Kertajati Menabrak Tren Jakartasentris

Bandara Kertajati di Jawa Barat, bukan tidak mungkin keberadaannya justru membuat kebudayaan masyarakat daerah tersebut kian mendunia.

Selasa, 26 Maret 2019 | 18:52 WIB
0
428
Kertajati Menabrak Tren Jakartasentris
Bandara Kertajati di Jawa Barat - Foto: bisniswisata.co.id

Banyak yang meremehkan keberadaan bandar udara (bandara), hingga muncul ungkapan semacam, "Rakyat tidak buruh infrastruktur." Membuat saya terbayang ke daerah saya sendiri, Aceh. Saat harus bepergian mesti menghabiskan waktu hingga lima atau enam jam hanya untuk bisa mencapai bandara, bagi yang ingin menempuh perjalanan udara.

Bisa dibayangkan, jika untuk ke Jakarta saja membutuhkan waktu di udara hampir tiga jam, harus lebih dulu menghabiskan waktu lima-enam jam untuk bisa sampai ke bandara. Praktis, sembilan hingga 10 jam mesti dihabiskan, hanya untuk bisa menikmati perjalanan udara. 

Ada bandara alternatif, yakni Bandara Kuala Namu di Sumatra Utara, namun untuk ke sini pun membutuhkan waktu hingga 15-18 jam lewat darat. Ada bandara kecil yang jadi penghubung Aceh Barat-Nagan Raya dengan Sumut, Bandara Cut Nyak Dhien, namun tak selalu ada sebagaimana Bandara Iskandar Muda di Banda Aceh atau Kuala Namu di Sumut.

Bayangan fakta itu juga yang berkelebat ketika belakangan ini banyak yang mencibir keberadaan Bandara Kertajati di Jawa Barat. Sebuah cibiran, yang saya kira, karena mereka menutup mata atas fakta bahwa provinsi itu memiliki penduduk terbesar di Indonesia, ditambah dengan Jawa Tengah yang juga memiliki populasi tinggi--sebagian berdekatan dengan Jawa Barat.

Kecenderungan itu, meremehkan keberadaan infrastruktur, saya pikir karena memang masih banyak yang menganut pandangan Jakartasentris atau Jawasentris. Banyak yang merasa bahwa di Jawa hampir segalanya ada, maka itu juga telah ada di daerah-daerah luar Jawa.

Di sinilah saya pikir bahwa Presiden Joko Widodo punya sudut pandang lain dalam melihat, kenapa infrastruktur sejak awal telah menjadi perhatian besarnya. Sebab ia sudah melihat bagaimana adanya ketimpangan besar antara apa yang telah didapat oleh Pulau Jawa dan sejauh apa yang telah didapat daerah-daerah luar Jawa. 

Kacamata Jakartasentris atau Jawasentris sama sekali tidak tepat digunakan untuk melihat daerah-daerah lain. Jokowi, di sini, terlihat juga berpandangan begitu, makanya ia hampir setiap pekan berkeliling ke berbagai daerah di luar Jawa. Sebab dengan itulah ia bisa lebih dekat dan memahami apa sesungguhnya yang menjadi persoalan daerah-daerah non-Jawa. 

 


Bandara Kertajati di Jawa Barat - Foto: bisniswisata.co.id
Ironis, memang. Bagaimana sudut pandang Jakartasentris itu juga menimpa Jawa Barat, yang sebenarnya merupakan tetangga Jakarta. Pandangan Jakartasentris itu juga yang membuat Bandara Kertajati dicemooh, dicibir, dan dilihat dengan skeptis. Tidak bermaksud menuding, namun mental pencemooh dan pencibir ini saya simak memang semakin identik dengan calon presiden yang berkali-kali gagal meraih kekuasaan, Prabowo Subianto. 

Kertajati dan infrastruktur lain yang sudah dibangun, jadi bahan cemoohan Prabowo dan kubu di belakangnya, karena mereka belum mampu melihat manfaat dari keberadaan penunjang mobilitas masyarakat tersebut. 

Kenapa bisa seorang calon presiden seperti Prabowo bisa memiliki kecenderung sebagai pencemooh begitu? Tidak lain, dalam hemat saya, karena ia sendiri dipenuhi ambisi untuk bisa memburu kekuasaan, sehingga tidak mampu mencium apa yang menjadi kebutuhan rakyat sebenarnya.

Celakanya, Sandiaga Uno sebagai calon wakil presiden yang mendampingi Prabowo pun setali tiga uang. Itu diperlihatkannya, tak terkecuali di ajang debat yang berlangsung Minggu (17/3/2019). 

"Sekarang kita memang lihat prioritas kita (pemerintah) ada di infrastruktur. Prioritas di infrastruktur, kita akan seimbangkan pembangun manusia dan budaya juga harus menjadi prioritas Prabowo-Sandi," kata Sandi saat itu.

Ada kesan bahwa infrastruktur tidak berperan terhadap budaya, dan tidak berdampak terhadap pembangunan manusia. 

Sandi tampaknya belum mampu melihat bagaimana keberadaan jalan-jalan hingga bandara telah membantu banyak anak-anak luar Jawa bisa mendapatkan pendidikan jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya. Anak-anak di pelosok Aceh hingga pelosok Papua, bisa menempuh pendidikan di universitas-universitas terbaik, terutama yang berada di Jawa. 

Anak-anak di desa-desa, yang dulu acap harus meniti jembatan tali yang menghubungkan satu desa dengan desa lainnya, kini bisa lebih leluasa menjangkau sekolah-sekolah mereka. Tak lain karena kini telah ada jembatan-jembatan yang jauh lebih layak. Jembatan-jembatan itu tidak saja menjadi "kemewahan" yang menjadi impian mereka sejak lama, tapi juga menjembatani anak-anak itu ke masa depan mereka.

Pun terkait budaya (buddahayah),  ada kesan seolah infrastruktur akan menjadi penghancur kebudayaan. Padahal, kebudayaan tidaklah selemah itu. Kebudayaan pun tidak menuntut sebuah komunitas masyarakat mesti berjalan di tempat. 

Bahkan seorang Ki Hajar Dewantara yang notabene hidup di masa lalu pun melihat kebudayaan lebih luwes. Menurutnya, jelas,  budaya merupakan suatu hasil dari perjuangan masyarakat terhadap alam dan juga terhadap zaman.

Di sisi lain, menurut "Bapak Pendidikan" tersebut, kebudayaan justru membuktikan suatu kemakmuran serta kejayaan dari kehidupan masyarakat pada saat menghadapi suatu kondisi yang sulit dan rintangan untuk bisa mencapai suatu kemakmuran serta kebahagiaan dalam kehidupan.

Kembali ke urusan infrastruktur, entah jalan, jembatan, hingga bandara, rasanya absurd atau sangat tidak masuk di akal, ada calon pemimpin yang gagal memahami kenapa semua itu dibutuhkan, tak terkecuali dalam membangun budaya. 

Sebagai contoh Kertajati di Jawa Barat, bukan tidak mungkin keberadaannya justru membuat kebudayaan masyarakat daerah tersebut kian mendunia. Selain, lebih banyak orang-orang dari mancanegara lebih leluasa mendarat di "Bumi Pasundan" dan mereka menjadi "duta-duta" yang memperkenalkan daerah tersebut ke negara mereka.

Saya pribadi, sebagai bagian orang Indonesia yang berasal dari daerah, justru berharap lebih banyak bandara yang ada di daerah-daerah. Dengan itu, mobilitas masyarakat di daerah dapat lebih meningkat. Sebab, ibarat tubuh, hanya tubuh yang lebih rajin bergerak yang akan lebih sehat. Sedangkan jika tubuh lebih sering diam, malas gerak, acapkali hanya menjadi sasaran penyakit.

***