Perusahaan apakah yang paling kaya dalam sejarah dunia? Ternyata itu bukanlah Apple, juga bukan Google. Ternyata itu bukan Microsoft, bukan Standard Oil, bukan Petro China, bukan Saudi Aramco. Bahkan jika semua perusahaan itu digabung menjadi satu, ia masih kalah kaya dibandingkan perusahaan ini.
Ternyata yang terkaya dalam sejarah adalah VOC, Dutch East India Company. Nama ini tak asing bagi Indonesia. Perusahaan inilah yang pernah menjajah wilayah nusantara di abad ke 17 hingga 18. Bayangkan!! Yang menjajah kita di zaman dulu bukanlah negara atau kerajaan, tapi sebuah perusahaan.
Berapa kekayaan VOC (1602- 1799) jika dinilai dari ukuran uang sekarang? Kekayaannya sekitar 8 trilyun USD atau sekitar 112 ribu trilyun rupiah. Nilainya sekitar sepuluh kali lipat kekayaan apple hari ini. Ia lebih besar dibandingkan GDP Jepang plus Jerman hari ini. Ia bahkan enam kali lipat lebih besar dibandingkan produk domestik bruto Indonesia di tahun 2018.
Pendiri dari VOC kini tak banyak lagi diingat. Namanya Johan Van Oldenbarnevelt (1547-1619). Tapi kisah sang pendiri diabadikan dalam sebuah karya teater berjudul The Tragedy of Sir Johan Van Olden
Barnavelt (1619). Kisah teater ini pernah dimainkan di Globe Theater, London.
Juli 2019, saya berkunjung ke London, ke lokasi yang mencoba membangun kembali Globe Theater. Di samping banyak memainkan karya Shakespeare, pentas teater itu pernah pula memainkan kisah sang pendiri VOC.
Maksud hati mengunjungi Globe Theater hanya untuk menyelami Shakespeare. Tak sengaja saya berjumpa pula dengan tokoh yang tak kalah besar di bidangnya: Johan Van Olden Barnevelt. Mendalami kisah Johan Van Olden Barnevelt, sayapun sampai pula pada kiprah perusahaan yang didirikannya, yang berlayar hingga Batavia (kini Jakarta).
Pulang dari pelayaran, kapal itu membawa rempah-rempah atau sutra. Pelayaran punya arti yang sama seperti menambang harta karun yang terpendam.
Namun usaha pelayaran memiliki resiko yang besar pula. Sangat mungkin ekspedisi itu tak pernah kembali lagi. Kapal tenggelam di tengah laut karena badai. Atau kapal dirampok bajak laut. Terlalu beresiko jika hanya segelintir individu saja yang membiayai ekspedisi.
Di tahun 1600, Kerajaan Inggris yang pertama kali membangun usaha ekspedisi pelayaran itu. Namun di tahun 1602, Johan Van Olden Barnavelt berhasil meyakinkan pemerintah Belanda. Didukung oleh pemerintah, Johan mendirikan sebuah usaha yang menyatukan beberapa perusahaan sekaligus. Mega korporasi ini diberi nama VOC (Dutch: Vereenigde Oostindische Compagnie).
Perusahaan dagang tersebut awalnya mengeksplorasi wilayah India untuk perdagangan tekstil dan sutra. Namun kekayaan rempah-rempah di wilayah sekitar lebih menjanjikan.
Sampailah kemudian VOC ke aneka wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Jakarta, Banten, Ambon, Aceh, hingga Makasar. Bahkan Jakarta (dulu Batavia) menjadi ibu kita VOC untuk wilayah Asia.
Agar VOC kuat, pemerintah Belanda memberikan tak hanya hak monopoli. Diberikan pula hak mengelola tentara dan pasukan perang. Perlawanan penduduk lokal mudah ditaklukan VOC karena perusahaan dagang ini juga memiliki pasukan militer.
Di puncak kejayaannya, VOC menguasai 150 kapal perdagangan, dan 40 kapal perang. Ia juga memiliki 50 ribu karyawan dan 10 ribu tentara.
Di tahun 1663, VOC sudah tercatat sebagai perusahaan paling kaya dalam sejarah. Ia menjadi perusahaan pertama yang bersifat transnasional. Ia juga perusahan pertama yang go public. Sahamnya dapat dimiliki publik.
Tak pernah ada perusahaan yang pengaruhnya pada sejarah dunia sebesar VOC. Ia bukan saja di abad ke 17 sudah meletakkan fondasi pertama bagi perusahaan multi nasional. Ia juga perusahaan pertama yang go public yang menjual saham.
Ia juga mempertemukan peradaban Barat dan Timur dalam aneka sinerji, di bidang agama, bahasa, ekonomi hingga kesenian. Karya lukisan Rembrant dicetak dalam kertas Jepang yang juga dikirim oleh ekspedisi VOC.
VOC juga memperkenalkan birokrasi modern, mengelola organisasi yang begitu besar. VOC juga ikut menemukan aneka wilayah baru. Ia memperkaya dunia maritim pula.
Namun dunia berubah. Jika tak menyesuaikan diri, raksasa sebesar apapun akan punah. Kompetisi bisnis semakin tinggi. Banyak muncul perusahan baru yang juga mengeksplorasi bidang serupa. Membawa rempah-rempah ke Eropa dari tempat sejauh wilayah Nusantara tak lagi efisien.Biaya birokrasi dan militer juga bertambah akibat harus mengelola perlawanan penduduk lokal. Korupsi mulai pula menggerogoti. Terjadi pembusukan moral di kalangan petinggi VOC. Semua itu menjadi virus yang perlahan menenggelamkan VOC.
Lebih tragis lagi kisah sang pendiri VOC: Johan Olden Barnavelt. Ia sebelumnya banyak dipuja selaku tokoh dengan kemampuan luar biasa di bidang politik, bisnis dan intelektual. Namun dalam pergolakan politik zamannya, ia berpihak pada kelompok yang akhirnya kalah.
Di era itu, Belanda dilanda konflik membelah berdasarkan agama. Berhadapan kelompok dari kaum Calvinist (Gomarists) melawan kelompok Arminians. Itu era ketika berbeda paham agama menjadi perbedaan hidup dan mati.
Johan dikenal berdiri di pihak Arminians atas nama politik toleransi. Namun konflik paham agama meningkat menjadi konflik bersenjata. Pihak Calvinist dikalahkan. Johan pun dicap pemberontak.
Di usia 71 tahun, ia dihukum mati dengan kepala dipancung. Sebelum dihukum mati, Johan berucap: “Saya bukanlah pemberontak. Saya meyakini sikap politik saya selaku seorang patriot. Saya mati karena sikap ini”
Zaman berubah. Kekuasaan berubah. Persepsi berubah. Sikap politik Johan Van Olden Barnavelt kini dimaklumi dan dihormati. Dari seorang pemberontak, kini ia dianggap pahlawan. Namanya diabadikan sebagai nama kapal, nama sekolah dan nama pulau.
Di Globe Theater, saya terdiam lama. Saya tak hanya mengunjungi sebuah situs kesenian. Namun di sana saya temukan pula sepotong sejarah. Saya temukan kisah tokoh yang ditenggelamkan karena kalah secara politik. Namun karena jasa dan keagungan sikap, waktu tiba melahirkannya kembali.
Juli 2019
***
Catatan Perjalanan Denny JA
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews