Ini Saatnya Gugat Balik Televisi Swasta

Salah satu masalah terbesar dalam UU Penyiaran adalah belum terlaksananya Sistem Penyiaran Jaringan.

Sabtu, 29 Agustus 2020 | 12:53 WIB
1
1899
Ini Saatnya Gugat Balik Televisi Swasta
Kolase pribadi: Perindo dan Nasdem manfaatkan TV-nya

Khalayak netizen mendadak ramai menyebut nama stasiun televisi swasta pertama di Indonesia, RCTI di berbagai saluran media sosial. Stasiun televisi milik Hari Tanoe tersebut menjadi bahasan karena sedang menggugat Undang-undang Penyiaran ke Mahmakah Konstitusi. Isi gugatan adalah keberatan mereka terhadap maraknya kegiatan penyiaran melalui media sosial dan internet, yang begitu bebas sehingga mengganggu kelangsungan hidup televisi swasta, termasuk RCTI (dan tentu saja grupnya, MNC, I-News dan Global TV).

Menurut RCTI seharusnya pemerintah mengatur kegiatan penyiaran melalui media sosial dan internet tersebut, seperti juga aturan yang melekat pada stasiun televisi swasta. Wadahnya adalah Undang-undang Penyiaran nomor 32 tahun 2002. Selain alasan ketidakadilan perlakuan, RCTI juga menegaskan tujuan gugatan itu untuk menjaga moral bangsa.

Tentu saja sebagian besar netizen merespon negatif aksi korporasi RCTI tersebut. Mereka menuding RCTI dan grupnya sedang kelimpungan karena mulai disaingi oleh medsos, internet, dan terutama Youtube. Warganet menuduh RCTI sedang berusaha mematikan atau mengebiri media sosial. Media yang sekarang sedang menjadi kesayangan warganet.

Mari kita telisik satu persatu:

Apakah gugatan RCITI sudah tepat?
Apakah tujuan keadilan sudah pas?
Apakah alasan demi moral bangsa juga benar?

 Hukum Alam di Semua Sektor

Pada awal tahun 1930-an, televisi mulai hadir di dunia ini melalui siaran hitam putih di Amerika Serikat. Kehadiran televisi waktu itu membuat media penyiaran yang lebih dulu ada yaitu stasiun radio kelimpungan. Boleh dikatakan, “Televisi nyaris membunuh radio.” Namun demikian faktanya tidak demikian. Sampai saat ini radio masih tetap eksis, meskipun jumlah audiensnya tak pernah mampu mengalahkan televisi.

Hal tersebut saya sampaikan sebagai gambaran bahwa setiap saat dunia berubah. Perubahan itu adalah hukum alam, sunnatullah. Tak ada satu pun pihak yang mampu menolak perubahan. Menolak atau mati, begitu istilah yang tepat untuk menggambarkan dampak penolakan berubah, seperti yang terjadi pada hewan masa lalu dinosaurus. Jadilah cicak, yang meski kecil dan lemah tapi tetap eksis sampai sekarang karena ramah terhadap perubahan.

Di berbagai bidang perubahan terjadi yang menyebabkan begitu banyak korban. Hadirnya internet pada akhir tahun 1990-an, membunuh banyak hal, selain melahirkan banyak hal. Teknologi digital membunuh ratusan perusahaan besar, meski sebaliknya juga melahirkan perusahaan besar baru. Kodak dan Fujifilm sengsara berkepanjangan akibat teknologi foto digital. Hadirnya teknologi seluler, juga membunuh banyak hal. Begitulah terus menerus silih berganti perubahan terjadi.

Dalam dua dekade terakhir, perubahan teknologi begitu cepat terjadi. Internet menjadi biang utama perubahan, menghadirkan beragam teknologi di dalamnya. Gojek lahir karena hal tersebut. Bluebird dan perusahaan sejenis di seluruh dunia kelimpungan karenanya. Siapa yang tak mau ikut berubah atau malah melawan, akan merasakan sendiri akibatnya. Bluebird cerdas. Mereka ikut serta dalam perubahan dan berkolaborasi dengannya.

Media massa di berbagai belahan dunia pun terkena dampak hebat dari media sosial, salah satu bentuk teknologi baru dari internet. Di banyak negara, media massa konvensional mati, atau mati suri, atau terpaksa mengikuti perubahan. Grup media massa terbesar di Indonesia Kompas Gramedia menjadi salah satu korban, meski sudah berupaya menyesuaikan. Beberapa nama beken media besutan Kompas Gramedia seperti Majalah Hai atau Tabloid Bola, gulung tikar.

Tepatkah Gugatan RCTI ini?

Saya acungi jempol buat RCTI dan grupnya yang berani mengajukan gugatan UU Penyiaran kepada Mahkamah Konstitusi. Mungkin hal ini merupakan salah satu cara dari sekian banyak jalan untuk mengatasi beragam masalah perusahaan. Pemasukan terus berkurang, apalagi pada masa pagebluk Covid-19. Di luar sana, ada pihak lain yang justru berpesta pora. Sungguh keadaan yang tidak adil dan sangat menyesakkan.

Namun demikian apakah sudah tepat gugatan ini? Tidak. Sama sekali tidak tepat. Sekian lama saya bekerja di dunia penyiaran dan mempelajari beragam aturan yang melingkupinya. Dalam Undang undang Penyiaran nomor 32 tahun 2002 secara tegas dan jelas disebutkan tentang definisi penyiaran.

Pasal 1 ayat 2 berbunyi penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.

 

Artinya, penyiaran yang tidak menggunakan spektrum frekuensi radio tidak termasuk dalam objek yang diatur dalam undang-undang ini. Kecuali jika memang disebutkan secara khusus, seperti televisi berlangganan.  

Dalam Pasal 1 ayat 8 dijelaskan tentang spektrum frekuensi radio adalah gelombang elektromagnetik yang dipergunakan untuk penyiaran dan merambat di udara serta ruang angkasa tanpa sarana penghantar buatan, merupakan ranah publik dan sumber daya alam terbatas.

Inilah alasan kenapa radio dan televisi diatur begitu ketat dan rigid. Ini pula alasan kenapa penyiaran perlu suatu komisi khusus (Komisi Penyiaran Indonesia – KPI). Media penyiaran seperti televisi dan radio menggunakan spektrum frekuensi radio milik publik. Milik kita semua. Milik rakyat Indonesia. Oleh karenanya, pemilik stasiun televisi dan radio tak boleh sesuka hati menggunakan medianya. Tak boleh mentang-mentang punya dana besar dan jaringan kekuasaan, lalu menyiarkan materi siaran sesuai kepentingannya.

Apakah Rans Entertainment, Baim Wong, Anji, Sule Channel, Taulany TV, atau jutaan penyedia konten di Youtube dan jutaan lainnya melalui Instagram atau Facebook, menggunakan spektrum frekuensi radio milik publik? Tidak. Jadi, media sosial tidak bisa diatur dengan UU Penyiaran karena mereka tidak termasuk dalam kategori penyiaran seperti yang dimaksud dalam UU tersebut.

Mereka mungkin bisa disamakan seperti media massa cetak. Mereka tidak menggunakan media milik publik. Kertas sebagai alat penyebaran media cetak, bukan milik publik. Media massa cetak mendapatkan perlakuan berbeda dalam menyebarkan informasi kepada masyarakat dibanding media penyiaran. Ketat iya, tapi tak seketat penyiaran. Tidak ada lembaga selevel KPI di sana. Yang ada hanya Dewan Pers yang tugas dan perannya berbeda dengan KPI. Media massa cetak memiliki aturan tersendiri dalam Undang-undang Pers, dan lebih banyak dibatasi oleh Kode Etik.

Jika mau mengatur kehidupan penyiaran di media sosial akan lebih tepat pemerintah dan DPR mengeluarkan undang-undang baru. Mereka tidak bisa dimasukkan ke dalam Undang-undang Penyiaran, apalagi ke dalam Undang-undang Pers.

Saatnya Televisi Nasional – Terutama RCTI - Bercermin

Seperti para penguasa industri di bidang lain sebelumnya, mungkin inilah saatnya televisi bercermin diri. Selama sekian dekade mereka menikmati kue ekonomi yang luar biasa besar. Data dari biro iklan menyebutkan kue iklan televisi setiap tahun tidak kurang dari 60% total kue iklan nasional. Sisanya dibagi oleh radio, media cetak, media luar ruang, dan belakangan media internet. Sejak tahun 1990-an sampai sebelum era medsos dan pagebluk Covid-19, televisi swasta sudah menikmati keuntungan besar.

Ketika hadirnya teknologi baru dan era yang tak disangka-sangka ini, mereka terkaget dan sempoyongan. Kue iklan begitu cepat beralih. Yang terkena dampak bukan hanya televisi, melainkan juga semua media konvensional (media cetak dan radio). Tak banyak yang mampu beradaptasi dengan perubahan luar biasa ini.

Yang patut ditanyakan adalah sudahkah mereka terutama televisi swasta nasional memenuhi peraturan yang tercantum dalam Undang-undang Penyiaran?      

1.      Sudahkan isi siaran televisi swasta sesuai dengan Undang-undang Penyiaran?

Pasal 3 menyebutkan, “Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia.”

Sudahkah televisi swasta nasional ikut membina watak dan jati diri bangsa? Sudahkah televisi swasta nasional mencerdaskan kehidupan bangsa?

Pasal 4 ayat 1 menyebutkan, “Penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial.”

Sudahkah televisi swasta nasional menyuguhkan hiburan yang sehat?

Pasal 36 menyebutkan, “Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu.” Halo pengelola televisi nasional! Wabilkhusus MNC Grup dan Metro TV. Apa kabar siaran Anda setiap kali menjelang pemilihan umum? Sudah netralkah? Berapa banyak Perindo mendompleng grup televisi miliknya untuk kepentingan mereka sendiri? Berapa banyak Nasdem mengisi slot milik publik pada televisinya sendiri? Berapa banyak Golkar menjadi pihak yang diuntungkan oleh stasiun televisi milik kelompoknya? Bagaimana netralitas seluruh televisi swasta nasional terhadap suatu pemerintahan? Pasal 36 UU Penyiaran sudah jelas-jelas dilanggar.

2.      Sudahkah beragam aturan yang wajib dalam UU dipenuhi televisi swasta nasional?

Pasal 17 ayat 3 mengatakan, “Lembaga Penyiaran Swasta wajib memberikan kesempatan kepada karyawan untuk memiliki saham perusahaan dan memberikan bagian laba perusahaan.” Mungkin ini menjadi urusan internal televisi swasta dan regulator. Namun demikian, karena tercantum dalam UU maka publik pun berhak mengetahuinya.

Salah satu masalah terbesar dalam UU Penyiaran adalah belum terlaksananya Sistem Penyiaran Jaringan. Pada Pasal 31 disebutkan, “Lembaga Penyiaran Swasta dapat menyelenggarakan siaran melalui sistem stasiun jaringan dengan jangkauan wilayah terbatas.” Penjelasan tentang Sistem Penyiaran Jaringan itu terdapat pada pasal 6. Sistem ini mengadopsi penyiaran di beberapa negara maju, dengan tujuan mengurangi dominasi televisi swasta di Jakarta. UU Penyiaran mengatur sedemikian rupa sehingga televisi lokal pun bisa hidup berdampingan dengan televisi nasional.

Beberapa tahun setelah UU Penyiaran berlaku, televisi lokal bermuncul di mana-mana. Harapan besar jelas tergambar dari para pemilik modal daerah untuk menikmati juga kue iklan televisi yang besar itu, sekaligus meningkatkan muatan lokal dalam siaran. Apa yang terjadi kemudian? Hingga detik ini, Sistem Penyiaran Berjaringan tak juga berjalan. Televisi lokal pun berguguran kemudian. Konon, kekuatan modal televisi nasional menjadi salah satu faktor. Bukan rahasia lagi jika sistem ini berjalan maka kue iklan akan terbagi kepada televisi lokal. Tentu saja suatu kerugian besar buat televisi swasta nasional yang berkedudukan di ibu kota negara.

Cukup banyak aturan dalam UU Penyiaran yang belum atau tidak dilaksanakan atau bahkan dilanggar. Termasuk tentang pembatasan kepemilikan seseorang di industri penyiaran. Kita tahu sendiri siapa saja gelintir pemilik televisi swasta nasional. Aturan masih bisa dinegosiasi.

 

Sekarang mereka kebakaran jenggot dengan kehadiran media sosial dan internet yang makin merajalela? Sebaiknya mereka juga bercermin. Jangan sampai buruk muka sendiri, cermin yang dibelah.

 Kita sebagai bagian dari publik – pemilik spektrum frekuensi radio – berhak menggugat mereka atas ketidakpatuhan terhadap Undang-undang Penyiaran. Siapa tahu ada yang berpikir untuk menggugat balik mereka?

Dodi Mawardi 

***