Beberapa bulan yang lalu saya membaca artikel di CNN (kalau tidak salah), tentang ekonomi Saudi Arabia. Ada 800 ribu tenaga kerja asing yang dipulangkan dari negara itu. Apa pasal? Ekonomi Saudi sedang guncang karena gejolak harga minyak. Orang-orang Saudi yang tadinya hidup nyaman tanpa perlu bekerja, kini mulai pontang panting mencari kerja.
800 ribu orang TKA itu adalah para pekerja kasar. Semua pekerjaan kasar di Saudi selama ini dikerjakan oleh TKA. Orang Saudi tidak mau mengerjakannya. Lalu orang Saudi sendiri kerja apa? Profesional kelas atas? Sepertinya tidak juga. Berbagai sektor engineering dan produksi masih tergantung pada engineer asing. Demikian pula dosen-dosen di perguruan tinggi, masih banyak diisi oleh orang asing.
Saudi adalah negara yang kaya raya. Tapi negara ini jauh dari maju dalam hal sumber daya manusia dan teknologi. Ironisnya, kemiskinan juga bukan tidak ada.
Sebagian dari uang hasil minyak Saudi dipakai untuk membangun infrastruktur. Infrastruktur Saudi secara umum bagus, jauh lebih bagus dari punya kita. Tapi sebagian yang lain, dalam jumlah yang sangat besar, dihambur-hamburkan dalam berbagai bentuk pemborosan, khususnya untuk kenikmatan keluarga raja. Istana-istana megah berdiri di berbagai tempat di seantero negeri.
Kita tidak sekaya Saudi. Tapi dalam hal sumber daya alam, kita jelas jauh lebih kaya dari Singapura, Malaysia, dan Thailand. Tapi faktanya, dalam berbagai ukuran ekonomi dan kesejahteraan, kita tertinggal.
Apa yang terjadi? Korupsi. Juga pemborosan. Orang menyusun anggaran dengan tujuan ada pembangunan fisik. Ada proyek di situ. Dari sisi penyusunannya saja sudah minim pertimbangan prioritas. Yang penting anggaran dipakai, untuk kemudian diembat.
Kita pernah menikmati "oil boom" di tahun 70-an. Ada uang kaget yang didapat dari lonjakan harga minyak pada waktu itu. Dari uang itulah Soeharto mengeluarkan Inpres untuk membangun berbagai sarana. Hasilnya kita kenal dalam bentuk SD, pasar, puskesmas, semuanya berlabel inpres.
Itu yang tersisa. Yang tidak tersisa dalam benda berwujud jauh lebih banyak, dihamburkan untuk hal-hal yang tidak jelas.
Apakah kita sudah berubah?
Kekayaan alam kita sudah merosot. Minyak dan gas sudah mau habis. Kita bukan lagi negara pengekspor minyak utama. Secara netto, kita adalah negara pengimpor minyak. Pemasukan dari penjualan komoditas alam sudah merosot jauh, khususnya 5 tahun terakhir. Itulah yang menyebabkan defisit neraca perdagangan yang berkepanjangan saat ini.
Sementara itu pola penggunaan anggaran tidak banyak berubah. Anggaran tidak disusun dengan memikirkan prioritas. Bahkan di DKI ada begitu banyak anggaran berjenis “nenek lu”. Prinsipnya sama seperti dulu, yaitu membuat anggaran supaya bisa mendapat keuntungan darinya.
Saya lihat di berbagai daerah, para kepala daerah berlomba membangun kantor-kantor megah. Kantor gubernur, bupati, serba megah belaka. Banyak provinsi, kabupaten/kota yang baru dibentuk, prioritas utama kepala daerahnya adalah membangun kantor megah.
Lebih parah lagi, ada begitu banyak gedung kantor yang dibuat dengan anggaran tinggi, tapi kualitasnya asal jadi. Kemudian tidak pula dirawat. Bangunan baru banyak yang temboknya retak, langit-langitnya runtuh.
Bagaimana dengan korupsi? Business as usual. Setiap bulan ada saja kepala daerah yang tertangkap. Sebagian karena kasus korupsi anggaran. Anggota DPR dan DPRD juga banyak yang kena.
Dalam suasana itu, banyak orang yang tidak kritis terhadap pemborosan. Eh, banyak yang kritis, kalau yang boros itu adalah lawan politiknya. Kalau Anies memboroskan anggaran beberapa ratus juta saja, ributnya minta ampun. Itu bagus sih sebenarnya. Tapi kalau yang memboroskan adalah pihak yang didukung, ada begitu banyak alasan yang dibuat.
Bagi saya pemborosan anggaran ini harus segera dihentikan, tanpa pandang bulu. Sungguh ajaib kalau orang mendukung kelompok politik atau politikus tanpa sikap kritis soal bagaimana mereka memakai anggaran. Sungguh ajaib kalau ada yang berargumen,”Kan sudah banyak anggaran yang dipakai untuk membangun infrastruktur. Boleh dong membangun sesuatu yang mewah dan megah.”
Tidak boleh. Ekonomi kita tidak ada jaminan untuk selalu positif. Seperti sekarang, digoyang oleh kebijakan di Amerika saja kita sudah oleng. Sementara itu utang laur negeri kita sudah menumpuk. Sekarang angkanya sudah di atas 5000 T.
Jangan sampai kita kendor dalam mengkritik pemborosan anggaran.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews