Misteri di Balik Akreditasi Rumah Sakit, Upaya Pelarian Tanggung Jawab BPJS?

Minggu, 6 Januari 2019 | 18:33 WIB
0
901
Misteri di Balik Akreditasi Rumah Sakit, Upaya Pelarian Tanggung Jawab BPJS?
Ryamizard Ryacudu (Foto: RMOL Jabar)

Seorang pimpinan beberapa rumah sakit di Jawa Timur menyatakan “siap fight” jika ternyata Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) tidak memenuhi kewajiban melunasi hutangnya yang belum dibayar hingga kini. Wow? Tidak hanya itu.

Ia juga menyatakan “siap fight” kalau sampai ada upaya akuisisi oleh Lippo Group terhadap RS di bawah naungannya dengan modus akreditasi yang tak terpenuhi sehingga harus “putus kontrak” dengan BPJS. Luar biasa sikap pimpinan RS ini!

Pasalnya, akibat tertundanya pembayaran kewajiban dari BPJS, dampaknya adalah kesulitan pihak RS untuk membayar obat-obatan kepada suplier sehingga bisa mengakibatkan pula RS tidak dipercaya untuk mengambil obat-obatan kembali.

Seperti diberitakan di berbagai media, per-2 Januari 2019, BPJS Kesehatan “putus kontrak” kerja sama dengan sejumlah RS. Alasan penghentian kerjasama itu karena tidak terpenuhinya persyaratan akreditasi yang diatur Kementerian Kesehatan.

Alasan yang tentu saja bisa dipertanyakan secara logika. Logikanya, kalau tidak memenuhi persyaratan, mengapa sebelumnya BPJS bisa dan mau bekerjasama dengan sejumlah RS? Sebuah ironi yang tampaknya sulit untuk masuk di logika.

Dengan adanya pemutusan kontrak kerjasama itu, otomatis RS tak bisa lagi menerima pasien yang berobat menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan. Padahal, awalnya masyarakat banyak berharap kepada sistem pelayanan BPJS Kesehatan.

Apalagi pada Februari 2018 lalu, ‎Presiden Joko Widodo sempat memamerkan keunggulan program Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan BPJS Kesehatan kepada Managing Director IMF, Christine Lagarde. Tapi, ternyata itu semua hoax.
 
BPJS merupakan bagian dari program Jaminan Kesehatan Nasional. BPJS terdiri dari dua jenis yaitu non-PBI (non-Penerima Bantuan Iuran) bagi yang mampu dan PBI (Penerima Bantuan Iuran) bagi masyarakat yang tidak mampu.

Dalam BPJS non-PBI terdapat kelas-kelas berdasarkan tingkatan pelayanan kesehatan. Setiap kelas mempunyai tarif yang harus dibayar, seperti kelas 1 kelas yang tertinggi bertarif Rp 80.000, kelas 2 Rp 51.000, dan kelas 3 Rp 30.000.

Dengan membayar iuran tersebut, terdapat berbagai macam fasilitas yang ditanggung. Mulai dari rawat jalan, rawat inap, persalinan, hingga alat bantuan kesehatan. BPJS Kesehatan non-PBI memberlakukan denda jika ada keterlambatan pembayaran iuran satu bulan.

Tapi, manfaat yang dijanjikan dari adanya program BPJS tersebut, kini tinggal isapan jempol. Contohnya, prajurit TNI, PNS Kemhan dan keluarga serta Purnawirawan tak lagi bisa berobat langsung ke fasilitas kesehatan Kementerian Pertahanan/TNI.

Hal tersebut karena ada pemberhentian secara sepihak rujukan online ke fasilitas kesehatan Kemhan/TNI oleh BPJS Kesehatan. Karena itulah Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu akhirnya menyurati Presiden Joko Widodo.

Dalam surat tertanggal 17 September 2018 itu disebutkan, penghentian ini akibat defisit anggaran BPJS Kesehatan, sehingga diterbitkan Inpres No 8/2017. Isinya, Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan dan ditindaklanjuti Perubahan Perpres tentang Jaminan Kesehatan.

“Rencana Perubahan Peraturan Presiden ini tidak mengakomodir kekhasan Pelayanan Kesehatan Kemhan/TNI khususnya masalah rujukan,” tulis Menhan Ryamizard dalam suratnya bernomor B/1341/M/IX/2018 itu.

Misalnya, sejak Mei 2018, FKTP-TNI-AL seperti Balai Kesehatan (BK) Jonggol, Ciangsana dan Jatibening yang lokasinya di luar wilayah Jakarta tidak bisa merujuk Prajurit TNI, PNS Kemhan dan keluarga serta purnawirawan ke fasilitas kesehatan Kemhan/TNI ke RS TNI-AL Mintoharjo.

“Demikian juga terjadi pada BK Pangkalan Jati, para Pensiunan Perwira Tinggi (Pati) sejak 25 Juni 2018 tidak bisa dirujuk ke rumah sakit Marinir Cilandak dan Rumah Sakit TNI-AL Mintoharjo,” jelasnya.

Menindaklanjuti kejadian itu, Kemhan menyurati Kemensesneg (B/1093/M/VII/2018 pada 31 Juli 2018) tentang saran dan masukan Rancangan Perpres Jaminan Kesehatan, menyarankan tentang pasal baru mengenai sistim rujukan bagi anggota Prajurit TNI, PNS Kemhan, dan keluarga serta Purnawirawan sesuai kekhasan TNI.

Kekhasan sistem pelayanan kesehatan Kemhan/TNI meliputi pengelolaan fasilitas kesehatan yang bersifat komando dan sentralistik. Pelayanan kesehatan bagi anggota Prajurit TNI, PNS Kemhan dan keluarga serta Purnawirawan adalah bagian dari kesejahteraan dan diberikan secara maksimal yang dilaksanakan di fasilitas kesehatan Kemhan/TNI.

“Sistem rujukan dalam pelayanan kesehatan diatur tersendiri sesuai dengan kepentingan Kemhan/TNI karena kekhususan organisasi dan tugasnya,” tegas Menhan.

Tujuan awal memasukan Kemhan/TNI ke dalam program BPJS Kesehatan untuk mendapat pelayanan kesehatan yang lebih baik bagi anggota Prajurit TNI, PNS Kemhan dan keluarga serta Purnawirawan sebagaimana yang dijanjikan BPJS Kesehatan.

“Tapi, dalam implementasinya, pelayanan kesehatan tidak semakin efektif dan lebih menurun daripada sebelumnya,” tegas Menhan.

Menhan Ryamizard menyimpulkan bahwa masuknya pelayanan kesehatan anggota Prajurit TNI, PNS Kemhan dan keluarga serta Purnawirawan ke dalam sistim Jaminan Kesehatan Nasional tidak memberikan hasil dan manfaat yang lebih baik dan efektif.

“Permasalahan dalam pelayanan kesehatan anggota Prajurit TNI, PNS Kemhan dan keluarga serta Purnawirawan merupakan perbedaan cara pandang antara Kemenkes dan Kemenhan, dalam melaksanakan pelayanan kesehatan yang memiliki kekhususan dalam organisasi dan tugasnya,” tegasnya.

Ryamizard memohon agar dalam penyelenggaraan program BPJS Kesehatan ini, Kemenkes sebagai pengambil kebijakan mempertimbangkan sejarah dan kekhususan organisasi dan tugasnya.

Skenario Akuisisi

Berdasarkan data BPJS hingga Mei 2018, peserta program jaminan kesehatan telah mencapai sekitar 200 juta jiwa (sekitar 75 persen) penduduk Indonesia. Sebanyak 93 juta jiwa diantara mereka adalah PBI, sisanya adalah non-PBI.

Tapi, kini RS-RS terkendala untuk dapat memberikan pelayanan optimal kepada masyarakat karena adanya persoalan keuangan BPJS, yakni membengkaknya defisit arus kas (cash flow). Dalam catatan Prognosis BPJS Kesehatan hingga akhir 2018 defisit arus kas BPJS Rp 16,5 triliun.

Meskipun Kementerian Keuangan telah melakukan berbagai upaya pertolongan, namun defisit cash flow BPJS Kesehatan tidak bisa diatasi dengan baik. Hingga akhirnya terjadi pemutusan kerja sama antara BPJS dengan sejumlah RS.

Sebelumnya sempat tersiar banyak berita tentang kerepotan keuangan RS akibat klaim yang tidak kunjung dibayar oleh BPJS. Keluhan itu merata, baik dari RS Swasta maupun RSUD, dari kota kecil hingga Jakarta.

Dampaknya terasa ke segala arah mulai dari pasien dan masyarakat lainnya, dokter, karyawan hingga supplier alat-alat kesehatan dan obat-obatan (farmasi). Keadaan ini tentu meresahkan Semua pihak utamanya pasien yang berobat ke RS.

Sebelumnya, Presiden Jokowi melalui KIS dan BPJS Kesehatan selalu gembar-gembor soal itu, sehingga membuat pembangunan klinik-klinik kesehatan serta RS swasta semakin marak. Namun belakangan ini berubah menjadi suram.

Para pengelola RS dan klinik-klinik swasta yang semula berharap mendapat profit dari sini, ternyata kini mereka dihadapkan pada seretnya likuiditas. Sementara klaim ke BPJS makin sulit dipenuhi.

Tertundanya pembayaran piutang klaim membuat manajemen RS seolah kesulitan bernafas. Para pemodal kecil RS menghadapi suasana kritis. Melanjutkan bisnis dihadang tipisnya oksigen likuiditas. Mundur dari bisnis dihadapkan pada value jual RS yang menurun.
 
Tjahja Gunawan, wartawan senior dalam tulisannya menyebut, keadaan ini seolah merupakan bagian dari skenario besar para pemilik modal besar untuk mencaplok sejumlah rumah sakit yang sekarat akibat mismanajemen di BPJS Kesehatan.

“Skenario ini seperti sebuah rencana yang disusun rapih antara rezim yang berkuasa saat ini dengan para taipan yang bergerak dalam industri rumah sakit dan pelayanan kesehatan,” tulis Tjahja Gunawan, seperti dilansir RMOL.co, Sabtu (5/1/2019).

Perusahaan besar yang telah lebih dulu membangun dan mengembangkan unit bisnis dalam industri rumah sakit, diantaranya Grup Lippo. Kelompok usaha Mochtar Riady dan anaknya, James Riady ini, telah memiliki jaringan RS Siloam di berbagai daerah di Indonesia.
 
Demikian juga Grup Usaha Mayapada milik Ang Tjoen Ming (biasa dipangggil Tahir), telah membangun RS Mayapada di sejumlah kota di Indonesia. Kelompok itulah yang memiliki kemampuan membeli rumah sakit yang “sekarat” akibat seretnya pembayaran klaim BPJS.

Jika kondisinya seperti sekarang, bukan mustahil nantinya pelayanan kesehatan masyarakat bukan lagi menjadi domain pemerintah, tetapi akan diambil alih perusahaan swasta yang memiliki kapital besar seperti Grup Lippo dan Mayapa Grup.
 
“Selain kedua perusahaan konglomerasi tersebut, bisa jadi yang akan mengakuisisi rumah sakit-rumah sakit yang “sakit” tersebut adalah konsorsium investor RS di luar negeri,” tulis Tjahja Gunawan.
 
Lalu dampaknya, masyarakat menengah bawah akan semakin sulit mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik dan terjangkau!

***