Plumpang dan "Bom Waktu" Masalah

Kemajuan datang ketika mindset masyarakat termasuk pejabat sudah berubah lebih baik. Itu juga menjadi bahan permenungan penulis.

Minggu, 12 Maret 2023 | 19:35 WIB
0
113
Plumpang dan "Bom Waktu" Masalah
Depo Pertamina Plumpang (Foto: tempo.co)

Jakarta menyimpan problematika kependudukan yang akut. Banyak masalah datang karena pendatang, rumah-rumah kumuh, sempit dan berdesakan tanpa aturan. Semakin banyaknya penduduk pendatang mendatangkan banyak masalah.

Anomali begitulah penulis menggambarkan tentang problematika Plumpang. Menurut Wikipedia anomali merujuk pada keanehan yang terjadi atau dengan kata lain tidak seperti biasanya.Anomali juga sering disebut sebagai suatu kejadian yang tidak bisa diperkirakan sehingga sesuatu yang terjadi akan berubah-ubah dari kejadian biasanya.

Kalau melihat tata-ruang peninggalan Belanda, betapa sudah kacau-balau peruntukan tanah-tanah di Jakarta. Tumpang-tindih kepemilikan tanah  susah membedakan mana sertifikat asli atau aspal. Ada banyak IMB diterbitkan bukan berdasarkan peta tanah dan asal usul pemilik aslinya, namun dari politik uang, hingga muncul terbitnya sertifikat tanah bodong yang lama-lama diakui keasliannya karena sudah berpindah kepemilikan berkali-kali. Membeli tanah di metropolitan sangat rawan, sebab kalau tidak jeli akan menjadi masalah dikemudian hari.

Tanah di Plumpang sebelumnya adalah tanah rawa. Seperti halnya Kelapa Gading, Kebayoran, Pondok Indah. Menurut informasi tanah di Plumpang didirikan bangunan depo pertamina akibat durian runtuh ketika muncul boom minyak yang melunjak di masa orde baru sekitar tahun 1970-an.

Jangan mudah percaya dengan tanah yang dijual murah. Jangan pula terpukau dengan penjualan rumah tanpa agen resmi. Di Jakarta sudah langka tanah asli, atau dengan sertifikat sesuai peruntukan sebagai tempat hunian. Bahkan tanah yang seharusnya tidak boleh didirikan bangunan seperti tanah yang dilalui sutet, pinggiran sungai, tanah merah atau tanah yang berdekatan dengan depo pertamina, atau pabrik kimia.

Namun semua bisa dilakukan saat ini. Asal bisa membayar jasa pendirian bangunan, tidak peduli status tanah milik perusahaan, milik pribadi atau milik negara bisa didirikan dengan catatan berani membayar mahal pada para cukong.

Kasus tanah di Plumpang Jakarta Utara contohnya. Penduduk yang mendirikan rumah di dekat depo pertamina yang berdiri sejak 1974 harusnya sadar dari awal bahwa mereka tinggal di zona berbahaya. Namun karena ulah oknum, cukong tanah yang bekerja sama dengan ASN petugas kelurahan, petugas akta tanah, muncullah rumah-rumah yang semula semi permanen kemudian dengan bantuan oknum petugas kelurahan,  muncul HGB kemudian diputihkan untuk dijadikan hak milik dengan sertifikat tampak asli tetapi sebetulnya palsu. Plumpang berkembang pesat penduduknya ketika gubernur Jokowi. Mereka diberi akses untuk menerbitkan KTP sebagai pengakuan penduduk resmi.

Ahok, yang paham soal tanah lantas mengubah kebijakan dan memperingatkan bahwa penduduk tidak boleh menempati zona aman Pertamina karena beresiko jika suatu saat depo bermasalah yang nantinya akan berekses pada penduduknya. Setelah era Ahok berganti dan Anies menjadi gubernur. Mereka seperti mendapat angin segar dengan munculnya  kebijakan melindungi hak penduduk sekitar depo. Dengan menerbitkan IMB.

Kalau dirunut lebih lanjut, tidak mungkin bisa menerbitkan sertifikat di zona merah.

Tanah sekitar  Plumpang yang zona merah saat ini sangat padat penduduknya. Ini akibat dari hukum yang tidak tegas yang membuat penduduk yang semula illegal akhirnya dilegalkan karena rasa kasihan, rasa kemanusiaan, dan rasa lain yang membuat hal yang salah pada akhirnya dibenarkan.

 

Hal-hal yang semula kerumunan, numpang hidup, numpang bekerja dengan sedikit rejeki akhirnya bisa mendirikan bangunan dengan berjalannya waktu perekonomian membaik, mereka bisa mengubah bangunan semi permanen bisa permanen, yang semual tidak bersertifikat akhirnya bisa memegang sertifikat, dan pada suatu masa ada pejabat sedang mencari pendukung menjanjikan terbitnya IMB dengan sertifikat tanah legal hanya karena belas kasihan bukan karena status hukum. Padahal secara hukum tanah itu jelas illegal karena berada di zona merah. Satu yang bisa digambarkan untuk para penduduk yang mau tinggal di situ. Nekat.

Anehnya saat ini muncul petisi dari para pendatang di zona merah itu, mereka mengajukan usul atau sebutkan petisi atau kesepakatan bersama agar depo itu dipindahkan karena membahayakan kehidupan mereka. . Kalau sampai depo pindah sungguh aneh bin ajaib karena pemilik tanah bisa dengan mudah disuruh pindah.

Kalau saya berpikir waras ngeri kali ya tinggal di Jakarta ini. Seperti hidup ditanah yang dibawahnya ada sekam dan api yang sewaktu-waktu akan membara kalau tertiup angin. Jadi membayangkan. Ada seseorang pendatang yang tidak punya pekerjaan, tidak punya tempat tinggal, tidak punya status datang ke kota. Ia kemudian menjadi pemulung. Menitipkan barang di tanah kosong. Ketika pemilik tanah cuek, tidak segera mengusirnya, seseorang itu lantas membuat gubuk, dan sejumlah barang rongsokan yang semakin lama semakin menggunung.

Karena seseorang itu butuh kepastian maka ia mulai bisa menyisakan sedikit uang untuk mendirikan bangunan di tanah kosong tersebut, lama-lama tanpa pengetahuan pemilik tanah ia membuat bangunan semipermanen. Dari tahun ke tahun rumahnya semakin besar lantas mengundang saudaranya datang dan tinggal dan akhirnya mendirikan bangunan baru. Setelah rumah besar dan permanen dengan banyak penghuni di situ muncullah oknum rakus yang menawarkan untuk mengurus akte tanah dengan sejumlah uang. Maka terbitlah HGB dan HM tanpa kesepakatan dengan pemilik tanah aslinya. Persoalan bertambah rumit ketika pemilik aslinya menuntut untuk pengosongan tanah, karena pendatang itu merasa mengantongi sertifikan hak milik yang kata petugas kelurahan “asli”.

Itulah yang terjadi di Jakarta. Perkampungan padat penduduk baik di Marunda, di Penjaringan, di Pegongkelan di Petogogan kalau dirunut pasti punya masalah serupa. Yang semula tanah kosong, dalam kurun beberapa tahun berubah menjadi perkampungan, dan sampai sekarang lantas berkembang pesat. Persoalannya ada banyak dari mereka yang warganya illegal, hak milik fiktif, listrik pun banyak yang hanya menumpang dengan dengan penduduk lainnya, sehingga muncul kebakaran dikarenakan kasus arus pendek. Salah satu masalah kebakaran dengan arus pendek karena betapa ruwetnya proses pemasangan listrik dengan standar pemasangan rendah yang beresiko menyebabkan mudah konsleting, hubungan arus pendek, gas tabung meledak hingga muncul kebakaran yang menjadi langganan perkampungan  padat.

Plumpang itu anomali yang dibiarkan hingga menunggu boom masalah di suatu hari, sekarang masalah itu benar-benar datang. Dan kalau akhirnya pemerintah ngalah betapa ngerinya masa depan negeri ini. Sebagai warga negara yang mencintai NKRI merindukan hukum yang jelas hingga muncul keadilan. Karena selama ini rasanya mustahil muncul pejabat yang berani menegakkan hukum secara benar karena saat itu cuanlah yang bicara jika bicara kenyataan yang sebenarnya.

Satu dua orang pejabat bersih seperti tersapu dengan kasus-kasus oknum pejabat yang benar-benar julid yang memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri termasuk penegak hukumnya. Kemajuan datang ketika mindset masyarakat termasuk pejabat sudah berubah lebih baik. Itu juga menjadi bahan permenungan penulis. Salam.

***