Ekspor Tinggal Cerita, Apresiasi pada Edhy Prabowo

Kesiapan Edhy Prabowo sebagai representasi Kementerian Perikanan dan Kelautan bertarung wacana secara terbuka menunjukkan niat baik yang perlu diapresiasi.

Jumat, 27 Desember 2019 | 19:15 WIB
0
597
Ekspor Tinggal Cerita, Apresiasi pada Edhy Prabowo
Edhy Prabowo (Foto: indopolitika.com)

Edhy Prabowo akhirnya lempar handuk setelah sebelumnya ngotot dan merasa mendapat angin dari presiden untuk tetap meneruskan rencana pemerintah membuka kran ekspor benih lobster.

Demikian kira-kira kesan yang muncul di permukaan terkait pembatalan rencana ekspor benih lobster. Sejak melempar ide pencabutan larangan ekspor benih lobster, Edhy Prabowo menjadi tokoh sentral dalam gonjang-ganjing ini. Benarkah ide ini pure datang dari Edhy yang akhirnya dibatalkannya juga?

Saya tidak yakin, kebijakan strategis, apa lagi kontroversial lepas dari jangkauan presiden. Jokowi sebelumnya telah memberi isyarat yang disampaikan saat meresmikan Tol Balikpapan--Samarinda di Kalimantan Timur, Selasa 17 Desember 2019. "Keseimbangan itu paling penting, bukan hanya bilang jangan ekspor. Tetapi jangan juga semua diekspor, enggak benar".

Bagi Edhy dan publik pernyataan presiden ini lebih bermakna dukungan tinimbang larangan ekspor benih lobster.

Setelah kontroversi panjang, presiden akhirnya menegur Edhy agar jangan gegabah dalam mengambil kebijakan. Pesan itu disampaikan presiden 25 Desember 2019 saat Edhy Prabowo menghadiri open house Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan di Jakarta. Bagi Edhy, pesan itu clear. Segera keesokan harinya, 26 Desember 2019, Edhy Prabowo bertolak ke Lombok menemui nelayan dan pembudidaya lobster sekaligus mengumumkan pembatalan rencana ekspor benih lobster sambil dengan santai mengatakan, "ekspor tinggal cerita".

Lantas mengapa Jokowi berubah pikiran?

Gelombang protes Nitizen terhadap rencana kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan diekspresikan dengan berbagai cara di media sosial. Dari sebatas mendesak pembatalan kebijakan ekspor benih lobster hingga menuntut presiden mengembalikan Susi Pudjiastuti pada posisi semula sebagai Menteri Perikanan dan Kelautan melalui petisi.

Militansi pengagum Susi Pudjiastuti sangat luar biasa. Desakan nitizen terus menggelinding bak bola salju bahkan belakangan mulai mengarah pada Jokowi karena dianggap salah menempatkan menteri.

Di tengah kondisi sosial politik yang tidak stabil akibat berbagai skandal, Garuda, Jiwasraya serta desakan yang terus menuntut pemerintah merespon nasib Muslim Uighur membuat Presiden berpikir panjang jika harus berhadap-hadapan dengan nitizen soal benih lobster ini.

Terlepas benar tidaknya penyebab pembatalan rencana ekspor benih lobster karena pertimbangan politik, yang pasti perubahan kebijakan pemerintah diambil setelah melalui proses perdebatan secara terbuka di ruang publik. Pola komunikasi simetris yang terjadi memungkinkan setiap orang bisa saling berinteraksi secara terbuka dan setara tanpa mempertimbangkan latar belakang masing-masing.

Kesiapan Edhy Prabowo sebagai representasi Kementerian Perikanan dan Kelautan bertarung wacana secara terbuka menunjukkan niat baik yang perlu diapresiasi. Mekanisme penyerapan aspirasi seperti ini bisa memangkas cara-cara konvensional yang berbelit, mahal serta bersifat tegak lurus.

Pola partisipasi publik yang lebih akomodatif dalam proses pengambilan kebijakan merupakan hal yang lazim di era digital terutama di negara-negara maju. Amerika Serikat misalnya, memanfaatkan fasilitas internet dalam menjaring masukan publik yang dikenal dengan eRulemaking Programs. Program ini dikelola oleh lembaga yang diberi kewenangan negara dalam mempublikasikan berbagai peraturan yang akan dibuat maupun direview, termasuk menghimpun pendapat publik (public comments).

Namun derasnya informasi membuat wadah penampungan semacam eRulemaking tidak lagi memadai. Media sosial di era digital berhasil memosisikan individu menjadi kekuatan baru yang dapat mempengaruhi kebijakan publik melalui panetrasi yang sangat cepat dan setara.

Fenomena ini dengan tepat dijelaskan Thomas L. Friedman dalam The World Is Flat: A Brief History of the Twenty-First Century. Buku karya Friedman ini berisi analisis terhadap globalisasi abad-21 yang memandang dunia layaknya arena bermain yang setara dimana semua pesaing memiliki kesempatan yang sama.

Kesiapan serta keberanian Edhy Prabowo melayani debat serta komentar yang seringkali sengit dan membuat merah kuping bisa menjadi semacam role model bagi pejabat lain dalam merespon keberatan publik sebelum mengambil keputusan, terutama kebijakan yang bersifat strategis.

***