Kisruh Jiwasraya Dalam Bahasa Awam

Kini tugas Erick Thohir dan jajaran terkait untuk bisa bermanuver menyelamatkan Jiwasraya karena isunya sudah merembet ke luar.

Selasa, 31 Desember 2019 | 06:45 WIB
0
296
Kisruh Jiwasraya Dalam Bahasa Awam
Jiwasraya (Foto: jawapos.com)

Kasus ini memang rada "njelimet", tp beruntung akhirnya ketemu analisa yg oke dari seorang pelaku pasar modal. Saya coba ringkas dan tulis ulang ke dalam bahasa yg lebih sederhana ditambah keterangan dari media.

Jadi awal mula gagal bayar ini bermula di 2012 waktu Jiwasraya meluncurkan produk JS Saving Plan. Unit asuransi ini berani memberi keutungan tetap. Angkanya disebut sebesar 9-13% di periode 2013-2018.

Angka itu jika dibandingkan dengan investasi lain terbilang wow. Di periode yg sama, sebagai pembanding, suku bunga deposito bank ada di kisaran 4-7%. Bahkan sekelas surat utang pemerintah berjangka 10 tahun pun, rata-rata di kisaran 7-8%. Ini yg dijamin oleh negara.

Maka jangan heran jika pada akhirnya banyak yg tergiur dan ikut daftar. Dengan bermodal asuransi BUMN dan laporan keuangan yg kinclong sejak 2012-2016, tentu membuat banyak pihak percaya.

Namun apa yg tidak diketahui, ada dugaan pemolesan laporan keuangan dan aksi goreng saham. Sayangnya sangat sulit melihat detil saham apa saja yg dibeli oleh pihak Jiwasraya dalam mengelola dana nasabah ini.

Hanya saja, menurut data terakhir dari BEI, hingga saat ini Jiwasraya memegang kepemilikan cukup besar (lebih besar dr 5%) yaitu 9,19% di SMBR (PT. Semen Baturaja) dan 8,51% di saham PPRO (PT. PP Properti). Keduanya adalah BUMN.

Walaupun begitu, saham tersebut bukan kategori saham unggulan atau blue chip seperti saham BCA, BRI atau Unilever. Akibatnya, bukan hal mudah untuk dijual kembali (tidak likuid).

Ilustrasinya begini. Kita punya tanah, secara teori tiap tahun akan naik terus nilainya. Jadi di atas kertas, harta kita tiap tahun terus bertambah. Tapi waktu kita perlu uang tunai, apakah tanah itu bisa cepat dijual dengan harga yg kita inginkan? Belum tentu. Apalagi kalau letaknya kurang strategis. Bisa jd malah rugi.

Kondisinya kurleb begitu. Jiwasraya punya aset besar tapi sebagian tidak likuid, susah dijual/diuangkan kembali. Sehingga saat ini, ketika nilai aset berupa saham (yg dulu sempat diborong lalu nilainya melambung) tengah mengalami penurunan, maka menurun pula nilai harta Jiwasraya.

Diduga ada usaha untuk menggoreng saham melalui pembelian besar-besaran di 2016 dan 2017. Otomatis karena dianggap "laris", maka harga saham akan menjulang. Alhasil, cerita di laporan keuangan jd bisa kinclong. Ini loh saham yg dibeli kemarin, sekarang harganya naik tinggi.

Tapi usaha "menggoreng" seperti itu tentu tak bisa terus-menerus karena "modal" yg "dibakar" pasti terbatas. Sehingga ketika "bahan bakar" habis, maka otomatis harga akan terkoreksi menuju titik keseimbangan. Apalagi kalau kinerja perusahaan tersebut memang tidak kinclong. Pasti makin cepat jatuh lagi harga sahamnya.

Kini, terbukalah semua borok yg diduga disembunyikan. Dengan banyak berinvestasi di saham bukan unggulan, bahkan Kejaksaan Agung menyebut, 95 persen dana investasi Jiwasraya ditempatkan di saham 'sampah' dengan total mencapai Rp5,7 triliun, disertai beban klaim asuransi yg semakin meningkat mendekati jatuh tempo, bom waktunya meledak. Tidak mungkin bisa dicegah lagi.

Ada dugaan bahwa unit ini menjalankan skema ponzi. Singkatnya, mereka bayar klaim yang jatuh tempo menggunakan dana dari nasabah lainnya. Kalau banyak nasabah baru bergabung, tentu bisa jd dana talangan untuk menanggung polis yg sudah jatuh tempo dr nasabah lama. Karena keuntungan dari hasil investasi memang tidak sanggup untuk menutup beban yang dijanjikan. Akhirnya, gali lubang tutup lubang.

Setelah pergantian direksi tahun 2018 inilah mulai terendus bangkai yg coba ditutupi. Manajemen baru berani untuk menunda pembayaran polis kepada nasabahnya. Ini dilakukan untuk mencegah kerugian lebih besar di tahun-tahun mendatang. Tapi ini tentu mempengaruhi tingkat kepatuhan nasabah lama dalam membayar premi bulanan dan juga pertumbuhan nasabah baru.

Akibatnya Jiwasraya semakin mengalami kesulitan keuangan sementara bulan demi bulan berjalan, besarnya polis yg jatuh tempo makin membumbung. Tapi memang bukan pilihan mudah karena lingkaran setannya harus berani diputus lebih dulu.

Jadi persoalan ini tidak bisa sekedar dilihat di satu titik waktu tahun 2016-2017 saja dimana mulai terlihat keganjilan. Karena ujung pangkal masalahnya dimulai jauh di belakang, yaitu pada saat mereka meluncurkan produk ini di 2012 dengan menjanjikan keutungan tetap yg dijamin. Ini yg di kemudian hari terbukti menjadi bom waktu akibat kurang cermatnya manajemen dalam mengelola dana dan menghitung resiko.

Direksi dan Komisaris Jiwasraya periode 2012-2018 masih orang-orang yg sama. Sehingga pihak terkait tentunya bisa lebih mudah melakukan investigasi. Perlu juga diperiksa pihak auditor, BPK dan juga OJK periode tersebut. Karena masing-masing pihak punya peran masing-masing dalam pengawasan dan pencegahan.

Kini tugas Erick Thohir dan jajaran terkait untuk bisa bermanuver menyelamatkan Jiwasraya karena isunya sudah merembet ke luar. Pembentukan holding BUMN asuransi di 2020 tengah digodok untuk menyelamatkan Jiwasraya.

***