Pelayanan Berbasis Sogokan?

Agaknya pekerjaan rumah negeri ini sangat berat. Apalagi lembaga sekelas KPK yang semula diharapkan sebagai penggerak perubahan, kini nampak lumpuh.

Rabu, 16 Juni 2021 | 08:16 WIB
0
260
Pelayanan Berbasis Sogokan?
Ilustrasi kontainer (Foto: suara.com)

Anda tentu bertanya, apakah untuk menangani pungutan liar yang tentu terjadi di banyak tempat, seorang Presiden sendiri harus turun tangan langsung? Apakah tidak ada sistem penanganan yang telah dibangun untuk menangani masalah ini?

Kalau ada, mengapa tak berjalan efektif sehingga praktik liar yang terjadi di banyak tempat, atau bahkan di depan mata ini tak tertangani?

Untuk memahami secara mendalam tentu memerlukan kajian cermat. Apa yang terjadi di setiap tempat bisa berbeda. Namun dugaan saya, masalah ini terjadi karena ada banyak faktor yang saling kait mengait.

Walaupun praktik pungutan liar di tiap lokasi polanya bisa berbeda, namun penyebab utamanya bisa sama, yakni lemahnya tata kelola sistem kerja (bad governance), dan tak tersedianya para aktor handal (champions organisasi) yang mampu menjadi penegak manajemen tepat guna dan efektif.

Sementara itu, barisan "kutu busuk" di tempat ini nampaknya lebih kuat berbaris. Jejaring kerja orang orang baik dan disiplin tercerai berai dan kalah wibawa. Mereka tak mampu menjadi motor penggerak dan pemelihara budaya organisasi yang baik. Akibatnya kacau.

Bila kita rinci, sistem penggajian pegawai di tempat ini diduga tak tertata baik. Di tengah arus peredaran uang yang tinggi, para pegawai pelaksana lapangan tak mendapat insentif wajar. Sementara uang beredar bersliweran di depan mata. Ini bisa jadi menjadi salah satu penyebab munculnya pungli yang melibatkan orang dalam.

Namun demikian, tentu minimnya gaji tak serta merta menjadikan orang terjerumus dalam praktik tak terpuji. Lihat saja, apakah orang orang miskin selalu menjadi preman pemalak? Tentu tidak. Ada faktor lain.

Nampaknya lemahnya budaya jujur yang terbangun dalam lingkungan kerja (bad corporate culture) serta lemahnya penegakan hukum, ikut menjadi penyebab buruknya perilaku kolektif.

Apalagi bila penegak hukum yang dana operasionalnya terbatas itu tidak dibekali sistem hukum yang mendorong petugas bersikap proaktif dalam menangani kejahatan. Mereka baru bertindak kalau ada laporan.

Praktik pungli yang terlihat di depan mata sekalipun cenderung dibiarkan tak ditindak bila tak satupun pihak melapor. Lagi pula, dalam kondisi seperti ini, siapa yang berani melapor bila keselamatannya tak mendapat jaminan penuh?

Agaknya pekerjaan rumah negeri ini sangat berat. Apalagi lembaga sekelas KPK yang semula diharapkan sebagai penggerak perubahan, kini nampak lumpuh.

***