TINA, "There Is No Alternative"

Kalau hasil kajiannya ‘bisa diterapkan’, pasti sudah banyak negara yang menerapkannya. Ini kan tidak. Karena memang dalam menumbuhkan ekonomi tidak ada jalan pintas,

Selasa, 25 Juni 2019 | 15:54 WIB
0
2321
TINA, "There Is No Alternative"
Ilustrasi keuangan (Foto: Jurnal.id)

Kemarin, saya mendapat kiriman video dari sahabat saya, Anita Firdaus. Beliau bertanya pada saya, bagaimana menurut Anda? Video itu judulnya TINA (There Is No Alternative), atau tidak ada kebijakan alternatif lain untuk memacu agar ekonomi tumbuh lebih cepat.

Narasi menjelaskannya sangat meyakinkan, seolah TINA ini ‘penemuan baru’ seperti Robert Fulton menciptakan Mesin Uap yang memicu Revolusi Industri di Inggris pada Abad 18. 

Singkatnya, ekonomi Indonesia akan tumbuh pesat (hanya) jika Presiden bersedia menerbitkan dua kebijakan (semacam Keppres). Pemikiran ini dituangkan dalam dua kebijakan;

Pertama, melarang WNI, Lembaga, atau badan hukum Indonesia mentransfer uang ke luar negeri, kecuali untuk impor, membeli aset di luar negeri, atau investasi di luar negeri, yang semuanya dicatat sebagai PDB Indonesia.

Kedua, menetapkan bunga deposito 0%.

Tujuan dari dua kebijakan ini adalah memaksa uang menjadi produktif terus bekerja, sehingga ekonomi berputar lebih cepat. Di sini aneh, karena kewenangan moneter seperti menentukan tingkat bunga acuan bank, adalah kewenangan Bank Indonesia. Bukan Presiden. 

Jadi, seperti dijelaskan di video itu, implementasi dari kebijakan pertama, setiap uang ditransfer ke luar negeri harus ada barang yang masuk atau aset yang dicatatkan sebagai PDB Indonesia. Kalau ada yang punya uang di LN harus di tarik masuk ke Indonesia paling lambat dalam waktu dua bulan. Jika tidak, dianggap tindak pidana capital flight (di video itu istilahnya flight capital, beda arti) dengan ancaman hukuman tertentu.

Pemikiran itu (mungkin) didasarkan pada asumsi bahwa saat ini jumlah uang milik WNI yang diparkir di luar negeri namun tidak dilaporkan sebagai objek pajak (PDB) Indonesia, sangat besar.

Untuk kebijakan pertama, sebenarnya sudah ada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam UU tersebut, setiap transfer ke dan dari luar negeri wajib dilaporkan kepada PPATK kepentingan dan tujuannya. Hanya saja tidak secara tegas dinyatakan secara eksplisit: dilarang.

Tapi, tesis di atas juga masih menyisakan celah, yaitu “kecuali membeli aset di luar negeri, atau investasi di luar negeri...” Mengapa itu dianggap celah? Karena ‘membeli aset di luar negeri dan investasi di luar negeri’ spektrumnya sangat luas.

Menyimpan di bank di luar negeri pun adalah investasi. Kemudian, karena uang itu sifatnya sangat rekonversibel, dengan mudah dikonversi ke bentuk investasi lain, misalnya bagaimana jika uang yang terparkir di bank-bank luar negeri itu dikonversi ke obligasi atau saham? Kalau investasi diizinkan, mengapa harus ditarik ke dalam negeri? 

Kemudian, Pemerintah sudah melakukan kebijakan yang mewajibkan WNI, Lembaga, atau badan hukum Indonesia, minimal melaporkan (ke Ditjen Pajak) mengenai kepemilikan dana di luar negeri, berupa Tax Amnesty 2017-2018. Mengapa tidak mewajibkan pemiliknya untuk memindahkan dana itu ke Indonesia?

Jika ini dilakukan maka yang terjadi adalah tindakan resiprokal (balasan) dari negara lain terhadap Indonesia. Jika ini terjadi, adalah persoalan baru yang lebih rumit. Misalnya, apa jadinya jika semua investor asing pemegang surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah RI dan badan Indonesia menarik dananya bareng-bareng? Atau semua investor asing secara bersamaan melepas saham perusahaan Indonesia? Kolaps. 

Kemudian, Indonesia paling tidak telah meratifikasi Pengesahan ASEAN Comprehensive Investment Agreement pada tanggal 8 Agustus 2011 melalui Perpres No. 49 Tahun 2011, salah satunya di sektor keuangan. Artinya, investor dari negara-negara anggota ASEAN bebas berinvestasi di Indonesia, termasuk di sektor keuangan.

Begitu juga investor Indonesia bisa melakukan hal yang sama di negara-negara anggota ASEAN. Jika ada larangan di mana investor Indonesia tidak dizinkan membuka rekening bank di luar negeri, maka itu adalah betuk inkonsistensi dari yang telah ditetapkan sebelumnya. 

Berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, ratifikasi atas perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang, atau setidaknya melalui Peraturan Presiden atas persetujuan DPR. Artinya, dari segi legal, melarang WNI, Lembaga, atau badan hukum Indonesia mentransfer uang ke luar negeri, harus mencabut beberapa ratifikasi atas perjanjian internasional yang dilakukan bersama DPR.

Jadi, jika ingin menerapkan pelarangan itu, tidak hanya dengan menerbitkan Keppres. Konsekuensi hukumnya panjang. 

Sementara untuk dana-dana yang dicurigai sebagai hasil korupsi di Indonesia, yang terparkir di bank-bank di luar negeri atas nama WNI, Lembaga, atau badan hukum Indonesia, Pemerintah Indonesia sedang mengupayakannya agar dana-dana itu kembali ke Indonesia sebagai milik Negara Republik Indonesia. Seperti kesepakatan Mutual Legal Agreement (MLA) yang ditandatangani Pemerintah RI dan Swiss di Bernerhof Bern, Swiss pada 4 Februari 2019.

Kemudian, kebijakan kedua yaitu menetapkan bunga deposito 0%. Tujuannya, agar para orang kaya memilih menginvestasikan uangnya di sektor riil, ketimbang disimpan di bank. Ini juga tujuannya bagus. Tapi, persoalannya juga banyak. 

Pertama, jika bunga deposito diumumkan 0% (bunga tabungan juga pasti 0%). Saya yakin, besoknya semua bank akan kolaps, semua berlomba menarik dananya dari bank, hingga likuiditas bank terkuras. Kalo sistem perbankan kolaps, maka ekonomi akan menyusul.

Lalu, bagaimana dengan bunga obligasi, SUN, dan sebagainya? Jika tidak dibuat 0%, apa bedanya dengan sekarang? Cuma beda lembaga yang meng-collect uang. Jika harus 0% juga, sebagaimana disinggung di atas, maka investor asing (di portfolio) akan kabur.

Kaburnya investor asing, tidak akan membawa Rupiah, tapi mereka meng-convert dulu ke valas. Bisa dibayangkan, jika semua investor asing pull out dari Indonesia, lalu menukar semua Rupiahnya ke valas (khususnya US$, Euro, Yen, dll.). Maka Rupiah akan terdepresiasi hebat (nilai tukarnya terjun bebas). Pasti. 

Kedua, jika deposito 0%, tabungan 0%, surat utang 0%, maka uang akan lari ke saham. Uang akan terkonsentrasi di tangan investor. Gak ada untuk kredit UMKM, KPR, konsumsi, dsb.

Ketiga, deposito 0%, harapannya yang punya banyak uang tidak menyimpannya di bank, tapi investasi di sektor riil.

Pertanyaannya, apakah setiap orang yang punya uang banyak punya peluang bisnis? Apakah setiap orang kaya punya kompetensi berinvestasi di sektor bisnis? Punya manajemen dan SDM-nya? Tidak.

Lalu apa yang akan terjadi? Yang punya uang akan bekerja sama dengan yang punya peluang bisnis, punya tim, punya keahlian. Atau, mereka meminjamkan langsung ke orang lain atau perushaan yang punya peluang bisnis.

Apa bedanya dengan bunga deposito di bank 5%? Malah ini tidak terkendali, tidak terkelola secara nasional karena dilakukan secara individual. Pasti akan banyak orang atau perusahaan yang menawarkan peluang atau kerja sama. Kalo gak usah investasi bisa dapat duit, mending pinjemin duit ke perusahaan. Rentenir pasti akan marak. 

Keempat, harapannya dengan bunga deposito 0% investasi langsung (di sektor riil) marak apakah infrastrukturnya sudah siap? Jika dilakukan, uang hanya akan beredar di daerah yang infrastrukturnya sudah bagus. Gak akan ada bisnis di daerah remote. 

Kelima, jika deposito 0% orang tidak ada yang menyimpann uang di bank. Lalu dari mana bank menyalurkan kredit untuk UMKM, KPR RSS, kredit konsumsi, dsb? Gak ada. Yang akan terjadi adalah uang hanya beredar di kalangan yang memiliki uang dan peluang (lapisan atas). Tidak ada keadilan di bidang keuangan. 

Keenam, Indonesia sudah meratifikasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (kecuali dicabut). Jika deposito di Indonesia 0%, maka uang akan migrasi ke negara ASEAN lain. Di Malaysia 3,25%, Singapura 2,25%, Filipina 4,75%, Vietnam 6,25%, Myanmar 10%. 

Ketujuh, dengan BI 7 days Rate 7,25% (deposito sekitar segitu juga) inflasi Indonesia 2018 3,19%. Bagus. Apa jadinya jika deposito 0%, bisa hiper inflasi. 

Saya sangat yakin, ide sesederhana itu tidak mungkin tidak terpikirkan dan tidak pernah dikaji oleh BI atau Kemenkeu. Kalau hasil kajiannya ‘bisa diterapkan’, pasti sudah banyak negara yang menerapkannya. Ini kan tidak. Karena memang dalam menumbuhkan ekonomi tidak ada jalan pintas, Ferguso!

Saya sengaja tidak memposting video itu di sini, karena bisa khawatir ada orang salah interpretasi atau sengaja diplesetkan (narasinya diedit) jadi seolah itu akan dilakukan pemerintah. Jika itu terjadi, sangat-sangat berbahaya.

***