Pilkada dan pilpres yang terumit dan paling tidak efisien atau boros anggaran adalah negara Indonesia.
Kalau di negara tetangga Malaysia bisa dikatakan paling efektif dan efisien, sekalipun tidak menganut pemilihan langsung. Di negara tetangga tersebut setelah dinyatakan menang pemilu dan Perdana Menteri terpilih, selang beberapa hari langsung dilantik dan diambil sumpah dan langsung bisa bekerja secara efektif.
Atau negara Turki dan Mesir setelah dinyatakan menang dalam pemilu, maka hanya dalam hitungan hari atau minggu, seorang presiden terpilih bisa langsung dilantik dan bekerja secara efektif.
Tapi bagaimana dengan negara kita tercinta Indonesia?
Baik pilkada serentak maupun pilpres, proses pemilihannya memakan waktu yang sangat lama dan mengeluarkan anggaran puluhan trilyun untuk pilkada serentak. Birokrasinya sangat bertele-tele dan panjang. Sebagai contoh: dalam pilkada serentak, proses pendaftaran dari awal bulan Januari 2018 sampai dengan pelantikan para kepala daerah, baik tingkat kabupaten/walikota dan gubernur memakan waktu sampai 9 bulan.
Seperti yang pada hari Rabu, 5 September 2019 pelantikan 9 gubernur di Istana negara. Pelantikan ini dimajukan karena sudah tidak ada gugatan secara hukum. Harusnya pelantikannya akhir bulan September.
Praktis seorang kepala daerah atau presiden memegang jabatan secara efektif hanya 4 tahun. Yang satu tahun habis untuk proses mencalonkan kembali sebagai petahana dalam pilkada atau pilpres.
Waktu kampanye yang sangat panjang yaitu memakan waktu tiga bulan, ini juga sangat tidak efisien dan justru akan timbul dampak kerawanan sosial antarpendukung calon kepala daerah atau pilpres. Padahal sebelum waktu kampanye resmi yang ditetapkan oleh KPU, para calon sudah kampanye yang sifatnya mengenalkan diri di masyarakat.
Seperti sekarang, pendaftaran pilpres sudah ditutup, tetapi sampai sekarang belum ditetapkan oleh KPU, padahal sudah beberapa minggu. Tetapi antarpendukung sudah ribut di media sosial, mereka saling serang atau di lapangan yang lagi ramai dengan #2019 ganti presiden dan penolakan terhadap #ganti presiden. Ini bisa menimbulkan konflik antarpendukung.
Belum lagi soal borosnya anggaran pilkada atau pilpres. Karena menurut undang-undang pemilu pemilihan langsung dan harus di coblos, maka pemilihannya baik pilkada dan pilpres harus mencetak kertas suara. Dan dari jumlah daftar pemilih tetap, biasanya yang menggunakan hak pilih antara 65% sampai 70%, ini sudah termasuk tinggi partisipasi pemilih.
Dan angka golput atau yang tidak menggunakan hak pilih antara 30% sampai 35%. Artinya kertas suara yang sudah tercetak terbuang atau tidak terpakai secara percuma dan sia-sia. Dan ini tentu sangat tidak efisien dan membuang uang atau anggaran.
Harusnya di era digital, pilkada dan pilpres bisa efisien dan murah. Seperti menggunakan perpaduan antara pencoblosan memakai kertas suara dan memakai sistem digital elektronik.
Untuk wilayah perkotaan atau wilayah pulau Jawa bisa menggunakan sistem elektronik dalam pilkada atau pilpres. Sedangkan untuk wilayah pelosok atau daerah bisa menggunakan sistem seperti sekarang mencoblos kertas suara.
Hanya saja KPU kurang kreatif dan berlindung di balik undang-udang, mereka beralasan bahwa undang-undang pemilu memakai kertas suara dan harus dicoblos dengan paku atau benda sejenis.
Anehnya KPU bisa kreatif dengan mengeluarkan peraturan KPU yang melarang mantan koruptor untuk menjadi caleg. Tetapi tidak bisa kreatif supaya pilkada dan pilpres bisa efisien atau hemat anggaran.
Untuk itu pilkada dan pilpres harusnya sudah mulai dipikirkan, bagaimana supaya pilkada dan pilpres bisa efisien dan tidak boros anggaran. Dan bisa memotong birokrasi atau tahapan dalam pilkada atau pilpres.
Jangan sampai pilkada atau pilpres hanya melahirkan kerawanan sosial atau menyuburkan faham kebencian antarpendukung.
Salam waras!!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews