Kritik untuk Kyai Ma'ruf

Minggu, 23 September 2018 | 06:39 WIB
0
712
Kritik untuk Kyai Ma'ruf

Demokrasi sesungguhnya suatu kreasi yang tak sangat disukai. Lebih banyak kita temu paradoks di dalamnya. Bahkan termasuk Gus Dur pun yang oleh beberapa orang disebut sebagai wali’ullah. Jika manifestasi politik mengandalkan kata-kata, dari sini semuanya bermula, untuk melihat seberapa berlian kemanusiaan manusia.

Ketika Jokowi memutuskan memilih KH Ma’ruf Amin, sebetulnya nggak apa-apa. Itu mengingatkan periode kedua SBY memilih Budiono sebagai wapresnya. Baru dua kali capres dipilih langsung oleh rakyat, dan SBY yakin akan personalitasnya.

Kalau kita mengamini Herbert Feith, yah, demikianlah politik Indonesia. Faktor subjektifnya yang akan jauh menonjol. Meski pasti bukan khas Indonesia, juga di negeri mana pun termasuk AS & AS (Amerika Serikat dan Arab Saudi, seperti Thompson and Thomson). Semua hanyalah cerminan-cerminan situasional. Momentum itu yang paling utama, dan hanya yang waskita bisa menangkapnya.

Ketika Prabowo memilih Sandiaga Uno menjadi cawapresnya, presiden PKS menyebut pencetus oke-oce itu sebagai santri post islamisme. Kita nggak ngerti apa maknanya. Dan belum lama lalu, salah satu anggota dewan syuro (lagi-lagi) PKS, menyebut Sandiaga Uno adalah ulama.

Entah kelak siapa lagi dari PKS menyebutnya sebagai wali’ullah, atau nabi yang dititipkan. Partai itu amat pandai melakukan claiming manis untuk diri sendiri, tetapi persisten dalam meruyak citra kompetitor.

Sampai kapan kepolitikan kita dipenuhi klaim-klaim nggak mutu macam gitu? Tentu saja bukan berarti agama tak penting. Setidaknya, agama berguna untuk melihat seseorang itu seperti dalam kualifikasi Ali bin Thalib, atau satunya hati, pikiran, dan tindakan?

Soeharto mengajarkan kita formalisme, dalam berpikir dan beragama. Dan kini kita menuai hasilnya.

Sebenarnya terbayang situasi akan adem dengan Kyai Ma’ruf sebagai cawapres Jokowi. Tetapi dua kali, mungkin lebih, pernyataan Kyai Ma’ruf membuat saya yang awam jengah. Apalagi ketika Mardani Ali Sera dan Neno Warisman ditunjuk sebagai wakil ketua pemenangan Prabowo-Sandi.

Kyai Ma'ruf masih sangat reaktif. Sebagai politikus, masih culun.

Pertama ketika bersemangat membanding-bandingkan dukungan ulama, antara yang di GNPF dengan ulama-ulama besar pendukung Kyai Ma’ruf. Saya tak tahu bahasa Arab, dan tak tahu kenapa ada kata tawadu’ di sana, tapi ada juklak-juknisnya nggak?

Kedua, ketika Kyai Ma’ruf menyatakan jika kelak terpilih sebagai wakil presiden, ia mengusulkan adanya Kementerian yang menangani pesantren.

Dua pernyataan Kyai Ma’ruf ini tak produktif.

Jika ingin (sudah, ding) jadi wapres Jokowi, cobalah meniru Jokowi. Ugahari, rendah hati, dan tidak reaktif.

Rakyat dulu memenangkan Jokowi karena Jokowi adalah kita. Ia anti-tesis elite kekuasaan. Cerminan rakyat. Tidak arogan. Tidak megaloman. Ia menjadi jawaban atas kejenuhan rakyat akan karakter busuk politikus umumnya. Ibarat tong kozonk fahri bunyinya.

Nyuwun sewu, lho, Pak Ya’i, itu kalau sampeyan mendukung Jokowi.

***