Indeks Korupsi Tinggi tapi Investor Tetap ke Vietnam, Mengapa?

Mungkin karena menanam investasi di sini jauh lebih ribet. Ngurus izin memakan waktu tahunan. Pas keluar izinnya, mungkin investornya juga sudah lupa pernah berniat investasi di Indonesia.

Senin, 24 Februari 2020 | 22:26 WIB
0
321
Indeks Korupsi Tinggi tapi Investor Tetap ke Vietnam, Mengapa?
Demo buruh (Foto: beritasatu.com)

Indeks Persepsi Korupsi (IOK) di Vietnam lebih tinggi dibanding Indonesia. Pada 2019, misalnya, IPK Indonesia 40, sedangkan Vietnam angkanya masih 37 dan Thailand berada di angka 36.

Tapi investor lebih memilih ke Vietnam. Apakah ini menandakan investor lebih suka negara yang korup untuk menanam investasinya?

Bukan itu masalahnya.

Kita mungkin lebih 'bersih' dibanding Vietnam. Pejabat disini takut korupsi karena KPK galak, media bebas, social media sangat riuh. Apalagi kalau tertangkap, wajahnya dipajang di TV. Dipertontonkan ke seluruh masyarakat. Bagi pejabat, KPK adalah malaikat maut yang siap kapan saja mencabut nyawa mereka.

Sedangkan pejabat Vietnam korupsinya mungkin lebih getol. Maklum dalam system politik yang tidak demokratis, biasanya juga dihiasi dengan maraknya korupsi. Artinya dalam soal doyan sogok dan ngentit, Vietnam lebih gahar dibanding Indonesia.

Setidaknya itu tercermin dari persepsi orang-orang yang mau berurusan dengan birokrasi negara. Sebab pengukuran indeks korupsi dilakukan dengan menjaring opini dari pihak yang punya pengalaman berurusan dengan birokrasi.

Tapi ada satu yang pasti, jalanan di Vietnam jarang ada demo buruh. Buruhnya juga tidak banyak neko-neko. Produktivitasnya lebih tinggi dibanding buruh di Indonesia.

Dalam sebuah laporan survey pengusaha Jepang (Jetro) didapatkan bahwa produktifitas pekerja Indonesia hanya mendapat nilai 74,4, berada di urutan tiga paling bawah di Asia Pasific. Bandingkan dengan produktifitas buruh Vietnam yang mencapai 80.

Padahal kabarnya upah buruh di Vietnam rata-rata hanya 80% dari buruh di Indonesia.

Dengan kata lain, di Vietnam stabilitas dunia perburuhan lebih terjaga.

Sebetulnya, soal stabilitas dunia perburuhan juga sangat dekat dengan stabilitas politik. Mungkin karena system pemerintahan di Vietnam yang penuh control, sehingga kegiatan-kegiatan politik realtif sepi. Buruh hanya sibuk bekerja tanpa diribetkan dengan demo-demo yang kadang malah menakutkan pengusaha.

Pemerintah Vietnam mungkin agak keras. Dan disana gak ada FPI apalagi HTI. Kerja, ya kerja. Dagang ya, dagang. Gak direpotin sama demo-demo.

Dalam urusan urusan privat, misalnya soal agama, dibiarkan menjadi urusan privat. Pemerintah gak memposisikan diri sebagai polisi moral yang ngatur soal gimana cara pacaran. Sampai jilbab apa yang paling syari.

Vietnam lebih korup. Tapi investor lebih suka menanamkan uangnya disana. Investasi asing dari seluruh dunia mengalir yang akan berakibat makin terbukanya lapangan pekerjaan buat rakyat. Dengan demikian otomatis kesejahteraan secara umum juga akan meningkat.

Hal itu lebih disebabkan karena negeri itu lebih stabil. Politisi gak banyak pecicilan. Kepastian hukum relatif terjaga. Apalagi untuk kepastian investasi.

Rakyat Vietnam yang pernah capek menghadapi invasi AS, juga sadar. Mereka harus bangkit. Harus bekerja keras agar ekonomi berputar. Kalau mau kaya, gak cukup dengan jualan motivasi berbungkus agama. Kalau mau dapat duit, caranya bukan jadi penceramah konteoversial yang gampang mengkafir-kafirkan.

Apalagi bergaya seperti petinggi buruh yang kiwar-kiwir naik mobil mewah, tetapi mengklaimn mewakili komunitas pekerja Indonesia. Atau aktifis LSM-LSM yang kerjanya teriak-teriak dan ngompor yang ujungnya akan membuat kondisi social politik gonjang-ganjing.

Vietnam sadar, ada dua kekuatan dunia yang bersaing sekarang --AS dan Cina. Negeri ini dulu pernah dibombardir AS. Diluluhlantakan. Darah dan penderitaan rakyat dimana-mana. Jadi setelah bebas, dia gak mau terulang lagi.

Mereka bersahabat dengan AS, bukan menghamba. Demikian juga dengan Cina. Semua saling memberi keuntungan. Vietnam memetik manfaat besar dari stabilitas politiknya. Dan kepastian hukum. Gak banyak ribut membuat negeri itu sekarang sibuk bekerja. Peluang kerja terbuka lebar dari investor berebut relokasi industri ke sana.

Vietnam juga gak punya gurun. Gimana kadal mau hidup?

Sementara kita? Masih bergulat dengan narasi asing, aseng, asu. Padahal di jaman begini, investasi adalah tulang punggung. Tanpa investasi, Indonesia akan terkapar diterpa krisis.

Jika investasi mandeg, ada jutaan lulusan yang keluar dari sekolah menengah dan kampus-kampus yang akan menyesaki dunia kerja. Jika peluangnya sempit, mereka akan menjadi beban yang memberatkan kehidupan.

Artinya begini. Di Vietnam, indeks korupsinya lebih jelek disbanding Indonesia. Thailand juga begitu. Tetapi kenapa investor lebih tertarik menanam duitnya kesana ketimbang ke Indonesia?

Mungkin karena menanam investasi disini jauh lebih ribet. Ngurus izin saja bisa memakan waktu tahunan. Pas keluar izinnya, mungkin investornya juga sudah lupa pernah berniat investasi di Indonesia.

“Kelebihannya, mas. Dengan kondisi begini, Indonesia jadi bebas Corona. Gimana mereka mau masuk, kalau ngurus izinnya berbelit-belit,” celetuk kumkum.

Eko Kuntadhi

***