Batik Jetis Sidoarjo Warisan Raja Kediri

Selasa, 2 Oktober 2018 | 17:01 WIB
0
1393
Batik Jetis Sidoarjo Warisan Raja Kediri

Sejak 29 Mei 2006, semburan Lumpur Porong membuat nama Kabupaten Sidoarjo menjadi mendunia. Betapa tidak. Puluhan pakar geologi dan vulkanologi datang ke Sidoarjo hanya untuk mengobservasi fenomena semburan lumpur yang meluluh-lantakkan sebagian besar kehidupan dan ekonomi warga yang tinggal di wilayah Sidoarjo itu.

Sampai-sampai, tanggul setinggi sekitar 17 m yang menampung lumpur tersebut belakangan ini juga menjadi daya tarik wisatawan domestik. Banyak kendaraan umum seperti bus pariwisata yang menghentikan kendaraannya untuk memberi kesempatan kepada penumpangnya melihat dari dekat bagaimana semburan lumpur itu bisa terjadi.

Tidak hanya itu. Mursidi, STeks, seorang pengrajin Batik Sidoarjo, dengan cerdasnya melihat peluang pasar dengan memproduksi “batik lumpur”. “Saya sengaja membuat batik yang bercorak lumpur yang mengalir,” kata Mursidi, suatu saat. Nah, ketika batiknya mulai dipasarkan di sekitar tanggul lumpur, “Ada yang protes.”

Alasan si pemrotes, corak batik lumpur yang tergambar di dalam batik tersebut bisa kembali mengingatkan akan penderitaan korban semburan lumpur. Mursidi hanya menjawab, karya seni batik lumpur tersebut tidak ada maksud politis di baliknya. “Saya ini hanya seniman yang tentu saja harus bisa memanfaatkan moment seperti itu,” ujarnya.

Dan, “Alhamdulillah, banyak yang suka dengan batik lumpur,” lanjut Mursidi, pembatik asli “Kampoeng Batik Jetis”, Sidoarjo. Ayah 3 putra ini adalah generasi keempat pewaris Batik Jetis yang terbilang kreatif dalam mengembangkan usaha batik khas Sidoarjo, sampai harus diprotes oleh pihak yang tidak berkenan dengan “batik lumpur”.

“Saya ini mulai dari buyut (H. Abdul Kohar) memang pengrajin batik asli Jetis,” ungkapnya. Usaha batiknya kemudian secara turun-temurun dilanjutkan oleh kakeknya, H. Abdul Somad, dan ayahnya, H. Sholeh Chozin, yang kemudian diteruskan kepada Mursidi. Usaha batik tulis bermerk “Murni dan Artis” ini berkembang cukup pesat.

Dengan 75 pembatik di bawah asuhannya, Sarjana Tekstil lulusan Bandung ini setiap bulan bisa memproduksi sekitar 3.000 lembar batik tulis berbagai corak dan jenis. Pangsa pasar yang dibidik bukan hanya wilayah Jawa Timur, melainkan juga Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jabodetabek, Timor Leste, Malaysia, dan Singapore.

Harga mulai dari Rp 150 ribu hingga Rp 25 juta. “Batik mahal ini diliat dari tingkat kesulitan dan bahannya (katoon primisima). Itu versi batik kuno yang garapnya bisa sampai 4 bulan,” ujar Mursidi. Menurutnya, batiknya ini halus dan proses dari awal kethel, lalu didesain, baru digarap dengan ketekunan dan ketelitian serta kesabaran.

“Karena batiknya halus dan kecil-kecil. Zat warna yang dipakai itu dari alam (daun-daunan, kulit-kulitan, tumbuh-tumbuhan lainnya yang mengandung zat warna),” ungkap Mursidi. Warna dari alam itu pekatnya bukan main. “Nenek buyut kita dulu memakai pewarna dari alam, seperti sabut kelapa dan sebagainya,” tambah Mursidi.

Kampoeng Batik Jetis

Menurut Mursidi, Batik Kenongo dari Tanggulangin dan Tenggulungan yang pernah terkenal itu sebenarnya berasal dari Jetis, Kelurahan Lemahputro, Sidoarjo. Pembatik di Jetis ini dulunya dari Tulangan dan Tenggulungan. Pengusahanya dari Jetis semua. Sebelumnya, selain Jetis, ada juga pengusaha batik Sekardangan dan Kedungcangkring.

“Tapi, yang masih bertahan hanya di Jetis,” kata Mursidi. Memang batik Jetis telah ada sejak 1675. Batik tersebut dibawa oleh Mbah Mulyadi, keturunan Raja Kediri. Namun, perkembangan usaha batik tulis Jetis baru tampak pada 1950-an. Seperti halnya batik tulis “Murni dan Artis”, di Jetis sejak 1956 perusahaan batik “Ny. Wida” resmi berdiri.

Menurut Dwitjahjo, generasi ketiga penerus usaha batik tulis Ny. Widiarsih atau yang akrab dipanggil Ny. Wida, cukup terkenal di kalangan masyarakat Jetis kala itu. “Banyak orang Jetis masih ngikut kerja di tempat kami,” tutur Dwitjahjo. Wanita tersebut pemilik perusahaan batik tulis terbesar. Banyak pedagang dari Madura kulakan di Jetis.

Pedagang batik dari Madura itu senang dengan corak warna batik yang mencolok seperti merah, pokoknya yang ngejreng,” tutur Mursidi. Namun, dalam perkembangannya, orang-orang Madura berhasil membuat batik sendiri, yang kemudian dikenal dengan Batik Madura. “Mereka ini banyak belajar dari Batik Jetis sini,” lanjutnya.

Dalam catatan Mursisi, hingga kini masih ada sekitar 15 pengrajin dan pengusaha batik tulis Jetis yang tetap bertahan. Untuk lebih mengenalkan Batik Jetis, Bupati Sidoarjo H. Saiful Illa telah membuat sebuah monument “Pusat Batik Sidoarjo” sebagai pintu masuk ke Kampoeng Batik Jetis dari sisi Jalan Gajahmada, Sidoarjo.

Sedangkan bila mau masuk dari sisi Jalan Diponegoro, mencapai Kampoeng Batik Jetis juga tidak sulit. Di mulut gang Jetis ada gapura bertuliskan: “Kampoeng Batik Jetis”. Bupati Sidoarjo ketika masih dijabat Win Hendraso meresmikan gapura itu pada 3 Mei 2008. Gapura ini terlihat jelas di jalan masuk Jetis dari arah Jalan Diponegoro.

Selama ini orang mengenal batik berasal dari Pekalongan, Jogjakarta, Solo, Cirebon, Lasem, atau Madura, tentunya dengan corak yang itu-itu saja dan sudah sering kita lihat. Ada perbedaan yang sangat mencolok antara batik dari daerah pesisir dengan daerah pedalaman, seperti Solo atau Jogja. Batik Jetis termasuk dalam jenis batik pesisir.

Karena memang secara geografis, Sidoarjo terletak di tepi selat Madura. Batik pesisir banyak menggunakan kombinasi warna cerah dan gradasi warna yang cukup ngejreng dibanding dengan batik pedalaman yang warnanya coklat, hijau, krem, coklat muda, atau coklat tua. Corak batik Jetis memiliki mirip dengan batik Madura dan Tuban.

Satu hal yang pasti dari batik Jetis ini adalah semua batik dijamin batik tulis tangan. Di sini semua pengrajin tidak ada yang membuat batik cetak atau menggunakan mesin lainnya. Hal ini dilakukan, selain untuk menjaga keaslian batik dan nilai-nilai seni-budaya batik itu sendiri, juga untuk saling melindungi para pengrajin batik tulis.

Menurut Zainal Afandi, sekretaris Koperasi Batik Tulis Sidoarjo, kehadiran batik cetak/print atau sablon memang sempat membuat permintaan batik tulis sedikit berkurang. Meski demikian, Kampoeng Batik Jetis masih terus bertahan dengan segala daya dan upayanya sebagai kawasan penghasil batik kebanggan masyarakat Sidoarjo.

Pada era 1970-an sampai 1980-an permintaan batik tulis Jetis sangat tinggi, pengerajin dan usaha batik untung banyak. Namun, sekitar 1990-an mulai muncul batik sablon bermotif batik. Kehadiran batik ini membuat permintaan dan produksi batik Jetis turun drastis, sehingga mulai banyak pengrajin yang gulung tikar.

Seiring berkembangnya teknologi sekarang, muncul batik cetak/print sebagai pesaing batik tulis Jetis. “Motifnya bagus, corak warnanya bagus, tapi sekali cuci langsung luntur,” ujar Zainal. Itulah perbedaan yang membuat batik tulis masih bisa bertahan karena lebih awet dari pada batik jenis lainnya.

Beruntung mereka yang masih bisa bertahan mulai menyesuaikan diri dengan selera pasar. “Munculnya kreasi motif dan warna batik Jetis supaya bisa bersaing dengan batik-batik lainnya,” tegas Zainal. Menurut Mursidi, sebagai pengrajin, pihaknya memang harus mengikuti selesa dari konsumen yang berasal dari berbagai daerah ini.

“Untuk luar daerah komposisi warna kita ubah, sesuai daerahnya. Tapi corak tetap sama,” ujar Mursidi. Motif awal batik Jetis dengan warna khas yang mencolok seperti kembang pring, sekar jagat, manuk cipret, dan masih banyak lagi. Motif batik Jetis kini ada kembang bayem, pecah kopi, beras wutah, kembang tebu.

Menurut Zaenal, semua motif itu memiliki filosofi yang erat kaitannya dengan kabupaten Sidoarjo. Motif kembang tebu muncul karena Sidoarjo memiliki lima pabrik gula. Motif beras wutah dilatarbelakangi adanya dua penggilingan padi di Sidoarjo di masa lalu namun tetap saja kurang dibandingkan kebutuhan masyarakat akan beras.

Dulu orang-orang di pedalaman Sidoarjo bercocok tanam kopi, ini filosofi di balik motif pecah kopi. Sedangkan motif kembang bayem muncul karena dulu Sidoarjo adalah pemasok sayur-sayuran terutama bagi masyarakat Surabaya.

Yang membedakan batik Sidoarjo dengan dari luar, “Batik Sidoarjo itu motifnya selalu besar berbentuk daun, bunga, burung, kupu-kupu, dan komposisi warnanya yang ngejreng. Di luar Sidoarjo itu kebanyakan nge-soft. Sidoarjo itu seperti Madura, daerah pesisir,” ujar Mursidi.

***