Dulu Obor Rakyat Sekarang Buku, Tudingan PKI Tertuju pada Jokowi

Selasa, 2 Oktober 2018 | 04:30 WIB
0
676
Dulu Obor Rakyat Sekarang Buku, Tudingan PKI Tertuju pada Jokowi

Semakin jelas terkuak Capres Joko Widodo pada Pilpres 2019 kali ini kembali diserang soal isyu PKI seperti Pilpres 2014. Kalau lima tahun silam Jokowi diserang melalui tabloid “Obor Rakyat” yang disebar di pesantren-pesantren, maka kini Jokowi harus menghadapi tudingan PKI yang di antaranya disebar melalui buku “PKI Apa dan Bagaimana” yang dibagikan di acara doa bersama untuk Habib Rizieq di Monumen Nasional, Sabtu (29/9/2018).

Buku yang menurut sampulnya ditulis oleh Habib Rizieq Shihab dan diterbitkan oleh Bidang Bela Negara dan Jihad DPP FPI ini, di antaranya memuat foto Jokowi dan lambang Palu Arit di bawah judul “Jokowi dan PKI”. (Detik.com Minggu 30/9/2018).

Dikumandangkan juga bahwa fitnah yang menimpa Imam besar Front Pembela Islam – yang kini terjerat izin tinggal yang kedaluarsa di Arab Saudi – adalah fitnah dari PKI. Habib Rizieq juga diberitakan menyerukan dari Saudi bahwa umat Islam untuk memutar film G30S PKI, agar peristiwa 30 September 1965 harus diketahui generasi muda lewat film.

“Jangan lupa kita di ujung bulan September di tahun 1965 telah terjadi pengkhianatan PKI. Mereka bukan hanya membunuh jendral, tapi juga bunuh ulama, santri, bakar pondok pesantren. Dan hati-hati jangan berikan kesempatan pada mereka untuk bangkit kembali,” kata Rizieq, seperti dikutip DetikCom, Sabtu (29/9/2018).

Sepekan sebelumnya, dalam sebuah acara Talk Show Rosi di Kompas TV mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo juga mengungkapkan kekawatirannya akan kebangkitan kekuatan PKI yang ia rasakan mulai nampak di sistem pemerintahan kita.

“Bahwa peristiwa G30 S PKI itu rangkaiannya bukan hanya TNI saja, akan tetapi umat Islam, tokoh-tokoh agama seperti NU (Nahdlatul Ulama), kiai yang jadi korban cukup banyak di berbagai daerah,” ungkap Jendral Gatot Nurmantyo.

“Suatu kekuatan luar biasa setelah era reformasi, bahwa akar budaya nasionalisme mulai dihilangkan dulu. Itu sistem. Seperti pendidikan bahasa Indonesia, agama, civic (pelajaran tentang kewarga-negaraan) dan budi pekerti yang tadinya menjadi pelajaran pokok yang jika nilainya merah, tidak akan naik kelas.... itu dihilangkan,” katanya dalam wawancara di Kompas TV.

“Yang kedua, tuntutan untuk pencabutan Tap MPRS no 25 tahun 1966, siapa lagi kalau bukan PKI itu? Kemudian, penghapusan pelajaran Sejarah tentang Pemberontakan G30S PKI, kemudian pemberhentian pemutaran filem G30S yang selama ini diputar. Siapa lagi kalau bukan PKI?” ungkap mantan Panglima TNI ini pula.

Tentang pernyataan mantan Panglima TNI atas pertanyaan Rosiana Silalahi presenter Kompas TV ini, Ketua Amnesty International Usman Hamid yang juga jadi narsum pada acara tersebut menyanggah, logika Gatot Nurmantyo terlalu lompat-lompat.

“Saya kira logika (Jendral Gatot Nurmantyo) itu terlalu lompat-lompat dan menyederhanakan masalah. Sebenarnya ada dua hal. Yang pertama tentang film G30S PKI yang disebut sebagai pengkhianatan. Yang kedua tentang paham dari Komunisme atau paham Marxisme itu sendiri,” ungkap Usman Hamid.

“Untuk yang pertama, tidak benar kalau kalau film ini diputar selama Orde Baru. Itu baru diproduksi 1981 sampai 1998. Di Era 1998-1999 era pemerintahan Habibie, seniornya pak Gatot pak Yunus Yosfiah ketika itu adalah Menpen, Letjen Yosfiah, dia yang mengumumkan bahwa film (G30S) itu dihapuskan dari kewajiban diputar setiap tahun. Jadi kalau dikatakan yang meminta penghentian pemutaran film itu adalah PKI, itu keliru,” kata Usman Hamid.

Justru menurut Usman Hamid, dari dalam tubuh pemerintahan Habibie ketika itu memang ada keinginan untuk meninjau ulang mengenai penghentian pemutaran film garapan Arifin C Noer tersebut.

Yang kedua, kata Usman Hamid, adalah Menteri Pendidikan pada era Habibie, Juwono Sudarsono yang melakukan peninjauan ulang melalui satu tim khusus untuk memeriksa seluruh buku (pelajaran) sekolah yang dianggap mengandung muatan sejarah yang tidak benar.

“Apakah pak Juwono adalah PKI? Bukan. Beliau adalah orang terdidik, profesor. Pak Yunus Yosfiah PKI? Bukan, dia Jendral Angkatan Darat.

Jadi, logika semacam itu menurut saya membangun satu insinuasi yang negatif tanpa ada dasar fakta yang jelas. Itu satu, “ katanya.

“Yang kedua, di era pemerintahan Gus Dur, usaha untuk mencabut Tap MPRS No 25 yang melarang Marxisme-Leninisme, itu datang dari seorang presiden Abdurrahman Wahid, mantan ketua PBNU yang bertahun-tahun memimpin organisasi terbesar di Islam. Saya juga orang NU walau saya orang kampung, tetapi ayah saya seorang kiai,” kata Usman Hamid.

Gus Dur – menurut Usman Hamid -- mengajukan penghapusan Ketetapan MPR tersebut “Karena Tap tersebut dianggap menjadi dasar bagi diskriminasi terhadap begitu banyak orang yang tidak salah tetapi dianggap salah. Gus Dur bukan PKI. Dia anak kiai, bahkan dia sendiri kiai,” kata Usman Hamid.

“Jadi keliru kalau kemudian membangun logika lompat-lompat, seolah-olah yang meminta penghapusan TAP MPR itu pasti PKI. Itu keliru fatal. Itu membodohi masyarakat kita...,” kata Ketua Amnesty International tersebut.

Di masa pemerintahan Megawati, kata Usman Hamid, memang ada usaha untuk melarang kembali orang yang pernah direhabilitasi untuk bisa ikut Pemilu. UU ketika itu menetapkan demikian. “Tetapi oleh Mahkamah Konstitusi dianggap pelanggaran terhadap konstitusi, itu dianggap penyimpangan dari UUD 45. Akibatnya, pasal yang melarang orang-orang bekas PKI itu dihapuskan,” katanya.

Lalu apa komentar Ketua Amnesty International ini tentang kecemasan Jendral Gatot Nurmantyo akan kebangkitan PKI di era pemerintahan Joko Widodo saat ini?

“Tidak ada kecemasan. PKI sudah dibubarkan bulan Maret 1966. Sebelumnya sekitar 500ribu orang (PKI) terbunuh sesudah Oktober 1965. Sebagian dari mereka itu beragama Islam...,” ungkap Asvi Warman Adam, yang juga jadi narsum pada acara Talkshow televisi tersebut. Semestinya, kata sejarawan ini, peringatan 1 Oktober jangan hanya memperingati sekian jendral yang jadi korban, akan tetapi ribuan orang yang jadi korban karena peristiwa G30S tersebut.

“Kecemasan itu sudah kedaluarsa,” komentar Ketua Amnesty International Usman Hamid. Kecemasan akan kebangkitan kembali komunis seperti itu, kata Usman Hamid, datang dari satu paradigma keamanan nasional era militer tahun 60-an, era perang dingin.

“Ini doktrin keamanan nasional Amerika di perbagai negara yang memang membrangus peluang-peluang kepemimpinan yang kiri, yang komunis ketika itu. Di Indonesia Soekarno dikudeta dengan itu. Salah satu versi penjelasan peristwia G30S adalah kudeta terhadap Soekarno. Ada banyak versi lain tentang ini. Di Chile juga begitu...,” kata Usman Hamid.

Jadi kata Usman Hamid, harusnya tentara kita sudah mulai membangun pemahaman yang lebih strategis tentang geopolitik -- tentang pertahanan global, regional, tentang ancaman-ancaman perbatasan negara, kedaulatan negara, pembangunan profesionalitas, pembangunan alusista. Itu yang harusnya dikembangkan militer kita.

***