“Bola Salju” Persekusi Neno Warisman dan Gerakan #2019GantiPresiden

Kamis, 30 Agustus 2018 | 22:25 WIB
0
880
“Bola Salju” Persekusi Neno Warisman dan Gerakan #2019GantiPresiden

Persekusi terhadap Neno Warisman di Pekanbaru, Riau, Sabtu, 25 Agustus 2018, itu memang berdampak luar biasa, bak “bola salju” yang menggelinding semakin membesar. Sampai Juru Bicara Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Purwanto meminta maaf.

Melansir Viva.co.id, BIN memastikan tidak ada intimidasi yang dilakukan terhadap salah satu penggerak gerakan #2019GantiPresiden, Neno Warisman saat dipulangkan dari Pekanbaru, Riau, Sabtu 25 Agustus 2018 lalu.

Menurut Wawan, yang ada hanya imbauan agar tak meneruskan acara karena saat itu kondisi sudah tak kondusif. “Dalam kondisi lelah karena berjaga 24 jam, bisa saja orang jadi emosi, cape, akhirnya ada gesekan, gampang marah,” ujarnya.

“Tapi itu risiko sebuah tugas di lapangan maupun pemantau,” ujar Wawan, Senin malam 27 Agustus 2018. Jika ada kesalahan dalam penanganan pembubaran aksi #2019GantiPresiden di Pekanbaru, pihaknya meminta maaf.

Hal itu dilakukan semata-mata untuk mencegah bentrok dan korban. “Oleh karenanya ya mohon dimaafkan andaikata ada sikap yang dirasa kasar, tapi ini semua untuk evaluasi bersama, sebagai wujud kecintaan kita kepada Tanah Air,” katanya kepada wartawan.

Lebih lanjut, menurut Wawan, jika memang ada yang kurang, kritik dan saran akan diterima mereka. Pihaknya akan menjadikan hal tersebut sebagai bahan evaluasi. “Kalau ada sesuatu yang dirasakan, dia merasa diperlakukan beginilah, sampaikan,” lanjutnya.

“Karena itu ada evaluasi, evaluasi bersama. Tidak ada yang sempurna secara sistemik dan ini untuk kebaikan ke depan,” jelas Wawan. Perlakuan aparat keamanan di Pekanbaru memang tampak kasar saat itu, dan justru tidak memberikan perlindungan.

Ini bisa disimak dari cerita Neno Warisman ketika “dipaksa” sebelum terbang kembali lagi ke Jakarta. Saat itu, ada sekitar 748 personel gabungan yang dikerahkan saat kedatangan Neno. Itu terdiri Polri, TNI AU dan TNI AD.

Neno mendadak tiba di Pekanbaru pada Sabtu sore, (25/8/2018) untuk menghadiri acara deklarasi #2019GantiPresiden. Semula acara itu akan dilangsungkan Minggu (26/8/2018). Namun pada Jumat (24/8) lalu, panitia menunda acaranya pada 2 September 2018.

Dengan kedatangan Neno yang mendadak itu, puluhan massa langsung memblokir gerbang keluar bandara SSK II Pekanbaru, Sabtu (25/8/2018). Neno tertahan dari pukul 15.30 WIB hingga sekitar pukul 22.30 WIB.

“Ditemani oleh sang pemilik mobil yang rusak pastinya oleh hujan batu yang dilemparkan oleh siapa entah (dari mana batu cukup besar-besar itu di Bandara?). Dr. Diana Tabrani dan Pak Luqman (suaminya), saya tetap memilih bertahan,” cerita Neno.

“Dua orang dari tim kerja sempat diseret ke Polres dan seorang lain saya lihat sendiri dikejar 10 orang dan dikeroyok dan saya hanya dengar seruan Allahu Akbar-nya berulang-ulang sampai punggungnya menempel di kaca mobil,” lanjut Neno.

Setelah massa kontra membubarkan diri, massa pro Neno berdatangan. Tujuan mereka untuk menjemput Neno keluar dari bandara. Massa yang mengatasnamakan diri dari tokoh pemuda masyarakat Riau, ini sempat dibubarkan paksa oleh polisi sekitar pukul 18.30 WIB.

Tapi, mereka kembali lagi ke bandara dengan jumlah yang lebih banyak sekitar pukul 22.00 WIB. Tetapi, kedatangan mereka kesana tidak ada hasilnya. Suara mereka tak dapat membuat Neno diizinkan keluar dari Bandara.

Neno akhirnya dipulangkan paksa oleh aparat ke Jakarta pada penerbangan terakhir sekitar pukul 22.30 WIB. Sebelumnya, Kapolda Riau Brigjen Widodo Eko Prihastopo memberikan pernyataan menohok terkait acara deklarasi #2019GantiPresiden.

Rencananya, deklarasi #2019GantiPresiden itu dilakukan pada Minggu (26/8) di Pekanbaru. Ia meminta acara itu dibatalkan. “Kita antisipasi. Saya tegaskan di sini batalkan itu. Gak ada manfaatnya, mudharatnya banyak,” tegas mantan Wakapolda Jatim itu.

Penegasan Kapolda itu dinyatakan usai Serah Terima Jabatan (Sertijab) di Mako Brimobda Polda Riau, pada Jumat (24/8/2018) lalu. “Kita akan lakukan pertimbangan kembali dengan strategi lainnya. Mungkin tidak saya sampaikan di sini,” katanya, mengutip JawaPos.com.

Pernyataan Kapolda Riau itu direaksi keras oleh Ketua Presidium Pusat Gamari, Larshen Yunus lewat siaran persnya, Sabtu (25/8/2018). Gamari menilai sikap Kapolda Riau sudah otoriter dan tidak konstitusional.

Brigjen Widodo dinilai sudah melampaui kewenangannya dan membuat gaduh Provinsi Riau dengan larangan aksi #2019GantiPresiden. “Brigjen Widodo baru sehari menjabat Kapolda Riau, namun pernyataannya sudah sangat kontroversial,” ujarnya.

Menurutnya, seharusnya kehadiran beliau menyejukkan suasana, bukan justru sewenang-wenang membatalkan Aksi #2019GantiPresiden tersebut. “Belum apa-apa sudah buat gaduh! Beliau itu baru sehari menjabat Kapolda Riau, tapi kok sudah begini sih,” ujarnya.

“Jujur saja, kami masyarakat Riau sangat alergi dengan pemimpin yang otoriter seperti ini,” tegas Larshen Yunus. Yunus menyesalkan isi dari kata sambutan Brigjen Widodo pada saat acara pisah sambut di Aula Mako Brimob Riau, Jum’at (24/08/2018).

“Seharusnya beliau itu tidak sembrono dalam mengeluarkan kata-kata. Beliau itu adalah seorang perwira tinggi Polri, Jenderal bintang satu yang sebentar lagi akan jadi bintang dua, tapi kok malah senorak ini gayanya,” kesal Yunus.

Reaksi LAM Riau

Reaksi lebih keras datang dari Lembaga Adat Melayu (LAM), sebuah lembaga berwibawa yang berperan atas harmonisasi sosial di lingkungan masyarakat Melayu Riau. Pada Minggu malam (26/8/2018) mereka mengultimatum para penghadang dan pelaku persekusi.

LAM Riau memberi batas waktu empat hari kedepan untuk mengklarifikasi “siapa mereka”, dari mana, siapa yang memobilisasi dan mengapa berani mengatasnamakan warga Melayu Riau (Moslem Today).

Para penghadang Neno yang bertato dan sebagian bersenjata di bandara adalah orang luar daerah Riau, yang diduga “preman”. LAM mengetahui, para penghadang Neno itu datang dari luar daerah, siapa yang mengerahkannya dan mengapa aparat membiarkannya?

Karena masalahnya sensitif, Kapolda Riau mendadak silaturahmi ke LAM pada Senin siang (26/8/2018), paska ultimatum kepada penghadang Neno oleh LAM. Mungkin aparat daerah tak mengetahui, yang menemani Neno di mobil itu Putri Datuk Riau.

Dalam adat Melayu, Datuk Riau itu sangat dihormati dan disegani di Riau. Ia dilarang keluar mobil dan beberapa jam tidak mendapat pasokan makanan, walaupun polisi membantahnya. Bahkan ia dilarang pulang ke rumahnya.

“Cuitan masyarakat Riau, misalnya (Ardi Riau) lengkap dengan video, ditembuskan ke DPR dan Presiden ILC,” ungkap Direktur Cordoba Centre, Arifin Mufti.

Masyarakat Riau sangat malu, mereka memiliki tradisi ramah terhadap tamu dan bertolak belakang dengan perilaku para penghadang – yang bukan warga – tetapi mereka mengatas- namakan masyarakat Riau.

Belum diketahui apa persisnya yang dibicarakan antara Kapolda Riau dengan LAM Senin siang itu. Namun paska pertemuan tersebut, BIN melalui juru bicaranya, meminta maaf jika penanganan atas rombongan Neno dianggap berlebihan.

“Yaitu, bahkan memulangkan Neno Warisman dan rombongan ke Jakarta setengah memaksa. Ya BIN melalui Kabinda (Marsma TNI Rakhman Haryadi) memang aktif memulangkan NW, dalam video yang dikirim ke DPR tampak jelas,” lanjut Arifin Mufti.

Apakah cerita sudah selesai? Tidak! Rupanya, karena kedatangan Neno sebagai penumpang penerbangan Pekanbaru – Jakarta menyebabkan “delay”, di luar jadwal, penumpang semua sudah menunggu.

Neno berinisiatif meminta maaf pada penumpang dan menggunakan “microphone” pesawat atas izin pramugari. Indonesia Police Watch (IPW) bereaksi keras, itu adalah “penguasaan” penerbangan sipil. Neno bisa kena hukuman penjara dengan denda Rp 500 juta.

Bagaimanapun juga BIN sudah meminta maaf. Boleh jadi, mungkin ini karena “sensitifnya” ultimatum LAM yang memberi tempo 4 hari untuk klarifikasi tersebut. Ada kesimpulan yang menarik, yaitu “tidak sinkron “ antara pihak Istana dengan BIN.

Tatkala BIN berusaha mencairkan situasi dengan meminta maaf, Ahli Deputi IV Kantor Staf Presiden (KSP) Bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Ali Mochtar Ngabalin malah menuding kegiatan Neno di Riau adalah kegiatan makar.

***