Catatan Serius untuk Jokowi (8): Memanfaatkan Magnet TGB

Selasa, 18 September 2018 | 17:40 WIB
0
787
Catatan Serius untuk Jokowi (8):  Memanfaatkan Magnet TGB

Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi telah purnabhakti sebagai Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB). Dia menjadi gubernur termuda se-Indonesia saat dilantik sebagai Gubernur NTB tahun 2008. Saat itu usianya baru 36 tahun.

Sebelumnya TGB adalah anggota DPR dari Nusa Tenggara Barat. Kini setelah 10 tahun menjadi gubernur (2 periode) dalam usia 46 tahun, pengabdiaannya berakhir di NTB. Bersama sang istri Erica L. Panjaitan kini TGB sedang memulai “pekerjaan” baru bukan lagi pada skala lokal, tapi mungkin skala nasional bahkan internasional.

Jumat 14 September 2018, bersamaan dengan malam dana untuk Lombok- Sumbawa, Tuan TGB meluncurkan buku “TGBNomics”. Buku ini ‘sedikit agak berbeda dengan gagasan yang ada dalam buku Soehartonomics, Habibienomic ataupun Jokowinomic. TGBNomics lebih dominan mengedepankan kearifan lokal dengan prinsip “Bersama Menyelesaikan Masalah Bersama”.

Menilik dalam catatan pinggir dari buku ini, selama 10 tahun kepempinan TGB, dua hal yang sangat terasa dan menjadi fakta yang ditunjukkan dengan data-data adalah program pengentasan kemiskinan yang digulirkan TGB berhasil menurunkan angka kemiskinan dari 23,8 persen pada Maret 2018 menjadi 14,75 persen pada Maret 2018, berkurang 38 persen atau menurun rata-rata 1 persen pertahun. Padahal di tingkat nasional, mengurangi angka kemiskinan 1 persen pun, dibutuhkan waktu sedikitnya lima tahun.

Dalam Pengantarnya terhadap buku ini, Rhenald Kasali, Guru Besar Universitas Indonesia, menulis, ada dua parameter yang selalu dijadikan ukuran keberhasilan seorang pemimpin; pertama adalah seberapa tinggi pertumbuhan (pemerataan) ekonomi yang bisa dicapai, kedua nadalah keberhasilan pemimpin itu mengurangi tingkat pengangguran.

Dua indikator ini harus beriringan. Jika tingkat pertumbuhan ekonomi daerah tinggi, biasanya angka pengangguran menurun. Sebaliknya kalau pertumbuhan ekonomi rendah, angka pengangguran pasti tinggi.

Tapi tulisan ini tidak untuk meresensi buku TGBNomics. Tulisan ini untuk mengingatkan pada Jokowi selaku Presiden RI, bahwa masih ada orang-orang hebat (dari daerah) yang layak dijadikan sebagai temen berdiskusi untuk menjadikan Indonesia lebih baik. Salah satunya adalah Tuan Guru Bajang.

Saya beberapa kali pernah bertemu sama beliau. Tapi tidak sekalipun bisa berdiskusi agak lama dengan cucu dari pahlawan nasional dan pendiri Nahdlatul Wathan ini. Kata orang, rejeki memang tidak kemana—atas bantuan sang istri Erica L Panjaitan yang juga mantan reporter itu, saya bisa berbicang agak lama sembari memperhatikan gestur dan tutur bicaranya.

Bersahaja, smart dan sangat santun. Tutur bicaranya teratur, artikulasi yang dapat dicerna serta menggunakan bahasaa Indonesia yang benar, meski sesekali ditimpali dengan bahasa Inggris.

Saya teringat nukilan dari BJ Habibie (Presiden ke-3 RI) tentang nilai tambah (added value). Namun nilai tambah versi TGB lebih out of the box (ke luar dari mainstream). Polemik yang berkepanjangan tentang Pancasila dan Islam diselaraskan oleh TGB. Dia memastikan tidak ada dikotomi antara ekonomi Pancasila dan ekonomi Islam. Karena prinsip keduanya adalah sama yakni menghadirkan kemakmuran, tetapi harus memenuhi unsur keadilan.

Dia berseloroh, tentang akronim Provinsi NTB dan Propinsi tetangganya, NTT. Yang satu di plesetkan menjadi Nanti Tuhan Bantu (NTB) dan satu lagi diplesetkan menjadi Nanti Tuhan Tolong (NTT) . Plesetan itu sebagai ungkapan yang menggambarkan betapa kedua provinsi itu tertinggal dari provinsi lainnya.

Searah perputaran waktu, menjadi pemimpin berarti mengerti apa yang menjadi keinginan rakyatnya. Dengan segala upaya, dia berdialog dengan semua orang. Praktik-praktik komando dan hubungan atasan bawahan dieleminir sedemikian rupa sehingga menghasilkan kritik dan masukan.

Kebijakan ekonomi yang mengedepankan tentang sapi, jagung dan rumput laut kemudian disandingkan dengan kebijakan ekonomi yang merekonstruksi kembali kekuatan alam dan nilai-nilai tambahnya di sektor industrialisasi, pariwisata dan pertambangan, NTB kini berubah menjadi Negeri Teramat Bahagia, karena daerah ini mampu melakukan perubahan dan perubahan itu menghasilkan karya yang luar biasa.

Kini TGB sudah purnatugas. Dia menjadi bagian yang sama dengan rakyat kebanyakan. Namun usianya masih sangat produktif. Jika menilik persabahatannya dengan Jokowi, bisa dibilang sangat akrab. Beberapa kali mereka duduk dan bekerja bersama untuk sebuah tugas menyatukan untuk mejadikan negeri ini lebih baik.

Tapi pertemanan ini tidak hanya sebatas kerjasama temporary, daya magnet TGB harus lebih dalam dimanfaatkan untuk kepentingan yang lebih besar, apalagi dalam waktu dekat ini Tuan Guru Bajang, akan mendirikan Rumah TGB atau Rumah Tunas Generasi Muda.

Tinggal sekarang bagaimana Jokowi mampu merealisiasikan Rumah TGB ini menjadi peluang untuk mengabadikan Nawa Cita yang bukan hanya dua periode atau tiga periode. Tapi selamanya. Selama Indonesia ini ada.

***