Horor Bernama PSSI

Selasa, 25 September 2018 | 21:54 WIB
0
880
Horor Bernama PSSI

Akhirnya kita tak perlu panjang lebar membuat analisa tentang mengapa harus ada manusia mati lagi hanya karena menonton permainan yang namanya sepakbola. PSSI sudah menciptakan horor-nya sendiri, ketika Sang Ketua saat ditanya seorang reporter yang sebenarnya pertanyaan standar belaka, tapi dijawab balik dengan: "Apa urusan Anda menanyakan itu?"

Belum lagi 10 hari ia menjabat Gubernur Sumatera Utara, ia sudah menunjukkan sikap "fasis"-nya kepada publik.

Sedikit saya jelaskan apa itu fasis! Fasisme adalah ideologi yang berdasarkan pada prinsip kepemimpinan dengan otoritas absolut di mana perintah pemimpin dan kepatuhan berlaku tanpa pengecualian. Pada mulanya fasis lahir sebagai reaksi terhadap marxisme (yang notabene komunisme), walau pada akhirnya melahirkan kultur yang sama tirani absolut.

Di sini otoritas militer (tentu dengan kekuatan pasukannya) menjadi sangat penting dalam ideologi fasis, karena ideologi ini selalu membayangkan adanya musuh, sehingga pemimpin dan militer harus kuat menjaga negara. Periode ini di Indonesia tercermin dalam 32 tahun masa Orde Baru di bawah rejim Soeharto, dan nampaknya belum mau berakhir ketika reformasi telah lewat 20 tahun.

Saya berpikir tiba-tiba PSSI menjadi mirip FIFA yang kekuasaannya melebihi negara. Ia berhak mengatur ini itu berdasar kewenangannya, dimana sport (baca: olahraga) harus benar-benar bersih dari campur tangan negara. Tampak kokoh dari luar, tapi sebagaimana diajarkan Lord Acton bahwa "power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely".

Pelajaran pertama, siapa pun yang ingin mendalami ilmu politik. Kekuasaan yang terlalu besar sebenarnya mengandung penyakit dasar bernama korupsi. Apakah Edy Rahmayadi demikian, belum ada satu pun kasus hukum menjeratnya. Namun kesombongan, kepongahan, dan keangkuhan adalah pintu masuk pertamanya. Orang yang sebenarnya "sangat tidak memiliki rasa hormat" pada korps militernya, yang membesarkannya.

Ia bisa pamit mundur begitu saja tanpa menunggu persetujuan atasannya, kebelet menjabat menjadi gubernur di sebuah provinsi yang dalam indeks tingkat korupsi salah satu yang tertinggi di Indonesia. Untuk membersihkannya? Jauh arang dari abu!

Dalam situasi itulah, ia dipertanyakan bagaimana mungkin ia merangkap duduk di dua kursi panas sekaligus? Dan dia tak punya jawaban! Dan keluarkan kalimat ngeles, ketika ia kepepet. Ia lupa jawabannya itu ditonton (lebih buruk lagi direkam) oleh jutaan pemirsa.

Menurut catatan Koordinator SOS (Save Our Soccer) Akmal Marhali, sebagaimana dituliskan sahabat saya Abi Hasantoso dalam enam tahun terakhir ini saja sudah ada tujuh suporter mati sia-sia karena pertandingan dua klub Indonesia yang jadi musuh bebuyutan. Bila terhitung mundur dari tahun 1995. hingga 23 September 2018, total ada 70 suporter sepakbola yang mati tragis.

Kesimpulannya singkat tapi tragik: "Membunuh jadi hal yang biasa di sepakbola kita".

Penyebabnya bisa banyak hal, fanatisme berlebihan, tingkat pendidikan suporter yang pas2an, mudah terprovokasi, bla bla bla... Tapi dipersingkat sebagai gerombolan orang-orang yang bertindak duluan, berpikir belakangan, dan menyesal kemudian.

Apa yang diperparah oleh lemahnya peran federasi yang, lagi-lagi hanya ajang mencari popularitas dan jenjang kekuasaan yang lebih tinggi. Lihat saja Edy Rahmayadi, siapa dia, sedemikian dikenalnyakah sebelum ia menjadi Ketua PSSI. Orang ini adalah cerminan generasi militer Indonesia, yang ketika dia makin dilokalisir ke barak bukannya makin baik kualitasnya.

Coba sebutkan saja satu tokoh militer hari ini yang masih jadi harapan di masa datang? Mereka memiliki ciri-ciri yang sama: terlalu terburu-buru ingin merebut kursi kekuasaan. Akhirnya ia hanya nemplok, menempel pada parpol-parpol yang sudah ada. Yang sebenarnya juga tak lebih benalu dalam birokrasi pemerintahan.

Berkelahi itu bagi laki-laki itu biasa, selalu mengasyikkan dan membuat seseorang menjadi benar-benar laki-laki. Baik untuk menguji nyali, keberanian dan kekuatan. Tapi jadi tampak sangat buruk ketika salah satu akhirnya jadi pengecut, yang ujungnya malah membuat semua tampak jadi pengecut: hingga lahir yang namanya tawuran, pengeroyokan, dan penganiayaan.

Itu bisa terjadi di mana saja, kapan saja, dengan musabab apa saja. Bukan salah Persib, Persija, Persebaya semata. Supporter kita memang sudah brengsek dari sananya. Makin brengsek karena federasinya tidak becus dan tak pernah terkoreksi.

Saya setuju: lenyapkan saja PSSI, tampaknya sejarahnya harus diakhiri. Ganti dengan federasi yang lebih sesuai dengan semangat zamannya. Federasi ini sudah mati sejak lama, tak ada prestasi di dalamnya. Tak ada kebanggaan didalamnya, yang ada membebani hari depan bangsanya. Bagian terburuknya: penuh tirani di dalamnya!

Jangan sok melankolik, gak ada romantisme apalagi nasionalisme sejarah dalam sepakbola kita di hari ini!

***