Sepakbola Indonesia: Lebih Banyak Suporter Mati daripada Prestasi

Selasa, 25 September 2018 | 21:30 WIB
0
814
Sepakbola Indonesia: Lebih Banyak Suporter Mati daripada Prestasi

Koordinator SOS (Save Our Soccer) Akmal Marhali seperti petugas sensus khusus penghitung suporter sepakbola yang mati. Dari catatannya kita tahu bahwa dalam enam tahun terakhir ini saja sudah ada 7 (tujuh) suporter mati sia-sia karena pertandingan dua klub Indonesia yang jadi musuh bebuyutan. Hingga 23 September 2018, masih dari catatan Akmal, total ada 70 suporter sepakbola yang mati tragis terhitung dari tahun 1995.

"Membunuh jadi hal yang biasa di sepakbola kita," kata Akmal, singkat. Sedih sudah pasti. Air matanya sudah lama habis. Menangisi kematian dan hilangnya nyawa yang sia-sia.

Sialnya, dalam catatan Akmal, mereka yang mati itu penonton baik-baik yang niat menonton untuk memberikan dukungan kepada klub kebanggaannya. Yang mati dihajar secara biadab bukan orang-orang yang suka memprovokasi dan mereka yang selama ini sengaja mengobarkan api permusuhan itu.

Banyak faktor, memang, yang menyebabkan peristiwa matinya suporter sepakbola kita selalu terulang. Faktor pertama adalah pendidikan. Harus diakui sebagian besar penyuka sepakbola di Indonesia adalah orang-orang yang tidak memiliki tingkat pendidikan yang cukup baik.

Kebanyakan "orang-orang bodoh" yang mudah diadu domba dan dipanas-panasi dengan provokasi kebencian dan ajakan untuk berkelahi untuk melampiaskan balas dendam. Gerombolan orang-orang yang bertindak duluan, berpikir belakangan, dan menyesal kemudian.

Tapi faktor utama yang sesungguhnya adalah peran federasi. Federasi sepakbola kita, yang tahun lalu membuat sejarah memilih seorang perempuan sebagai sekjennya, tidak pernah menganggap serius persoalan kematian suporter ini. Sudah sejuta kali Akmal, dalam kapasitasnya sebagai Koordinator SOS yang mengawasi dan mengkritisi sepakbola kita, memberi catatan keras kepada federasi sepakbola kita. Hasilnya?

Kematian suporter kita dianggap biasa. "Tak ada langkah konkret pencegahan (dari federasi). Terkesan dibiarkan dan tumbal nyawa dianggap biasa di sepakbola kita," ungkap Akmal, menahan geram.

Sepakbola Indonesia, memang, lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya. Lebih banyak suporter yang mati sia-sia dibanding raihan prestasi klub-klub sepakbola dan tim nasional sepakbola kita.

Asal tahu saja Tim Nasional Sepakbola Indonesia terakhir kali berprestasi tahun 1991. Itu pun dalam multi sports event, bukan single sport (football) event, saat meraih Medali Emas SEA Games XVI di Manila, Filipina.

Sesudah SEA Games 1991 itu Tim Nasional Sepakbola Indonesia tidak pernah meraih prestasi puncak, meraih gelar juara lagi, untuk pesta olahraga apapun (SEA Games, Asian Games, Olimpiade) dan kejuaraan sepakbola resmi (AFF, AFC, FIFA) selama 27 tahun ini.

Bahkan sepanjang sejarahnya, untuk single sport event khusus kejuaraan sepakbola resmi, Tim Nasional Sepakbola Indonesia tidak pernah sekalipun jadi juara.

Tidak pernah sekalipun jadi juara Piala AFF untuk kawasan Asia Tenggara. Tidak pernah sekalipun jadi juara Piala AFC untuk wilayah benua Asia. Dan tidak pernah lolos sekalipun - bahkan mungkin sampai kiamat - ke putaran final Piala Dunia FIFA untuk level sepakbola dunia.

Begitulah fakta sepakbola kita: ramai dengan berita kematian suporter daripada prestasi. Tragis sekali!

***