Membangun Birokrasi yang Baik Lewat Omnibus Law

Setidaknya cobalah mendapatkan bintang 5 sebanyak banyaknya dari pemohon. Maka tidak lagi ada kata hujatan abadi di ranah media online seperti saat ini. Salam bintang 5.

Minggu, 5 Juli 2020 | 10:11 WIB
0
392
Membangun Birokrasi yang Baik Lewat Omnibus Law
Angkatan kerja mencari kesempatan bekerja (Foto: katadata.co.id)

Sudah berkali kali sahabat luar kota menghubungiku untuk membantunya mengurus perijinan usahanya. Bukannya aku menolak, tapi dengan kondisi saat ini yang belum memungkinkan untuk bekerja normal maka tawarannya belum ku iyakan. “Menunggu PSBB berakhir”. Jawabku.

Media internet memang sangat membantu. Searching lalu ketemu informasi yang diinginkan. Tinggal Ketik alamat kantor perijinannya seperti dimaksud maka tersaji beragam data yang kubutuhkan.
Astaga , rupanya sama saja review (ulasan) dari pemohon dari kota satu ke kota lainya. “Patologi Birokrasi”. Istilah yang kupelajari saat kuliah dulu.

Yang ngasih bintang satu banyak bener. Sedangkan memberi bintang 5 hanya segelintir orang. Nilai akumulasinya di bawah 3 (2,5) . Kalau ulasan seperti ini ada di marketplace pasti owner-nya ketar ketir dan akan mencari cara menaikan ratingnya. Memengaruhi bisnisnya.

Orang tidak akan percaya lagi dan memilih menggunakan aplikasi lainnya. Masih ingat pengemudi ojol yang ke suspend gegara ada penumpangnya iseng ngasih bintang satu. Neah gitulah kira2 . Implikasinya sangat besar.

Customer/klien/pemohon atau apalah sebutannya bagi pengguna jasa pasti tidak akan mau mengalami kesulitan dalam pengajuan permohonan ijinnya. Apa yang tertera di Standar Pelayanan Operation Procedure (SOP) seharusnya tidak berbeda di lapangan. Karena semuanya terrikat peraturan . dari peraturan tingkat pusat turun ke provinsi lalu ke kabupaten/ kota melalui peraturan daerah ataupun peraturan kabupaten/ walikota .

Di lapangan Ketika tertulis misal 8 hari selesaia, maka bisa menghabiskan waktu berbulan bulan tak jelas rimbanya .Apa yang salah sih? Apa harus OMNIBUS LAW segera disyahkan ?

Omnibus Law

Dari Orde Baru hingga Reformasi sampai saat ini, pelayanan publik masih stagnan belum beranjak ke paripurna melayani dalam hati. Satu satunya pengalaman pribadi dalam pelayanan terbaik yang aku rasakan baru sebatas pelayanan di bidang imigrasi pembuatan pasport . Diakui banyak berbenah kalau yang ini mah.

Kembali soal perijinan. Ketika Pemerintah mencoba menelurkan kebijakan baru. Mengepres (menekan) peraturan perundangan yang tumpang tindih di nergeri ini sejak jaman baheula (Belanda) , disitulah pro dan kontra terjadi. Itulah sisi positif negara demokrasi. Semuanya diselesaikan dengan musyawarah mufakat.

Maka diperlukan perundangan yang lebih baik lagi. Kalaupun mencontoh negara maju seperti halnya Amerika Serikat, maka Omnibus Law harus menyesuaikan diri dengan kearifan lokal khas Indonesia.

Sisi Positif

Sepakat dengan Pernyataan Menteri Koordinator Perekonomina, Airlangga Hartanto yang menekankan RUU Cipta Kerja itu bertujuan menyederhanakan birokrasi, meningkatkan investasi dalam negeri, dan menciptakan lapangan kerja. Jika RUU itu disahkan, dia yakin Indonesia menjadi negara terdepan se-ASEAN.

Betul memang, Kalau di bidang ketenagakerjaan ada 74 peraturan yang coba ditekan habis habisan agar menjadi satu kesatuan . Mempermudah perijinan, memperingkas birokrasi (serba online) , dan memudahkan investasi masuk ke negeri ini.

Belajar dari ulasan pemohon yang komplain beragam masalah. Dimulai dari sarana prasarana internet yang loading lama , perbedaan waktu penyelesaian di sistem dengan yang fakta di lapangan, proses penerimaan perijinan yang mesti harus ke kantor dinasnya padahal katanya akan dikirim lewat kurir (pos).

Hal hal yang seperti ini di lapangan menimbulkan polemik. Kembali masyarakat tidak percaya akan aparatur daerah dalam pelayanan publik. Padahal jelas mereka ada dengan tugas memberikan pelayanan . Bukan maunya dilayani.

Ketika Omnibus Law dibahas, ada banyak pertimbangan termasuk kasus kasus yang terjadi di lapangan. Sistem Perijinan terintegrasi dari Pemerintah melalui Online Single Submission (OSS) sudah sangat baik mengakomodir para pemohon usaha . Pemohon tinggal melengkapi persyaratan yang dibutuhkan selama kebenaran datanya bisa dipertanggungjawabkan.

Mengurus perijinan sesuai klasifikasi baku lapangan industri (KBLI) di saat pandemi ini tidak menyurtuken volume pengajuannya. Pengajuan melalui OSS meningkat tajam. Bukti bahwa perekonomian menggeliat.

Berbeda di lapangan ketika urusan komitmen ke Pemda provinsi /kabupaten/kota kembali ruwet. Birokrasi malah semakin panjang.

Makanya dari dasar itulah, aku berharap Omnibus Law mampu menjawab tantangan rintangan pelayanan perijinan di tingkat daerah. Harus ada kesamaan visi misi . Satu dari atas ketika memudahkan maka yang dibawahnya pun memudahkan. Sudahlah jangan lagi pungli , karena sejarah sudah banyak membuktikan pungli tidak membuatmu sejahtera. Layanilah dengan baik maka rezeki kalian akan baik.

Omnibus Law ini pernah juga disampaikan di World Bank, World Economic Forum, dan lainnya. Pemerintah selalu menyebut UU Cipta Kerja ini akan mendorong Indonesia melakukan transformasi dan Indonesia bisa lebih unggul dibandingkan negara-negara lain di ASEAN. Berharap sih demikian adanya.

Salah satu Sektor yang masuk ke dalam rancangan yang sudah disetujui DPR ini adalah sektor ketenagakerjaan. Karean runtutannya banyak. Dimulai dari Peraturan hukum yang harus seragama sama dari hulu ke hilir.

Omnibus Law hendaknya bermuatan positif. Direncanakan dengan niatan baik, diundangkan dengan cara yang baik, diinformasikan kepada masyarakat luas untuk diterapkan dengan baik, diawasi dan diberikan hukuman bagi pelanggarnya dengan cara yang baik dan tegas. Maka menjadi bangsa yang bermartabat (tidak dihina Dina di belakang) akan mudah diraih.

Setidaknya cobalah mendapatkan bintang 5 sebanyak banyaknya dari pemohon. Maka tidak lagi ada kata hujatan abadi di ranah media online seperti saat ini. Salam bintang 5.

***