Erick Pangkas Faham Konsumerisme, Hedonismedan Feodalisme Garuda

Dari persepsi Intelijen, penulis menilai 'racun' mulai mengontaminasi masyarakat kelas menengah keatas, yang jumlahnya menjadi semakin banyak.

Kamis, 12 Desember 2019 | 08:43 WIB
0
373
Erick Pangkas Faham Konsumerisme, Hedonismedan Feodalisme Garuda
Erick Thohir (Foto: CNN Indonesia)

Kasus yang menyentuh Garuda, flag air carrier Indonesia terus bergulir, banyak kemudian aib-aib yang dibongkar, apakah sedemikian rusak kondisi di internal? Selain soal penyelundupan, manajemen yang kacau dan yang dikuasai sekelompok orang yang dikontrol sang Dirut Ari Askhara yang sudah dipecat.

Kini isu menyentuh ke soal gaya hidup, kenikmatan hidup serta gaya kepemimpinan feodalisme Dirut yang demikian berkuasa, bikin upacara bak presiden, belum lagi beredarnya isu-isu IG yang ditulis oleh akun digeeembok tentang pramugari yang dimanfaatkan direksi serta berita prostitusi, miris membacanya

Kalau boleh pesan ke Menteri BUMN, Erick Thohir, dan Menku Sri Mulyani, perlu segera diselesaikan kasus-kasus di Garuda, ambil langkah tegas dan sudah cukup tidak usah diumbar lagi ke media. Dibuat kompartmentasi untuk menyelamatkan flag carrier Indonesia yang mestinya kita banggakan dan jaga bersama.

Kalau tidak cepat, dan terus begin, citranya makin jatuh, kepercayaan konsumen akan terus menurun, terlihat prestasi di Sky Track bisa terus makin anjlog. Tahun-tahun kemarin saja rugi, tidak untung, bisa-bisa nanti menjadi buntung. Secara hukum betul kerugian negara sekian ratus juta, tetapi yang tak ternilai hancurnya nama Garuda nilainya bisa tak terkirakan.

Nah, saya kemarin diminta seorang teman DR Tito Sulistyo, mantan Dirut BEJ yang menulis buku dgn judul "Negara Hadir Membangun Tanpa Konsumerisme, Hedonisme dan Feodalisme". Tito minta saya menulis arti dan makna dari negara hadir.
Penulis kemarin menulis dari persepsi intelijen yang dimintanya.

Rasanya bagus dan pas Tito melihat faham atau ideologi Konsumerisme, Hedonisme dan Feodalisme sebagai racun pertumbuhan (ekonomi). Kini saha kalau dicermati, tergambar dari kasus di Garuda itu, kelakuan sang Dirut itu menyangkut ahlak pemegang amanah dan memengaruhi yang lain. Dia sejatinya penganut ideologi konsumerisme, insan yg Hedonis, dan gaya kepemimpinannya feodal.

Catatan saya tentang buku Tito, membahas racun yang mewabah kalangan menengah keatas. Semoga bermanfaat sebagai penambah wawasan, kalau bagi saya nulis bermanfaat agar otak terpelihara, terasah. Di usia senja 72 tahun plus, takut pikun atau lemot (lemah otak) kalau malas berfikir

Inilah catatan tersebut dengan judul "Pentingnya Kehadiran Negara Ditinjau dati Persepsi Intelijen".

Penulis diminta memberi pendapat buku dari teman baik, DR Tito Sulistio tentang arti dan makna "Negara Hadir". Buku ini menarik karena Tito dalam beberapa tahun menjabat sebagai Dirut BEJ, menulis dan memberikan pandangan alternatif arah pembangunan ekonomi. Dari persepsi dan terminologi intelijen tentang ATHG, menurutnya, 'racun' pertumbuhan adalah Konsumerisme, Hedonisme dan Feodalisme.

Berbicara negara Indonesia yg berdasarkan Pancasila, dari tinjauan komponen ekonomi sebagai satu diantara sembilan komponen intelstrat, negara harus hadir untuk mengatur aktivitas yg ada, membentuk aturan sesuai dengan konsensus bersama untuk mencapai ketertiban.

Sejak meluasnya era globalisasi, sistem ekonomi Pancasila harus berhadapan dengan ekonomi liberal yang sifatnya lebih individual. Kesejahteraan manusia bisa dicapai dengan kebebasan individu dalam berusaha melalui pasar bebas, perdagangan bebas dan hak kepemilikan pribadi yang kuat.

Dari persepsi Intelijen, penulis menilai 'racun' mulai mengontaminasi masyarakat kelas menengah keatas, yang jumlahnya menjadi semakin banyak. Faham konsumerisme dianut sebagai ideologi seseorang atau kelompok yang menjalankan proses konsumsi atau pemakaian barang-barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan.

Pandangan atau ajaran hedonisme di era kebebasan masa kini juga merupakan bahaya dimana kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia. Sekat antara halal dan haram menjadi tipis dan akan terabaikan.

Sementara itu pemikiran feodalisme masih disukai oleh kelompok tertentu, hal ini akan mengabaikan tata kelola negara dimana
struktur pendelegasian kekuasaan sosiopolitik dimanfaatkan untuk mengendalikan berbagai wilayah yang dibangun melalui kerja sama dengan pemimpin-pemimpin lokal sebagai mitra.

Dari tiga racun tadi, penulis menilai tidak ada jalan lain, dimana negara dalam bentuk kebijakan tertinggi, sebagai wakil kepentingan umum harus hadir serta mengatur masyarakat yang mewakili kepentingan perorangan atau kelompok.

Selain komponen ekonomi, demikian juga negara harus hadir pada komponen intelstrat lainnya, yaitu ideologi, politik, budaya, milkam, biografi, demokrasi dan sejarah. Dari beberapa fakta kasus yang tejadi, maka dampak dari racun diatas adalah tindak korupsi, bisa terjadi baik di hulu hingga di hilir. Istilah korupsi berjamaah akan semakin kental terjadi bila negara tidak hadir dan mengabaikan

Para kelompok kepentingan (politisi) serta pelaku ekonomi (hegemoni elit) akan terus berkolaborasi dalam korupsi. Nah, disinilah intelijen melihat kebutuhan negara harus hadir, disamping memperbaiki ahlak penyelenggara negara dan politisi, juga ahlak masyarakat.

Tanpa itu maka korupsi akan semakin menggurita, karena sudah bukan budaya lagi tetapi menjadi komoditas. Tanpa kehadiran negara, maka sulit diharapkan akan terciptanya stabilitas politik, ekonomi dan keamanan.

Sebagai penutup, dalam menghadapi perkembangan geopolitik, geostrategi dan geoekonomi dunia, khususnya kawasan di sekitar Indonesia, pemerintah dibawah kepemimpinan Presiden Jokowi sebagai penyelenggara negara harus bekerja ekstra keras mengingat mulai bergulirnya ancaman resesi berupa perlambatan ekonomi dunia. Oleh karena negara harus hadir sebelum segala sesuatunya terlambat. Kita percaya presiden sudah mempunyai resep tersendiri di periode kedua kepemimpinanya.

Selamat dsn sukseskepada temanku Tito dengan terbitnya buku ini, semoga dapat menjadi salah satu sumbang saran atau alternatif solusi bagi perekonomian Indonesia pada era kepemimpinan Presiden Jokowi periode 2019-2024. 

Marsda Pur Prayitno Wongsodidjojo Ramelan, Pengamat Intelijen.

***