Sekali lagi. Pajak-pajak makanan orang kaya itu juga baru rencana. Baru draft. Belm tentu juga disetujui DPR.
Sembako mau dipajakin!
Saya yang lagi makan lontong tersedak. Aku pandangi lontong yang ukurannya pas buat perut itu. Menatap oncom di dalamnya yang imut-imut. Harganya Rp5 ribu tiga.
Ohh, lontong. Apakah ukurannya akan makin mengecil karena kena pajak? Sementara pedagang gak akan berani menaikan harga jual. Daya beli ibu-ibu terhadap lontong masih belum stabil.
Ibu-ibu suka lontong yang keras dan besar. Juga lembt saat digigit. Kalau gegara mau kena pajak nanti ukurannya jadi menciut, kasian mereka. Tidak ada lagi kemewahan sarapan lontong bumbu kacang.
Saya membayangkan wajah ibu-ibu yang makin gelisah akibat berita itu. Ukuran lontong jadi gak normal. Mengurangi kepuasan.
Apakah mereka juga harus membayar lebih untuk sekepal bawang bombai, cabe merah keriting dan kol gepeng?
Gimana dengan beras? Kena pajak juga?
"Ini sudah keterlaluan, " ujar Abu Kumkum. Masa lontong dipajakin?
Bukan hanya itu. Sekolah juga akan kena pajak. Gimana ini?
Saya terpaksa mencari-cari informasi soal lontong. Sambil mengais-ngais sedikit keterangan mengenai rencana RUU Pajak.
Oalah...
Rupanya ini memang baru rencana. Dalam draft rencana, memang ada klausul pajak terhadap bahan makanan. Tapi bukan lontong bumbu yang Rp5 ribu tiga.
Juga bukan buat beras standar yang biasa kita makan. Yang harga 5 kilo paling Rp 75 ribuan. Apalagi daging dan cabe kriting.
Lalu apa yang rencananya mau dipajaki?
Kamu pernah makan steak wagyu? Rasanya empuk. Maknyus. Asal dagingnya dari Jepang. Saya pernah ditraktir teman makan steak jenis ini. Seporsinya Rp1,2 juta.
Padahal daging biasa di pasar sekilo hanya Rp90 ribuan.
Atau makan nasi yang klomot-klomot di restoran mewah. Rasa nasinya enak banget. Kalau beras jenis itu dibuat lontong, mungkin akan dijual dengan harga Rp10 ribu satunya.
Beras-beras makanan orang kaya ini harga sekilonya bisa mencapai Rp50 ribu. Berasnya doang. Gak ada kutu atau batu.
Jadi gak perlu disiapkan serit.
Nah, makanan jenis kaum jet set inilah yang rencananya akan kena pajak. Kalau makanan kita, yang terdiri dari tumis pare, sambel kecap sama ikan jambal goreng. Gak akan kena pajak.
Itu juga biasanya bahan makanan impor yang hanya cocok di mulutnya AHY atau Nia Ramadhani. Kalau kita yang makan, insyallah mules. Bukan karena makanannya. Tapi karena harganya yang ngeselin.
Lalu gimana dengan pajak sekolah? Apakah bayaran sekolah adikmu di SD Tumben Lestari otomatis akan naik. Selama ini kamu bayar Rp500 ribu sebulan. Apakah akan jadi Rp550 ribu?
Ohh, gak. Kalau bayaran sekolah masih segitu, gak kena pajak. Apalagi kalau bayarnya cuma dengan seliter beras. Atau sebungkus rokok kretek buat Pak Guru.
Yang rencananya akan dikenakan pajak itu sekolah yang menarik SPP Rp7 juta sebulan. Sekolah-sekolah anak orang kaya yang kalau pulang, bikin macet jalan karena mobil jemputannya berjejer.
Anak-anak ini, mungkin saat di rumah makan nasih dengan beras Rp50 ribu sekilo. Makan rendang dari daging wagyu. Makan lontong yang berisi kupon Disneyland.
Jadi, jangan geer. Kita-kita yang beli pulsanya ketengan. Makannya teratur, sehari makan dua hari bengong. Gak akan dibebani dengan pajak sembako.
Tapi sekali lagi. Pajak-pajak makanan orang kaya itu juga baru rencana. Baru draft. Belm tentu juga disetujui DPR.
Demikian juga pajak SPP yang siswanya bawa Ferarri ke sekolah. Itu juga baru rencana.
Buat ente yang nunggu nasi bungkus saat demo. Gak usah khawatir. Lauknya gak akan berkurang.
"Tetap telur dicabein sama tempe orek ya, mas?," ujar Abu Kumkum.
"Tambah sayur buncis... "
Eko Kuntadhi
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews