Jokowi dalam Banyak Rupa

Kamis, 20 September 2018 | 06:06 WIB
0
963
Jokowi dalam Banyak Rupa

Apa yang menjadi kelebihan Jokowi dibanding rivalnya dalam Pilpres? Menurut saya yang paling menyolok justru sederhana: suporter utamanya adalah orang kreatif, tulus, dan tak pandai berhitung!

Kreatif di sini tentu dalam banyak hal, tetapi intinya punya bahasa ucap hari ini dalam banyak media: grafis, tulisan, dan apa yang tampak menyolok mengorganisasi event (singkat kata mereka yang bergelut dalam event organizer).

Tulus, ini tidak saja mengacu pada penyanyi pria bersuara emas itu, tapi memang baik dan rendah hati itu. Tapi juga mudah tergerak tanpa banyak bertanya apalagi meminta imbalan, karena merasa hidupnya sendiri sudah "cukup kaya".

Tidak selalu material, tapi tentu saja bukan melulu yang itu-itu saja yang artifisial. Dan yang terakhir adalah mereka yang tak pandai berhitung.

Berhitung di alam milineal itu selalu tampak penting, walau sebenarnya sangat menyebalkan dan melelahkan. Lebih banyak salahnya, daripada benernya. Ujungnya, siapa pun yang bergabung di kubu sebelah jadi tampak jelek dan berkelas yah apa boleh buat: buruk.

Singkat kata mereka tidak keren!

Dan berkah sejak Pilpres pertama 2014 lalu tentu tandem dua anak muda "hyper-creative" bernama Hari Prast dan Yoga Adhitrisna. Dua orang yang saya pikir dua keping mata uang tak terpisahkan, yang kalau sudah ketemu dan menghasilkan karya kebangetan kerennya.

Hari Prast adalah seorang ilustrator lulusan ISI Jogja yang dia itu kalau sudah menggambar komik, selincah dia meniupkan angin dari mulut. Sedangkan Yoga Adhitrisna adalah copy writer alumni FISIP UI. Pada periode 2014 lalu, keduanya menghasilkan serial Jokowi ala Tintin.

Saya masih ingat bener, bagaimana Tintin tiba-tiba blusukan ke Jogja, jalan ke Pecinan di Jakarta, ke Masjid Baiturahman di Banda Aceh bahkan bermain bola di Papua. Konsep dasarnya memang "blusukan", yang sesungguhnya bukan sesuatu yang baru sih.

Pada zaman Soekarno disebut turba (turun ke bawah), di masa Soeharto ada "kelompencapir" tidak sekedar menemui rakyat tetapi diikuti dialog (tepatnya sih monolog ya, wong yang ngecipris terus Si Bapak Tua itu, sedang pertanyaan pesertanya sudah disetting sedemikian rupa). Eh di masa SBY heran kok malah nulis lagu dan bikin album (gak nyambung ah!).

Dan dalam Pipres 2019 ini, jauh hari keduanya telah mencoba bikin konsep baru yang tidak satu tokoh, tapi multi-face, banyak wajah. Jokowi bisa jadi punya rupa siapa saja.

Ia bisa mewakili berbagai fans club tokoh komik, film, buku populer, dan sialnya kok semua luar negeri yah?

Ia bisa jadi Harry Potter, dengan legenda sapu terbangnya. Ia bisa jadi Kapten Tanguy (yang gak tahu ini pilot pesawat Perancis dengan tandemnya Laverdure yang populer pada tahun 1980an). Ia bisa Ironman dalam Seial Komik Avengers. Bahkan ia bisa menjadi sedemikian Korean Style, dengan jacket ala Kampus dengan inisial huruf di dada kiri.

Menunjukkan bahwa daya jangkaunya sedemikian jembar, ia mungkin dicela bagi sebagian orang yang gemar fitnah, kehilangan kesempatan korupsi, atau terlalu sering salah bergaul dengan menggunakan agama menjadi cara baca yang buruk. Di tangan Hari Prast, Jokowi berubah menjadi lentur, ia bisa menjadi apa saja.

Ia bersedia dirubah gaya rambutnya ala Rhoma Irama dalam scene Ksatria Bergitar, ia bisa dengan gaya rambut belah pinggir ala boy band Korea Soju, ia juga bisa tiba2 berambut api ala komik Dragonball dari Jepang. Ia bisa bermetamorfosis jadi apa saja....

Ia, keduanya hampir menjadi jurnal bagi Jokowi. Ia menggambarkan karikatural aktivitas harian Jokowi yang dia anggap sederhana tapi penting digelorakan. Ia terus bekerja secara asyik-masyuk, dan saya hanya bisa membagikannya. Turut larut dalam kegembraan yang diciptakannya. Tabik, mase... situne pancen teope. TOP!

NB: sekedar memenuhi janji untuk banyak sahabat yang meminta, yang maafkan saya tak bisa saya sebutkan satu persatu. Sudah gampang lupa!

***