Pengangkatan Sekdaprov Jatim Heru Tjahjono Terindikasi Mal-Administrasi

Kamis, 27 September 2018 | 11:05 WIB
0
1170
Pengangkatan Sekdaprov Jatim Heru Tjahjono Terindikasi Mal-Administrasi

Khofifah Indar Parawansa sebagai Gubernur Jatim pengganti Soekarwo harus mengevaluasi dan mengoreksi pengangkatan Heru. “Karena, sebelumnya dia pernah menjabat Bupati Tulungagung dua periode,” ungkap politisi Partai Golkar Harun Al Rasyid.

Sehingga, otomatis sebenarnya Heru sudah bukan lagi sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bisa kembali menjadi ASN. Sebagai mantan bupati 2 periode, “Tentu sudah tidak ada hak untuk kembali menjadi ASN, apalagi Sekdaprov.”

“Sebab, saat mencalonkan bupati dua kali dia melalui jalur parpol, bukan jalur perorangan,” ujar mantan dosen Administrasi Negara Universitas Jember (UNEJ) itu kepada Pepnews.com. “Di UU ASN, itu otomatis berhenti tidak dengan hormat,” lanjutnya.

Harun Al Rasyid yang kini menjabat Wakil Ketua DPD Partai Golkar Jatim itu memintanya untuk membaca Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) pasal 87 ayat (4) huruf c yang berbunyi:

PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik”. Menurut Harun Al Rasyid, “Setahu saya, ASN yang ikut kontestasi dalam Pilkada atau Pileg harus mundur dari PNS,” katanya.

Apalagi, Heru Tjahjono yang sudah dua kali menjabat Bupati Tulungagung, berarti dia sudah mundur dari PNS dan UU ASN berlaku surut. “Tapi, mengapa Heru masih bisa masuk lagi sebagai ASN, apalagi menjabat Sekdaprov,” lanjutnya.

Heru Tjahjono dilantik sebagai Sekdaprov Jatim menggantikan Pj. Sekdaprov Jatim Jumadi yang telah “menyelesaikan” tugas yang diberikan Gubernur Soekarwo, Selasa (25/9/2018). Sebelumnya, ia menjabat Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan.

Pelantikan Heru Tjahjono sebagai Sekdaprov Jatim dihadiri oleh perwakilan pejabat Kemen PAN-RB, Badan Kepegawaian Nasional, pejabat Forkompimda Jatim, dan para pejabat di lingkungan Pemprov Jatim.

Soekarwo mengatakan, untuk mengisi jabatan Sekdaprov, Pemprov Jatim telah melakukan seleksi pengisian jabatan pimpinan tinggi madya mulai 1 Juli 2018. “Dari seleksi tersebut diperoleh satu keputusan, yaitu Heru Tjahjono,” katanya.

Selepas menjabat Bupati Tulungagung (2013), Heru diangkat sebagai Staf Ahli Gubernur. Pengangkatan Heru dengan mempertimbangkan dua hal, yaitu hasil seleksi dan rekam jejak jabatan dari Tim Penilai Akhir (TPA) Pusat, Kemendagri, dan Sekretaris Kabinet.

Rekam jejak seorang pejabat merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mengukur integritas seseorang. Jadi, “Untuk menanggulangi kasus seperti di DPRD Kota Malang yang dari 45 anggota Dewan, 41 orang ditangkap, maka rekam jejak itu menjadi penilaian.”

Integritas tidak bisa dikontrol dengan sistem pelayanan publik atau diukur dengan laporan Standar Pelayanan minimal (SPM). “Makanya harus rekam jejak, saya rasa ini juga dilakukan di Uni Eropa untuk kelompok jabatan. Bobot bibit bebetnya di cek dulu,” tegasnya.

Namun, ternyata “rekam jejak” digital Heru tidak seperti yang dinyatakan Soekarwo. Heru juga pernah diperiksa oleh KPK terkait suap ke DPRD Jatim. Ia diperiksa oleh KPK terkait kasus korupsi Ketua Komisi B DPRD Jatim Mochamad Basuki, tersangka KPK.

Berdasarkan SPDP bernomor B/121/VII/2017/Satreskrim Polres Tanjung Perak, Surabaya, ia sempat ditetapkan sebagai tersangka, karena diduga menyewakan lahan milik orang lain ke puluhan warga di kawasan Jalan Tambak Asri senilai Rp 6 juta/bulan.

“SPDP atas nama Heru Tjahjono kami terima Kamis, 20 Juli 2017 lalu,” tutur Kepala Seksi Intelijen (Kasi Intel) Kejari Tanjung Perak Lingga Nuarie SH, seperti dilansir media online. Ini merupakan pengembangan dari hasil penyidikan tersangka lain.

Yakni, tersangka Suharto alias Pak Dos, Jaminudin Faqih dkk yang saat ini perkaranya sudah di P21 oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Tanjung Perak. Saat masih menjabat sebagai Bupati Tulungagung selama 2 periode (2003- 2013) juga terjerat hukum.

Ketika periode kedua menjabat, Tulungagung mendapat kucuran dana stimulus infrastruktur daerah dari Pemerintah Pusat untuk Tahun Anggaran 2009 sebesar Rp 20,4 miliar, TA 2010 Rp 20,8 miliar, jadi total dalam dua TA mencapai Rp 41,2 miliar.

Seharusnya Heru Tjahjono bertanggung jawab atas penggunaan Dana Stimulus Infrastruktur Daerah, karena pada saat itu dia menjabat Bupati Tulungagung. Akibat korupsi dana stimulus infrastruktut daerah ini sudah ada 13 orang yang masuk penjara.

Yaitu Ir. Agus Wahyudi yang saat itu menjabat Kepala Dinas PU Binamarga dan Cipta Karya Kabupaten Tulungagung beserta 4 orang pejabat di bawahnya saat ini juga sudah mendekam di penjara. Tapi, Heru Tjahjono ketika itu tak tersentuh hukum.

Modus yang dilakukan adalah mereka hanya melelang 30% dari keseluruhan dana stimulus infrastruktur daerah yang diterima Kabupaten Tulungagung, sedangkan 70% dana itu sama sekali tak digunakan dan masuk ke rekening beberapa terpidana.

Dari rekening terpidana itu, disinyalir juga masuk ke kantong pribadi Heru Tjahjono beserta kroninya. Terkait laporan pertanggungjawaban dalam keuangan direkayasa sedemikian rupa dengan melaporkan banyak paket pekerjaan yang telah dikerjakan pada TA 2007 dan 2008.

Nilai kerugian negara atas korupsi ini sekitar Rp 28,84 miliar. Namun, Polda Jatim sepertinya “tidak mampu” menjerat Heru Tjahjono sebelum menjabat Kadis Perikanan dan Kelautan Provinsi Jatim ini menjadi Staf Ahli Gubernur Soekarwo.

Dan kini, selain menjadi Sekdaprov Jatim, Heru akan merangkap jabatan sebagai Sekretaris Gubernur Jatim. “Sekretaris Daerah merangkap sebagai Sekretaris Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat,” tegas Soekarwo, seperti dilansir TribunJatim.com.

Pengangkatan Heru Tjahjono sebagai Sekdaprov Jatim tersebut, menurut Harun Al Rasyid, jelas melanggar UU ASN. “Gubernur Soekarwo kurang hati-hati dan teliti, pengangkatan ini terindikasi mal-administrasi,” ungkap Harun Al Rasyid.

Jika melihat rekam jejaknya, Heru sudah tidak bisa menduduki jabatan sebagai ASN karena sudah bukan PNS. Jadi, “Kalau dia setelah menjadi bupati masuk kembali dalam jabatan di Pemprov, dia harus kembalikan gaji dari negara karena tidak ada dasar hukumnya.”

Harun Al Rasyid kemudian mencontohkan mundurnya Tri Rismaharini saat mencalonkan diri pada Pilkada Kota Surabaya 2015. Ketika itu, Risma mundur dari jabatannya sebagai Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya.

Contoh nyata lainnya adalah Mayor (Purn) TNI Agus Harimurti Yudhoyono. Saat maju pada Pilkada DKI Jakarta 2017, ia harus mengundurkan diri dari keanggotaan TNI. “AHY hingga kini tidak mungkin bisa kembali sebagai anggota TNI,” lanjutnya.

Nah, seharusnya, Heru Tjahjono juga tidak bisa kembali lagi sebagai ASN. Apalagi, menjabat jabatan PNS tertinggi sebagai Sekdaprov Jatim. “Karena dia sudah bukan PNS lagi,” tegas Harun Al Rasyid yang semula enggan memberikan komentar perihal pengangkatan Heru Tjahjono ini.

Untuk itulah, nantinya Khofifah sebagai Gubernur Jatim pengganti Soekarwo, harus mengevaluasi pengangkatan Heru Tjahjono sebagai Sekdaprov Jatim demi tertib administrasi pemerintahan. “Ini karena jelas-jelas melanggar UU ASN,” tegas Senopati Relawan Khofifah yang bermarkas di Progo.

Indikasi mal-administrasi juga terjadi saat Soekarwo mengangkat mantan Bupati Ngawi dua periode, Harsono, sebagai Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jatim. Dan, selepas menjabat Kadis Kesehatan, sekarang menjadi Kepala Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) RSUD dr. Soetomo Surabaya.

***