Sekali Lagi tentang "Cost Recovery"

Barang yang dibeli dengan dana Cost Recovery milik negara. Kok gak pernah ada penerimaan negara dari penjualan residu barang produksi migas yang dibeli dengan dana Cost Recovery?

Senin, 26 Agustus 2019 | 09:22 WIB
0
395
Sekali Lagi tentang "Cost Recovery"
Refinery (Foto: Blogger.com)

Setiap kali membaca APBN, ada pos belanja yang membuat saya (mungkin juga jutaan orang) sakit hati dan bertanya-tanya: Cost Recovery. Disederhanakan, Cost Recovery adalah biaya produksi migas (termasuk eksplorasi) yang ditagihkan dan harus dibayar oleh negara. Cost Recovery adalah Kontrak Kerja Sama antara investor migas dengan Pemerintah RI yang diatur berdasarkan Pasal 56 PP No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas.

Pada APBN 2018 misalnya, lifting minyak 800 ribu barel dan lifting gas setara 1,2 juta barel. Total 2 juta barel. Harga minyak US$48 per barel. Final output-nya: penerimaan migas hanya Rp80,3 triliun. Tapi biaya produksi (Cost Recovery) yang harus dibayar oleh Pemerintah sebesar US$10 miliar setara Rp135 triliun (asumsi Rp13.500/US$).

Artinya:  Yang dikeluarkan negara (tahun 2018): biaya produsi atau cost recovery sebesar Rp135 triliun + cadangan migas 2 juta barel x 365 (hari).

Yang diterima negara (tahun 2018): Rp80,3 triliun + migas 2 juta barel x 365 (hari). 

Hasilnya: Rp80,3 triliun – Rp135 triliun = (Rp54,7 triliun). Minus...!!

Kalau begitu, kenapa kita gak impor saja seluruhnya? 

Kalau impor minyak: 

Yang dikeluarkan negara: uang US$48 x (2 juta x 365)
Yang diterima negara: Minyak senilai US$48 x (2 juta x 365)

Kesimpulannya: menambang migas sendiri lebih mahal ketimbang impor. Seharusnya kan ada lebihnya (saving). Ini kok sebaliknya?

Pemerintah sudah menerbitkan PP No.52 Tahun 2017 (perubahan atas PP No.8 Tahun 2017) yang menganulir Pasal 56 PP No. 35 Tahun 2004. Cost Recovery diganti dengan Gross Split: biaya produksi ditanggung investor, nanti dikompensasi dengan porsi bagi hasil. Fair.

Tapiiii ... kontrak adalah kontrak, harus ditaati hingga masa kontrak berakhir. Negara RI tidak bisa membatalkan kontrak KKS secara sepihak, meskipun counterpart-nya adalah sebuah perusahaan.

Jadi, Gross Split hanya berlaku untuk kontrak-kontrak migas yang baru, setelah PP No.52 Tahun 2017 diterbitkan. Dari sekitar 85 kontrak kerja sama migas yang memakai skema Cost Recovery, baru pada tahun 2035 seluruhnya berakhir. Karena itu, hingga tahu 2034 Cost Recovery yang nilainya besar masih akan membebani APBN. Besarnya nilai Cost Recovery, membuat bottomline neraca industri hulu migas kita minus.

Hal lain yang saya tidak tahu, bagaimana membuktikan semua kebutuhan (barang dan jasa) yang ditetapkan perusahaan KKKS dalam anggaran Cost Recovery dan diajukan ke Pemerintah, benar adanya, gak ada mark up dan sejenisnya? Terlebih kebutuhan atau anggaran untuk jasa. Rasanya gak mungkin SKK Migas ngecek ke rig tengah laut untuk membuktikan ada kebutuhan jasa di sana.

Kemudian, barang-barang yang dibeli dengan dana Cost Recovery adalah milik negara. Kok gak pernah ada penerimaan negara dari penjualan residu barang-barang produksi migas yang dibeli dengan dana Cost Recovery?

Ah sudahlah. Ini hanya catatan, betapa banyak hal ‘aneh-aneh’ yang dilakukan oleh pemerintahan masa lalu. Persoalan-persoalan kayak gini gak populer di masyarakat. Isu semacam Cost Recovery gak akan mampu bersaing dengan isu Vina Garut atau Somad. Padahal menyangkut duit rakyat dalam jumlah sangat besar.

***