Barang yang dibeli dengan dana Cost Recovery milik negara. Kok gak pernah ada penerimaan negara dari penjualan residu barang produksi migas yang dibeli dengan dana Cost Recovery?
Setiap kali membaca APBN, ada pos belanja yang membuat saya (mungkin juga jutaan orang) sakit hati dan bertanya-tanya: Cost Recovery. Disederhanakan, Cost Recovery adalah biaya produksi migas (termasuk eksplorasi) yang ditagihkan dan harus dibayar oleh negara. Cost Recovery adalah Kontrak Kerja Sama antara investor migas dengan Pemerintah RI yang diatur berdasarkan Pasal 56 PP No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas.
Pada APBN 2018 misalnya, lifting minyak 800 ribu barel dan lifting gas setara 1,2 juta barel. Total 2 juta barel. Harga minyak US$48 per barel. Final output-nya: penerimaan migas hanya Rp80,3 triliun. Tapi biaya produksi (Cost Recovery) yang harus dibayar oleh Pemerintah sebesar US$10 miliar setara Rp135 triliun (asumsi Rp13.500/US$).
Artinya: Yang dikeluarkan negara (tahun 2018): biaya produsi atau cost recovery sebesar Rp135 triliun + cadangan migas 2 juta barel x 365 (hari).
Yang diterima negara (tahun 2018): Rp80,3 triliun + migas 2 juta barel x 365 (hari).
Hasilnya: Rp80,3 triliun – Rp135 triliun = (Rp54,7 triliun). Minus...!!
Kalau begitu, kenapa kita gak impor saja seluruhnya?
Kalau impor minyak:
Yang dikeluarkan negara: uang US$48 x (2 juta x 365)
Yang diterima negara: Minyak senilai US$48 x (2 juta x 365)
Kesimpulannya: menambang migas sendiri lebih mahal ketimbang impor. Seharusnya kan ada lebihnya (saving). Ini kok sebaliknya?
Pemerintah sudah menerbitkan PP No.52 Tahun 2017 (perubahan atas PP No.8 Tahun 2017) yang menganulir Pasal 56 PP No. 35 Tahun 2004. Cost Recovery diganti dengan Gross Split: biaya produksi ditanggung investor, nanti dikompensasi dengan porsi bagi hasil. Fair.
Tapiiii ... kontrak adalah kontrak, harus ditaati hingga masa kontrak berakhir. Negara RI tidak bisa membatalkan kontrak KKS secara sepihak, meskipun counterpart-nya adalah sebuah perusahaan.
Jadi, Gross Split hanya berlaku untuk kontrak-kontrak migas yang baru, setelah PP No.52 Tahun 2017 diterbitkan. Dari sekitar 85 kontrak kerja sama migas yang memakai skema Cost Recovery, baru pada tahun 2035 seluruhnya berakhir. Karena itu, hingga tahu 2034 Cost Recovery yang nilainya besar masih akan membebani APBN. Besarnya nilai Cost Recovery, membuat bottomline neraca industri hulu migas kita minus.
Hal lain yang saya tidak tahu, bagaimana membuktikan semua kebutuhan (barang dan jasa) yang ditetapkan perusahaan KKKS dalam anggaran Cost Recovery dan diajukan ke Pemerintah, benar adanya, gak ada mark up dan sejenisnya? Terlebih kebutuhan atau anggaran untuk jasa. Rasanya gak mungkin SKK Migas ngecek ke rig tengah laut untuk membuktikan ada kebutuhan jasa di sana.
Kemudian, barang-barang yang dibeli dengan dana Cost Recovery adalah milik negara. Kok gak pernah ada penerimaan negara dari penjualan residu barang-barang produksi migas yang dibeli dengan dana Cost Recovery?
Ah sudahlah. Ini hanya catatan, betapa banyak hal ‘aneh-aneh’ yang dilakukan oleh pemerintahan masa lalu. Persoalan-persoalan kayak gini gak populer di masyarakat. Isu semacam Cost Recovery gak akan mampu bersaing dengan isu Vina Garut atau Somad. Padahal menyangkut duit rakyat dalam jumlah sangat besar.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews