Upaya Dua Profesor UIN yang Ingin Selamatkan Kiai Ma’ruf Amin

Selasa, 25 September 2018 | 12:01 WIB
0
1316
Upaya Dua Profesor UIN yang Ingin Selamatkan Kiai Ma’ruf Amin

Prof. DR. H. Ahmad Zahro, MA, Guru Besar Bidang Ilmu Fiqih Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, dan Prof. DR. Moeflich Hasbullah Hart, Guru Besar Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung, ingin menyelamatkan KH Ma’ruf Amin.

Dalam Video “Main Cantik” Pilpres 2019 yang beredar itu ada pernyataan Prof. Zahro dalam sebuah pertemuan para ulama-kiai, Selasa (18/9/2018). Paparan Rektor Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum (Unipdu) Jombang itu juga beredar di sejumlah WA Group.

Ketua IPIM (Ikatan Persaudaraan Imam Masjid Seluruh Indonesia) itu menegaskan, dirinya akan bermain cantik dalam Pilpres 2019. “Saya mohon maaf, sekali lagi mohon maaf, saya merasa dikhianati oleh struktural (NU),” katanya.

“Mohon maaf, NU itu sejak 1984 sudah kembali ke khitthah 26. Lalu mengapa sampai seperti itu (ikut berebut Cawapres),” katanya disambut tepuk tangan hadirin. Sebagai Ketua Umum IPIM, Zahro menegaskan, ingin main cantik, tidak melukai siapa pun.

Hal itu dilakukan justru karena ingin menghormati kiai kita. “Jangan sampai kiai kita yang kita hormati, menjadi anak buahnya orang apa…,” jelasnya langsung disambut takbir Allahu Akbar, seperti dilansir Eramuslim.com, Senin (24/9/2018).

“Saya harus bijak, IPIM bebas memilih, asal jangan golput. Kalau bisa sama dengan pilihan saya. Dan, kemarin 100 persen bersama saya. Saya sedang keliling Indonesia. Yang jelas, saya tidak memilih kiai untuk jabatan yang duniawi seperti itu,” katanya disambut takbir.

Menurutnya, ia tidak akan membiarkan umat Islam keliru, salah dalam memilih pemimpin. “Organisasi kami (NU) dimakan Parpol, kemudian diarahkan ke tempat sampah. Di sana menurut saya ada tempat sampah, ada yang bangga menjadi anak ..., masa’ bukan sampah?”

Prof. Moeflich Hasbullah Hart, Guru Besar Sejarah Peradaban Islam, UIN Sunan Gunung Djati Bandung menilai, Ma'ruf Amin sejak nyawapres sudah mulai luntur ciri-ciri keulamaannya. “Sejak jadi cawapres, beliau menurunkan marwah keulamaannya,” ujarnya.

Menurutnya, dengan menjadi wakil dari seorang yang dari usia, pengalaman, wibawa, ilmu agama, kapasitas, dan lain-lain jauh di bawah Ma’ruf sendiri sebagai ulama sepuh, dihormati, berwibawa yang Ketua Ulama Indonesia (MUI) dan lain-lain.

“Bayangkan ketua para ulama berbagai ormas! Yang mengkoordinir dan mengomando para ulama se-Indonesia untuk membimbing pemerintah dan umat dan memberikan tuntunan dan pegangan kepada umat sebagaimana sebelumnya saat beliau masih Ketua MUI,” lanjutnya.

“Ini posisinya terbalik, harusnya Ma'ruf capres, Jokowi cawapres. Itu baru bermartabat,” ujar Prof Moeflih. Jadi politisi tentu saja derajat dan wibawanya lebih rendah dan menurun drastis dari seorang ulama apalagi dari ketua organisasi ulama dari sebuah bangsa yang besar.

Menurutnya, Kiai Maruf mulai mengatakan banyak yang dipaksakan dalam dirinya seperti akan mempromosikan dan mengembangkan Islam Nusantara. “Itu bukan ucapan ulama,” tegas Prof. Moeflich.

Ulama itu harusnya akan menjaga Islam dan ajaran Rasulullah SAW karena ulama adalah jelas-jelas gelar dan tugasnya sebagai waratsatul anbiya, pelanjut perjuangan para nabi. Islam Nusantara sebagai ciri khas wilayah kebudayaan, itu urusan dunia, tak perlu diperjuangkan.

“Itu khazanah kebudayaan saja. Yang harus didakwahkan oleh ulama itu Islam ajaran Nabi SAW, bukan Islam karakeristik wilayah, apalagi kalau karakteristik wilayah itu banyak yang tak sejalannya dengan ajaran Islam,” ungkap Prof. Moeflich.

Akan mempromosikan Islam Nusantara kepada dunia? “Ya gak akan diterima di wilayah bangsa lain, karena selain karakteristik wilayahnya berbeda, juga ramah, toleran dan damai itu sudah ada dalam ajaran Islam yang ada di berbagai wilayah dan negara,” lanjutnya.

Sedangkan tidak toleran dan tidak damai bukan masalah agama, yang merusaknya adalah situasi politik di wilayah masing-masing. “Kiai Ma'ruf juga memaksakan diri menegaskan anti khilafah demi meraih suara,” kata Prof. Moeflih.

Jangan-jangan itu untuk menjual sikap anti-Islam pada pemilih sekuler guna meraih simpati mereka. “Kan bahaya ulama begitu. Gak pantas ulama anti khilafah dan syariat Islam. Ulama gak pantas anti dakwah Islam untuk memajukan Islam atau menegakkan syariat-Nya,” tegas Prof. Moeflih.

Menurut Prof. Moeflih, kalaupun khilafah belum bisa diterima di Indonesia, jelaskan secara bijak kepada yang memperjuangkannya, tuntun dan tenangkan mereka, bukan memusuhi apalagi melawannya. “Hargai niat tulus dan semangat keagamaan mereka,” ujarnya.

“Allah SWT itu menghargai semangat dakwah, masa’ ulama malah mematahkannya. Ulama harusnya tidak begitu. Ulama itu lilin dalam kegelapan yang memberikan cahaya kepada berbagai kelompok umat,” tegas Prof. Moeflich.

“Anti khilafah itu biarkan Banser, Ansor, dan non Muslim saja sebagai penyeimbang wacana sehingga masyarakat bisa menilai mana yang lebih baik sikap dan ide-idenya,” lanjut Prof. Moeflich.

Prof. Moeflih menilai, Ma'ruf juga mulai menyerang-nyerang kelompok Prabowo Subianto yang didukung oleh Ijtima’ Ulama dengan mengatakan ulama pendukung Prabowo itu bukan ulama sebenarnya. “Ini kan aneh bin ironis, dan bisa jadi kejumawaan tanpa sadar. Ma'ruf mulai kotor oleh politik,” ungkapnya.

Sejak bersedia jadi cawapres, lanjut Prof. Moeflich, Kiai Ma'ruf jadi nampak ambisi jabatan. Ambisi jabatan bukan sifat dan karakter ulama apalagi ulama senior.

“Bandingkan saja dengan UAS (Ustadz Abdul Somad), ulama muda tapi sanggup menolak tawaran jabatan yang mentereng sebagai cawapres. Tak heran kalau UAS jadi ulama idola, dia istiqamah,” jelas Prof. Moeflich.

Sejak nyawapres alias terjun ke dunia politik praktis yang kotor, kalau kita ikuti ribuan dari komentar-komentar tentang Kiai Ma’ruf di internet dan medsos dari masyarakat yang tidak mendukung, “ya ampuuun ... nama Ma'ruf jadi hancuuur.”

Banyak celaan, pelecehan, hujatan, dan hinaan yang tak pantas dilemparkan pada sosok ulama sepuh itu. Tentu saja sebagai rival politik, segala disorot. Sasaran pada usia dan fisik sudah pasti.

“Saya sedih sekali ulama kita diperlakukan begitu, tapi itu resiko yang harus diterima akibat beliau menceburkan diri. Kita gak bisa mengatur pikiran dan emosi orang. Psy-war di medsos dan perang dukungan memang dunia liar,” ujar Prof. Moeflih.

“Saya mencintai ulama. Sayangi Ma'ruf. Selamatkan dan jaga marwahnya sebelum jauh lebih rusak dalam persaingan politik. Saya yakin dengan menjadi wapres tak akan membuat beliau lebih baik kecuali karir dunia saja,” tuturnya.

“Beliau tidak akan berperan banyak. Lihatlah usia dan fisiknya. KH Zainuddin MZ saja juga pernah mengungkapkan dia tak kuat di politik padahal masih muda. Selamatkanlah ulama yang tadinya lurus pejuang Islam jadi kemungkinan bengkok,” tegas Prof. Moeflih.

Bagaimana menyelamatkan Kiai Ma’ruf? “Dengan tidak memilihnya berarti menyelamatkan dan mencintainya,” tegas Prof. Moeflich.

***