Ironis, Beras 20 Ton Mau Dimusnakan, Nilainya Rp160 M

Sungguh ironi, di satu sisi banyak masyarakat yang kekurangan beras, tapi di satu sisi Bulog mau memusnakan beras 20 ribu ton.

Selasa, 3 Desember 2019 | 15:23 WIB
0
278
Ironis, Beras 20 Ton Mau Dimusnakan, Nilainya Rp160 M
Beras Bulog (Foto: katadata.co.id)

Perum Bulog yang dikomandani oleh Budi Waseso ingin memusnakan  Cadangan Beras Pemerintah (CBP) sebanyak 20.000 ton dengan nilai Rp160 miliar. Fantastis! Angka itu diperoleh dengan asusmsi atau hitungan dengan harga Rp8.000 per kilogram.

Mengapa beras sebanyak itu mau dimusnakan?

Dalihnya itu sudah sesuai aturan yang mana cadangan beras yang sudah lebih dari empat bulan boleh dimusnakan atau dikeluarkan dari gudang.

Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 38 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP). Beras CBP harus dibuang apabila telah melampaui batas waktu simpan paling sedikit 4 bulan atau berpotensi dan atau mengalami penurunan mutu.

Tentu pemusnahan beras Bulog ini sangat merugikan keuangan negara karena nilanya mencapai Rp160 miliar. Inilah, tidak semua kerugian negara itu "korupsi". Tapi kerugian negara bisa terjadi karena kesalahan menejemen atau perencanaan impor beras yang berlebih.

Padahal Bulog sendiri mempunyai hutang yang sangat besar dan menanggung beban bunga tiap bulan mencapai ratusan miliar.

Mengapa beras yang ada di gudang sebelum batas empat bulan tidak dikeluarkan atau dijual ke pasar atau masyarakat?

Di sinilah sumber masalah itu. Ternyata ada aturan, beras Bulog tidak bisa dijual secara bebas ke pasaran kalau tidak ada perintah menteri Perdagangan untuk operasi pasar karena naiknya harga beras. Atau istilahnya untuk operasi pasar.

Di satu sisi Bulog selain menpunyai tugas untuk menstabilkan harga, tapi juga dituntut untuk mencari keuntungan. Dan menurut menteri Keuangan Sri Mulyani Perum Bulog salah satu BUMN yang mengami kerugian cukup besar.

Perum Bulog ini perannya harus  diperjelas. Di satu sisi sebagai penjaga stabilitas harga beras, tapi di satu sisi dituntut untuk mencari keuntungan. Ia perusahaan di bawah BUMN dan dipilih oleh menteri BUMN, namun dalam untuk melakukan impor beras, Bulog harus mendapat izin atau rekomendasi dari kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian. Jadi sifatnya pasif atau menunggu perintah. Tanpa ada perintah, Bulog tidak bisa melakukan impor beras sesuai kebutuhannya.

Sedangkan kalau beras cadangan yang ada di gudang dijual atau dikeluarkan sebelum empat bulan, maka pedagang beras akan marah karena akan menyebabkan harga beras akan turun karena kelebihan stock dipasaran. Ini juga menjadi dilema tersendiri.

Harusnya atau solusinya, Bulog dinaikkan setingkat Kementerian dan ia boleh melakukan impor sendiri tanpa harus menunggu perintah dari Kementerian Perdagangan atau Kementerian Pertanian. Dan Bulog juga bisa menjual beras ke pasaran  dengan tetap menjaga harga dipasaran. Tujuannya supaya beras yang ada di Gudang tidak rusak dimakan kutu atau jamuran.

Bisa jadi karena kelebihan impor tanpa memperhitungan masa panen petani dan tidak mau ambil resiko-sering kali kelebihan impor beras-dengan dalih petani gagal panen atau paceklik.

Sungguh ironi, di satu sisi banyak masyarakat yang kekurangan beras, tapi di satu sisi Bulog mau memusnakan beras 20 ribu ton.

Inilah indahnya negeriku.

***