Menulis Ulang Kode Genetika Ditjen Pajak, Perlukah?

Rabu, 30 Januari 2019 | 19:08 WIB
0
653
Menulis Ulang Kode Genetika Ditjen Pajak, Perlukah?
Ilustrasi pajak (Foto: Antara)

Berita optimisme datang dari pajak kali ini. Semester 1 tahun 2018  lalu penerimaan pajak tumbuh 13,96 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Secara nominal penerimaan pajak yang telah masuk ke kas negara pada semester 1 mencapai 40,84 persen atau sebesar Rp581,54 triliun dari target Rp1.424 triliun.

Jika pertumbuhan ini berkelanjutan, artinya Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak akan mengulang cerita sukses seperti pada 2008 lalu di mana target pajak kemungkinan besar akan tercapai. Kita tunggu kabar baik di penghujung 2018 ini.

Namun Ditjen Pajak membutuhkan dukungan agar dapat fokus pada fungsi utamanya menghimpun penerimaan pajak. Saat ini Ditjen Pajak mempunyai tugas ganda, selain menjalankan fungsi budgeter untuk mengumpulkan penerimaan pajak  juga sebagai regulator untuk merumuskan kebijakan.

Kedua fungsi yang harus diemban secara bersamaan ini mesti disiasati dengan bijak agar tak menimbulkan benturan kepentingan yang berimbas pada tak tercapainya target penerimaan pajak.

Ditjen Pajak sebagai entitas terkecil dari sistem pemerintah, di mana sistem pemerintahan itu sebenarnya dapat diibaratkan sebagai organisme yaitu sebuah sistem yang adaptif dan kompleks yang hidup, tumbuh, berubah mengikuti waktu, dan mati. Organisme dibentuk oleh DNA sebagai sebuah instruksi berkode yang menentukan siapa dan apa mereka.

DNA akan memberikan instruksi yang paling dasar dan paling kuat untuk menyusun kemampuan abadi dan perilaku sebuah entitas. Dengan mengubah DNA suatu organisme maka kemampuan dan perilaku baru akan muncul. Hal yang sama berlaku pada sistem di Ditjen Pajak.

Ditjen Pajak dalam menjalankan fungsinya sebagai regulator yaitu sebagai perumus kebijaksanaan teknis, pemberian bimbingan dan pembinaan di bidang perpajakan, akan berupaya mengatur bidang sosial dan ekonomi untuk kepentingan nasional.  

Sebagai contoh dalam rangka menggiring penanaman modal baik di dalam negeri maupun luar negeri akan diberikan fasilitas keringanan pajak. Untuk melindungi produksi dalam negeri pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri, dan sebagainya.

Terakhir bisa dilihat dalam reformasi perpajakan tahun 2008 lalu yaitu dalam Pasal 31A Undang-Undang (UU) Nomor  36 Tahun 2008 mengatur bagi wajib pajak yang melakukan penanaman modal di bidang atau di daerah-daerah tertentu akan diberikan fasilitas perpajakan berupa: pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30 persen dari jumlah penanaman yang dilakukan, penyusutan dan amortisasi yang dipercepat, kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih dari sepuluh tahun, dan pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) atas dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sebesar 10% kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan yang berlaku menetapkan lebih rendah.

Insentif-insentif pajak yang berfungsi sebagai alat pengatur ini seringkali menjadi kontraproduktif saat berhadapan dengan target pajak yang juga dibebankan di pundak Ditjen Pajak. Menyongsong Reformasi Perpajakan jilid III kali ini di mana reformasi di bidang organisasi menjadi salah satu fokus, inilah waktu yang tepat untuk mengajukan sebuah pertanyaan: apakah sebaiknya kode genetika Ditjen Pajak ditulisulang kembali?

Kita perlu belajar dari pemerintah Inggris. Saat Margaret Thatcher dan partai konservatifnya mulai berkuasa pada musim dingin 1979, ekonomi Inggris sedang merosot di titik terendah: inflasi menembus angka 10 persen, penerimaan pemerintah stagnan, kualitas pelayanan publik terus menurun, dan bahkan pemerintah mengkomsumsi 44 persen PDB.

Sampai dengan tahun 1986 Thatcher bahkan frustasi atas ketidakmampuannya mengubah birokrasi Inggris. Selama tujuh tahun ia telah memberikan setakar demi setakar obat keras perampingan, privatisasi, audit efisiensi, dan bahkan berperang melawan serikat pegawai tetapi ia gagal mengubah perilaku pegawai negerinya.

Bahkan senjata besar Thatcher privatisasi perusahaan negara –salah satunya British Airways-  saat itu tidak membawa sang perdana menteri ke arah yang sebenarnya ingin dituju. Akhirnya Thatcher dan timnya sampai pada kesimpulan bahwa menyumbat birokrasi, bukanlah sebuah jalan keluar. Karena masalah kronis yang menggerogoti pemerintahan adalah ada pada sistem, bukan pada pegawai negerinya. 

David Osborne dan Peter Plastrik dalam buku mereka yang berjudul Memangkas Birokrasi menggambarkan bagaimana pemerintah Inggris di era kepemimpinan Margaret Thatcher akhirnya berhasil membawa perekonomian Inggris menjadi salah satu kekuatan ekonomi yang diperhitungkan di dunia, adalah dengan menggunakan  titik dongkrak utama untuk melakukan perubahan mendasar seluruh aspek pemerintahan. Sederhananya adalah mereka mengubah kode genetika dari organisasi pemerintahan mereka.

Menulis Ulang Kode Genetika

Menurut Osborne dan Plastrik ada lima bagian fundamental dari DNA sektor pemerintahan yang telah diuji coba oleh pemerintahan Thatcher yaitu:

Pertama strategi inti. Inilah bagian kritis pertama dari DNA. Bagian yang menentukan tujuan sistem dan organisasi pemerintah. Jika suatu organisasi tidak jelas tujuan atau punya tujuan ganda dan saling bertentangan, maka organisasi itu tidak bisa mencapai kinerja yang tinggi. Mungkin seharusnya Ditjen Pajak menulis kembali kode DNA- nya dalam strategi inti ini.

Kedua strategi konsekuensi. DNA yang menentukan insentif pada sistem pemerintah. Para pembaru menulis kembali DNA lama birokrasi dari sebelumnya memberikan insentif kuat kepada pegawai yang taat pada aturan dan tunduk, menjadi pemberian konsekuensi atas kinerja yang dihasilkan. Ditjen Pajak sejak Reformasi Birokrasi digulirkan tahun 2002 lalu telah mengubah DNA ini dengan sistem penilaian kinerja yang dikenal sebagai Indikator Kinerja Utama (IKU) di mana insentif pegawai akan dinilai dari kinerja yang dihasilkan. Dan DNA ini terus mengalami pembaharuan dari tahun ke tahun untuk menemukan formula yang pas.

Ketiga strategi pelanggan. Sistem DNA yang memusatkan pada akuntabilitas yaitu pertanggungjawaban kepada siapa harusnya organisasi bertanggung jawab. Ini merupakan titik dongkrak yang sangat ampuh. Strategi pelanggan membangun strategi konsekuensi dengan cara memaksa organisasi mempertanggungjawabkan kinerja bukan hanya ke atas mata rantai komandonya, tetapi juga kepada pelanggannya. Ini juga harus diterapkan Ditjen Pajak bahwa setiap kebijakan yang dilaksanakan harus dapat dipertanggungjawabkan pada semua pemangku kepentingan.

Keempat strategi control. DNA keempat yang menentukan letak kekuasaan pengambilan keputusan. Strategi ini memberdayakan pegawai dengan mendorong wewenang pengambilan keputusan, menanggapi pelanggan, dan memecahkan masalah ke mereka yang punya pengetahuan lini depan seperti dimiliki oleh beberapa badan pelaksana. Para pembaru memberikan kepercayaan penuh kepada karyawan, karena mereka berasumsi bahwa setiap orang ingin melakukan sesuatu dengan baik, dan ingin mengontrol pekerjaan mereka sendiri. Karena hasil lebih baik akan diperoleh dari pegawai yang melakukan pekerjaannya dengan rasa senang.

Kelima strategi budaya. Untuk mengubah budaya organisasi, para pembaru menggunakan tiga pendekatan budaya dengan cara membentuk kebiasaan, perasaan, dan pikiran organisasi. Selain itu mengembangkan kebiasaan-kebiasaan baru dengan memberikan  pengalaman baru, apakah itu jenis pekerjaan baru maupun berinteraksi dengan orang baru. Bentuknya bisa berupa: rotasi kerja, atau internship dan eksternship yaitu membawa orang luar ke dalam organisasi selama beberapa tahun untuk memberikan pengalaman baru bagi organisasi, dan mengirim anggota organisasi ke luar untuk bekerja di organisasi lain.

Di Kementerian Keuangan sendiri ada sebuah program yang cukup andal agar pegawainya dapat mengenal budaya baru sehingga dapat membawa pulang pengalaman baru yaitu: Kemenkeu Mengajar. Sementara di Ditjen Pajak ada sebuah program yang dikenal dengan Inklusi Kesadaran Pajak.

Ditjen Pajak bekerjasama dengan Kemendikbud dan Kemenristek Dikti Bersama-sama menyuntikkan program sadar pajak dalam kurikulum sekolah/universitas di seluruh Indonesia. Harapan jangka panjang adalah generasi yang akan datang lebih memiliki kesadaran pajak yang tinggi.Ke depannya program Inklusi Kesadaran Pajak dapat digalakkan dalam skala yang lebih luas lagi. Lintas departemen, lintas lembaga, bahkan lintas sektoral.

Tak dapat dipungkiri Ditjen Pajak sebagai sebuah entitas memerlukan kelima titik dongkrak ini agar dapat meraih target penerimaan pajak dan tak mengulang cerita lama tentang kegagalan. Hanya saja mana dari kelima DNA ini perlu ditulis ulang? Ini yang perlu dirumuskan bersama semua pemangku kepentingan yang ada.

***

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.

Artikel ini telah tayang di

http://pajak.go.id/article/menulis-ulang-kode-genetika-ditjen-pajak-perlukah