Lagi, Soal Utang Luar Negeri

Dalam tiga tahun terakhir, Pemerintah Indonesia dinilai konsisten dengan kebijakan restorasi ekonomi yang dilakukan Pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Minggu, 1 September 2019 | 21:29 WIB
0
500
Lagi, Soal Utang Luar Negeri
Presiden Joko Widodo (Foto: Suratkabar.id)

Per akhir triwulan II 2019 tercatat utang Indonesia sebesar US$391,8 miliar, yang terdiri atas utang pemerintah dan bank sentral sebesar US$195,5 miliar, serta utang swasta sebesar US$196,3 miliar. Jadi, yang menerbitkan surat utang (luar negeri) itu bukan cuma Pemerintah, bukan cuma Jokowi, tapi juga BUMN dan perusahaan swasta.

Bisa saja perusahaan tempat anda bekerja pun menerbitkan surat utang. Sangat mungkin sebagian dari masyarakat belum tahu tentang hal ini. Dan ingat, Pemerintah dan BUMN untuk menerbitkan surat utang, harus mendapat persetujuan dari DPR, termasuk fraksi-fraksi parpol oposisi yang ada di DPR.

Kenapa utang swasta dimasukkan sebagai utang negara?

Karena, penerbitan surat utang oleh perusahaan swasta harus disetujui oleh Bank Indonesia sebagai otoritas moneter. Selain itu, terutama pada saat jatuh tempo pembayaran, akan berpengaruh terhadap sisi demand akan valas (utang luar negeri pasti dalam valas, khususnya US$) di pasar uang, yang otomatis mempengaruhi nilai tukar Rupiah.

Rasio utang Pemerintah terhadap PDB per Juni 2019adalah 18,27%. Sedangkan Rasio utang SWASTA (termasuk BUMN) terhadap PDB sebesar 18,45%.

Jika utang Pemerintah dan BUMN digabungkan maka rasio utang terhadap PDB per Q2 2019 sebesar 27,61%. Masih sangat jauh di bawah rasio maksimal 60% seperti yang ditetapkan dalam Undang Undang Keuangan Negara tahun 2003.

Negara-negara maju umumnya memiliki eksposur utang yang sangat besar, bahkan lebih 100% dari PDB. Gak masalah, selama pengelolaannya baik. Kemudian, sumber utang itu sendiri bukan negara lain atau lembaga keuangan internasional, tapi pasar surat berharga.

Sejak 1998, ‘utang’ baru Indonesia pun sebagian besar ditarik dari pasar. Dari total utang US$391,8 miliar, 82,81% ditarik dari pasar. Adapun 17,19% utang yang sumbernya pinjaman dari negara lain atau lembaga keuangan internasional, sebagian besar warisan Pemerintahan Orde Baru.

Karena uang dihimpun (oleh Pemerintah, BUMN, dan perusahaan swasta) dari pasar, melalui penerbitan surat berharga negara (SBN) atau surat utang dengan bunga tertentu, maka membeli SBN itu disebut investasi, pembelinya disebut investor.

Ini tidak berbeda dengan bank. Banyak dari kita yang menyimpan uangnya di Bank Mandiri, BRI, BNI, BCA, dll. “Oh tidak, saya mah menyimpannya di bank syariah, tidak ada bunga tapi ‘bagi hasil’, tidak riba.” Boleh ditelusuri, hampir 100% bank syariah pemilik saham mayoritasnya atau pemodalnya adalah bank konvensional.

Lalu, kenapa masyarakat percaya menyimpan uang di Bank Mandiri, BRI, BNI, BCA, atau bank syariah?

Karena, pertama, masyarakat percaya uang yang disimpan di bank dikelola dengan baik. Kedua, dijamin oleh Lembaga Penjaminan Simpanan. Ketiga, alasan sebagian masyarakat menyimpan uangnya di bank, karena bunganya. Bagi investor, bank atau surat utang itu sama: modal investasi tidak langsung.

Loh.... bagi bank, simpanan dana masyarakat (DP3) itu utang. Makin besar jumlah simpanan masyarakat, makin besar utang bank tersebut. Tapi, masyarakat makin percaya. Kenapa kalau bank makin besar ‘utangnya’ anda makin percaya, tidak jadi soal. Sementara negara makin besar utangnya, anda risau, marah, benci? Ini aneh.

Sebenarnya, anda menyoal utang negara itu karena anda peduli terhadap negara? Kalau itu alasannya, kenapa anda percaya terhadap bank? Bukankah saat ini penggerak pembangunan, mesin utama pertumbuhan ekonomi adalah swasta? Jangan-jangan anda menyoal utang negara itu karena anda benci Jokowi. Kalau itu alasannya, ya gak usah ngomong utang negara segala. Apapun yang dilakukan Jokowi pasti salah.

Dalam dunia investasi internasional dikenal rating (peringkat) investasi yang diberikan oleh lembaga pemeringkat investasi (tidak disebut utang). Sejauh ini ada tiga lembaga pemeringkat investasi internasional yang paling terpercaya, Fitch Rating, Moody’s Investors Service, dan yang paling tinggi standarnya: Standard and Poor’s (S&P).

Untuk apa peringkat investasi satu negara? Sebagai bahan pertimbangan bagi para investor internasional dalam menentukan negara mana yang akan dijadikan tempat menanamkan modalnya, baik investasi langsung maupun dalam bentuk portfolio.

Pertama kali, S&P memberikan rating investment grade bagi Indonesia pada 7 Juli 1992 dengan rating BBB-. Kemudian pada 18 April 1996 S&P menaikkan rating Indonesia menajdi BBB. Ketika krisis moneter terjadi pada tahun 1997 S&P merevisi rating Indonesia menjadi BBB-.

Mulai 31 Desember 1997, ketika krisis makin parah, S&P mencabut predikat ‘layak investasi’ dari Indonesia dengan menurunkan rating menjadi BB+. Sejalan dengan S&P, lembaga-lembaga lain pun menurunkan rating Indonesia menjadi ‘tidak layak investasi’.

Sejak itu, Indonesia menjadi negara yang tidak recommended bagi para investor internasional. Begitu juga berbagai produk keuangan Indonesia sulit untuk diperdagangkan di pasar uang atau pasar obligasi internasional.

Baru pada 13 Juli 2010 Japan Credit Rating Agency memberikan rating BBB-, layak investasi. Disusul Fitch Rating pada 15 Desember 2011 dengan rating BBB-, lalu Moody’s Investors Service pada 18 Januari 2012 dengan rating Baa3, dan Rating and Investment memberi rating BBB- pada 18 Oktober 2012. S&P? Tidak!

Baru pada tanggal 19 Mei 2017, atau lima tahun setelah lembaga pemeringkat lain memberi Indonesia predikat ‘layak investasi’, S&P menyematkan rating ‘investment grade’ dengan rating BBB- outlook stabil.

Seperti ditulis di atas, S&P adalah lembaga pemeringkat dengan standar paling tinggi. S&P baru memberikan status layak investasi, setelah Indonesia benar-benar menunjukkan komitmen dan melakukan pembenahan ekonomi.

Dalam tiga tahun terakhir, Pemerintah Indonesia dinilai konsisten dengan kebijakan restorasi ekonomi yang dilakukan Pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Karenanya, pada 31 Mei 2018 S&P mempertahankan predikat layak investasi bagi Indonesia dengan rating BBB-. Bahkan pada 31 Mei 2019 lalu, S&P menaikkan rating Indonesia menjadi BBB dengan outlook stabil. Selain itu, S&P juga menaikkan peringkat utang jangka pendek Indonesia, dari A-3 menjadi A-2.

Kenapa lembaga-lembaga pemeringkat investasi memberikan predikat ‘layak investasi’ kepada Indinesia? Kenapa para investor mau membeli surat utang yang diterbitkan oleh Pemerintah, BUMN, dan perusahaan swasta Indonesia? Karena mereka percaya Pemerintah Indonesia menjalankan kebijakan ekonomi yang konsisten dan pengaturan fiskal yang hati-hati, sehingga prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tetap tinggi di tahun-tahun mendatang. Mereka percaya, Pemerintah, BUMN, dan perusahaan swasta Indonesia mampu membayar cicilan dan bunga surat utang itu.

Jadi, sebelum berpendapat, apalagi menghujat pemerintah sekarang karena utang negara terus bertambah, sebaiknya pahami dulu persoalannya. Jangan karena kebencian dalam hati. Masak orang yang ibadahnya tak pernah lewat, memelihara kebencian?

***