SBY Tidak Perlu “Walk Out”, Mestinya Berikan Senyuman!

Senin, 24 September 2018 | 16:48 WIB
0
410
SBY Tidak Perlu “Walk Out”, Mestinya Berikan Senyuman!

Langkah Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono melakukan walk out, saat Deklarasi Kampanye Damai Pemilu 2019 di Monas, Jakarta, Minggu 23 September 2018, telah viral di berbagai media.

Aksi walk out SBY itu, sebagai bentuk protes tidak tertib kampanye damai yang dilaksanakan KPU. SBY protes keras terhadap KPU. “Baru kira-kira lima menit tadi ikut defile itu, beliau turun dan walk out meninggalkan barisan,” kata Hinca Panjaitan.

Menurut Sekjen DPP Demokrat itu, acara walk out dari defile ini terjadi, karena SBY menilai banyak aturan main yang dilanggar. Padahal, sebelumnya telah disepakati oleh para peserta Pemilu 2019.

“Misalnya, kan kita sepakat pakaian adat saja dan tidak membawa partai, apalagi membawa atribut (capres-cawapres). Kenyataan, yang begitu banyak,” ungkapnya, seperti dilansir dari Viva.co.id, Minggu (23/9/2018).

Menurutnya, Partai Demokrat konsisten dengan kesepakatan, namun hak tersebut tak diikuti oleh parpol lain. “Teman-teman lihat semua itu, atribut apa yang ada di tempat ini, sehingga menurut kami KPU tidak tegas kali ini,” lanjutnya.

“Dan, kami protes keras, namun demikian semangat dan cita cita kita untuk membuat Pemilu damai, Demokrat tetap ada di posisi itu,” jelas Hinca. Atas dasar itu, ia memastikan partainya akan melakukan protes keras ke KPU.

“Saya telah menulis protes keras kepada Ketua KPU, saudara Arief Budiman, dan cc-nya Ketua Bawaslu. Ketua Bawaslu sudah jawab, katanya saya ingatkan tadi Pak Arief,” kata Hinca.

Berdasarkan postingan Kepala Divisi Hukum DPP Partai Demokrat Ferdinand Hutahen di akun Twitternya, @LawanPolitikJW, nampak sejumlah foto-foto pendukung capres cawapres Jokowi-Ma'ruf mengenakan kaus dan atribut pasangan nomor urut 1.

Sejumlah atribut partai kubu paslon Joko Widodo – Ma'ruf Amin, memang banyak beredar di lokasi deklarasi. Mulai dari bendera Partai Golkar dan Partai Nasdem, serta atribut relawan Jokowi seperti baju Gojo maupun papan slogan tagline kampanye Indonesia Maju.

Menjawab protes Ketua Umum DPP Demokrat SBY, Ketua KPU Arief Budiman mengaku mendengar protes SBY dengan walk out dari iring-iringan karnaval Deklarasi Kampanye Damai, karena melihat banyak atribut partai pendukung Jokowi – Ma'ruf.

Menurut Arief, atribut pendukung Jokowi – Ma'ruf dan partai pendukung di luar dari agenda dan karnaval resmi. “Sebetulnya, sudah kita atur itu semua di dalam jalur karnaval, karena kalau di luar itu kita tidak bisa tuntut,” kata Arief di Monas, Minggu (23/9/2018).

KPU, kata dia, tidak bisa membatasi pendukung yang datang ke lokasi dan berada di luar iring-iringan karnaval resmi. Dan, menggunakan atribut pendukung Jokowi – Ma'ruf di sekitar Monas.

“Tiba-tiba, banyak orang berdiri di pinggir jalan dan mengibarkan sesuatu tidak bisa membatasi. Tetapi, semua yang di jalur car free day sudah diatur. Paslon yang sudah rapat dalam kontrol kita,” jelasnya.

Arief menambahkan, KPU tak bisa memberi sanksi, karena pendukung yang hadir membawa atribut dukungan pada paslon tertentu. Karena, secara resmi hari ini (Minggu, 23 September 2018) kampanye Pemilu 2019 dimulai.

“Ini sudah masa kampanye, artinya orang boleh saja kampanye sepanjang regulasi dipatuhi. Khusus acara ini semua terkontrol, jumlah kaos dan atribut diberikan semua diperlakukan adil,” tegasnya.

Persoalan curi start ini memang bukan barang baru. Pada September 2017 lalu, dalam Rapat Kerja Nasional Projo, Jokowi secara terang-terangan telah meminta relawannya untuk mulai bekerja mengkampanyekan dirinya. Padahal saat itu, tahapan pilpres belumlah dimulai.

Sebagai petahana, Jokowi seharusnya bisa memberi teladan yang baik dalam kontestasi. Posisinya sangat diuntungkan. Wajar jika kemudian publik ragu bahwa kontestasi demokrasi ini bisa berjalan dengan baik. Toh, sejak awal sudah terlihat, adanya niat untuk berbuat curang.

Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Eko Putro Sandjojo diduga telah kampanye politik untuk capres petahana.

Kedua menteri ini diduga melanggar asas netralitas sebagai pejabat negara dengan melakukan kampanye politik yang mendukung capres petahana. Karena itu, kedua menteri ini dilaporkan Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) ke Ombudsman RI, Jum’at (7/9/2018).

Menurut Sekretaris Dewan Pembina ACTA Said Bakhrie, Mendagri telah melakukan mal-administrasi dengan mengucapkan dirinya memilih Jokowi untuk periode kedua di depan ribuan kepala desa.

Hal itu disamakan menyuarakan Jokowi kepada para kepala desa. Said mengetahui kegiatan Mendagri setelah membaca berita dari salah satu media online.

“Pak Tjahjo yang terkait dengan menyatakan, pada waktu itu dikumpulkan ribuan kepala desa bahwasanya presiden kita sekarang Bapak Jokowi bisa maju menjadi presiden untuk kedua kalinya yaitu maksudnya tahap dua periode, itu kan berarti mengajak,” ucapnya.

Sedangkan Mendes PDTT dianggap berkampanye karena bicara soal dana desa yang akan dinaikkan jika Jokowi kembali terpilih. Said mengatakan hal itu disampaikan Eko dalam suatu acara di Kemenko Perekonomian.

“Pernyataan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Pak Eko Putro Sandjojo yang menyatakan bahwa dalam hal ini jika Jokowi terpilih kembali maka anggaran dana desa akan ditingkatkan menjadi dua kali lipat itu saya baca di detikfinance,” kata Said.

Selain itu ACTA juga melaporkan Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Bahtiar. Menurut Said, Bahtiar berpotensi melakukan kampanye terselubung. Bahtiar, menyampaikan pesan politik dari Tjahjo untuk memilih Jokowi.

“Bahtiar sebagai ASN menyampaikan pesan Bapak Tjahjo untuk tunjukkanlah kecintaan pada Pak Jokowi di hari pencoblosan,” tutur Said, seperti dilansir dari Detik.com, Jumat (7/9/2018).

Said pun mengatakan sebelumnya pihaknya sudah mengirim nota keberatan kepada dua menteri itu pada 2 September 2018 untuk klarifikasi. Namun dalam waktu 2x24 jam tidak ada respons dari keduanya.

“Kami sudah melayangkan surat langsung kepada yang bersangkutan terkait nota keberatan kita yang diduga maladministrasi. Tetapi, dalam masa 2x24 jam yang bersangkutan tidak memberikan klarifikasi atau tidak menindaklanjuti nota keberatan kami,” tuturnya.

“Kami minta agar diberikan peringatan siapapun pejabat negara yang memiliki kewenangan atau stakeholder yang ada di negeri ini untuk tidak melakukan kewenangan yang dimiliki,” ujar Said. Apalagi, dirinya sebagai pejabat negara yang memberikan dukungan itu.

Kembali terkait dengan Deklarasi Kampanye Damai, sebenarnya SBY tidak perlu melakukan aksi walk out bila merasa diperlakukan “tidak adil”. Cukup bertahan dan berikan senyuman manis saja. Biarlah rakyat yang menilainya nanti saat Pilpres 2019.

Jangan sampai nanti timbul penilaian, “SBY koq ngambek seperti anak TK saja”. Kecuali, langkah itu sengaja dilakukan untuk menunjukkan perilaku pendukung petahana, sehingga menjadi perhatian rakyat.

***