KPPU harus berperan aktif. Memastikan persaingan berjalan sehat. Bukan menentukan harga harus turun.
Mulai hari ini, kabarnya harga tiket pesawat sudah turun. Khususnya untuk pesawat berbiaya murah. Maskapai memberikan ruang tiket murah untuk penerbangan pada Selasa dan Kamis, jam 10.00 sampai 14.00.
Kebijakan itu lebih pada usaha merespon keresahan publik yang merasakan harga tiket lebih mahal dari sebelumnya. Memang sih, selama beberapa waktu kita dimanjakan dengan tiket pesawat murah. Kini ketika persaingan sudah lebih longgar, maskapai menjual tiket jauh lebih mahal.
Harus diingat juga, bahwa di Indonesia sudah banyak maskapai yang bertunbangan akibat persaingan. Kita pernah mengenal Sempati Air, Mandala Air, Merpati Air, Adam Air atau Bouroq Air. Kini semuanya bangkrut akibat tidak sanggup menutupi biaya produksi.
Selain manajemen yang buruk, kabarnya persaingan harga tiket membuat maskapai-maskapai itu kocar-kacir. Untuk memperpanjang nafasnya mereka terpaksa memangkas biaya. Repotnya kalau biaya yang dipangkas menyangkut soal keamanan. Misalnya biaya perawatan pesawat. Akibatnya keselamatan penumpang jadi korban.
Disini berlakulah hukum survival of the fittes, siapa yang sanggup beradaptasi dialah yang unggul. Kebangkrutan maskapai-maskapai itu pada akhirnya menyisakan dua kekuatan besar yang masih berjaya di langit Indonesia : Group Lion dan Grup Garuda.
Karena masyarakat sudah terbiasa dengan tiket murah akibat persaingan yang dasyat, setelah kebangkrutan itu persaingan menjadi lebih longgar. Dua group yang bertahan sepertinya ingin menikmati gairah kemenangan akibat persaingan dagang. Harga tiket dikerek lebih mahal.
Publik teriak. Mereka meminta pemerintah turun tangan.
Sebetulnya teriakan itu terasa agak aneh juga, mengingat Indonesia ini menganut sistem ekonomi terbuka. Artinya pemerintah hanya menjadi regulator saja yang memastikan persaingan terjadi dengan baik. Asumsinya, jika terjadi persaingan harga akan berada pada tittik yang wajar.
Untuk memastikan persaingan itu, misalnya, kita punya lembaga seperti KPPU (Komite Pengawas Persaingan Usaha). Lembaga inilah yang memantau apakah terjadi persaingan tidak sehat di sebuah industri.
Nah, pertanyaanya, apakah harga tiket pesawat yang terbentuk setelah persaingan gila-gilaan dan akhirnya merontokan banyak maskapai itu, bergerak dalam koridor alamiah. Atau hasil dari kongkalikong maskapai yang tersisa? Kita mengenalnya dengan istilah kartel.
Misalnya begini. Apakah harga tiket Lion Air dan City Link saat ini terbentuk karena mereka masih terus bersaing, atau karena owner maskapai-maskapai itu kongkalikong mematok harga lebih tinggi. Mereka bisa kongkalikong karena tidak ada lagi pemain lainnya di pasaran. Inilah yang disebut kartel.
Disinilah peran KPPU dibutuhkan. Lembaga negara itu bisa menelaah apakah harga terbentuk karena kartel atau sebagai sesuatu yang alamiah. Jika kedua maskapai itu melakukan kartel, KPPU bisa memberikan sanksi.
Tapi jika memang harga yang terbentuk sekarang sebagai proses normal persaingan, rasa-rasanya rakyat perlu menyadari bahwa memang segitu semestinya harga tiket. Harga itu jadi dianggap mahal, karena selama ini kita disuguhi tiket murah yang mungkin saja dijual di bawah biaya produksi. Makanya banyak maskapai pada mati.
Intinya begini. Problem kita sesungguhnya bukan hanya tiket pesawat yang mahal. Justru menjual tiket terlalu murah dengan tujuan mematikan pesaing, sesungguhnya juga kejahatan. Sebab kita tahu, rakyat bisa mendapat harga tiket murah sesaat saja. Ketika pasar dikuasai hanya segelintir pemain (sebab yang lainnya bangkrut) harganya langsung dikerek gila-gilaan. Itu membuat kerugian secara ekonomi.
Disinilah peran pemerintah sebagai regulator untuk menjaga agar persaingan sehat terjadi. Yang harus diurus bukan seberapa tinggi harga tiket pesawat, tetapi yang lebih penting adalah seberapa sehat persaingan di industri tersebut, hingga harga terbentuk secara sehat wal afiat.
Logika ekonominya, semakin sehat persaingan akan semakin efisien juga harga yang didapatkan publik. Semakin tidak sehat persaingan sebuah industri, harga yang didapat masyarakat makin gak efisien. Kalau gak kemahalan, bisa jadi malah terlalu murah.
Kita sih, senang-senang saja dapat harga murah. Tapi kalau cuma sementara buat apa? Setelah kebutuhan publik pada layanan itu tinggi, dan pemainnya tinggal sedikit, lantas harganya dikerek ke langit. Itu namanya nyekek.
Begini deh. Sebagai konsumen rakyat maunya harga murah. Sebagai produsen maskapai maunya menjual semahal-mahalnya. Itu sudah hukum alam. Tabiat pasar emang begitu.
Tugas pemerintah sejatinya bukan mengurus berapa harga tiket pesawat. Sebab kita bukan negara komunis yang apa-apa diurus pemerintah. Kita negara dengan sistem ekonomi terbuka. Jadi salah tempat kalau kita meminta pemerintah memaksa menaikkan dan mejurunkan harga produk layanan swasta.
Yang paling penting dari peran pemerintah adalah pastikan saja harga terbentuk akibat dari persaingan sehat. Kalau terlalu mahal rakyat yang rugi, kalau terlalu murah juga rakyat sejatinya rugi. Sebab ujung-ujungnya nanti malah mahalnya gak terkendali ketika para pesaing sudah rontok.
Maka di situlah KPPU harus berperan aktif. Memastikan persaingan berjalan sehat. Bukan menentukan harga harus turun. Atau harga harus naik. Itu namanya kebablasan. Makanya meminta pemerintah menurunkan atau menaikkan harga --apalagi harga tiket pesawat yang bukan kebutuhan pokok-- rasanya salah tempat. Itu sama saja memaksa pemerintah mengintervensi pasar yang akan membuat persaingan gak sehat.
Kalau sekarang, maskapai sudah sepakat menurunkan harga tiketnya, baguslah. Kita sih, senang-senang saja.
"Mas, harga tiket pesawat sudah turun. Kok Rizieq gak mau pulang juga?," tanya Abu Kumkum.
Cari yang gratis, kale...
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews