kinerja suatu pekerjaan tertentu ditentukan berdasarkan kontrak kerja. Artinya lamanya masa kontrak tergantung pada kontrak antara pemberi kerja dan pekerja atau pekerja. Lembur diperpanjang dan tidak ada libur panjang  , Lebih khusus lagi, TMS 81 ayat 22 78 UU Ketenagakerjaan, yang mengatur tentang lembur, diubah. Pada awalnya, 78 UU Ketenagakerjaan menetapkan bahwa lembur tidak boleh melebihi 3 jam sehari dan 1  jam  seminggu. Namun, Undang-Undang Hak Cipta meningkatkan lembur  menjadi maksimal jam per hari dan 18 jam per minggu.

Penulis berharap pemerintah dapat memahami dan menanggapi keresahan buruh dan menyadari bahwa kita perlu solusi atas masalah kolektif ini, dan Omnibus Law yang digarap secara serampangan dan isinya bukan tentang keberpihakan kepada pekerja, bukanlah solusinya.