Neno Warisman, Cebonger, Kampreter dan ”Nyinyir” yang Mewabah

Rabu, 29 Agustus 2018 | 06:13 WIB
0
642
Neno Warisman, Cebonger, Kampreter dan ”Nyinyir” yang Mewabah

Rasanya lucu saya yang lebih suka menulis tentang seni budaya tapi di PepNews ini coba-coba membahas dan mewacanakan politik. Tapi tulisan politik memang seksi, mata dan perhatian sering tersedot dengan judul-judul yang membuat penasaran. Padahal tulisan wacana tentu hanya berdasarkan opini penulis dengan referensi berita-berita dari media massa dan suara hatinya berdasarkan lingkaran pergaulannya.

Ada yang berbuih- buih membela petahana dengan ilmu “cebongnya” dan ada yang dengan gigih rela membuat hastag ganti presiden meski harus dihadang aparat di mana- mana.

Neno Warisman, Mardani Ali Sera  mendapat dukungan dari penulis yang memang memplot dirinya selalu mengritik petahana. Tulisan-tulisan politik di media sosial menjadi pemantik orang untuk berkomentar bahkan ada yang dirujuk menjadi sumber informasi valid untuk dibagi- bagi kepada warga yang “emosional” hanya membaca judul lalu spontan berkomentar dan marah-marah tidak jelas mengatakan cebong begini kampret begitu halaahhh.

Saya tidak tahu apa pendapat saya tentang Neno Warisman. Harus mengatakan apa terhadap sosok seperti dia yang di PepNews ini ada salah satu penulis yang membandingkan Neno dengan Aung San Su Kyi dan menganggap pemerintah sekarang sudah seperti pemerintahan Burma yang represif ”petakilan” sensitif dan ketakutan terhadap gerakan hastag ganti presiden tersebut.

Padahal, jika melihat wajah Jokowi tidak ada kesan panik sama sekali, malah masih tersenyum-senyum jika dipancing-pancing masalah politik negeri ini.

Penulis heran juga di saat Korea Utara dan Korea Selatan merasa tersanjung disatukan dalam ajang besar bernama Asian Games, Netizen Kampreter, Cebonger, dan komentator yang sekedar ngisruh terus saja membuat media sosial heboh dengan kubu-kubuan.

Saya membayangkan jika politikus yang petakilan dan selalu merasa”terzolimi” itu dicuekin warga masyarakat, mau guling-guling, salto sendiri dan pidato diatas mimbar dengan pendengar kursi-kursi kosong apa yang akan terjadi. Apakah mau bunuh diri di atas pohon taoge?

Sayangnya netizen Indonesia memang suka “udur” (berdebat). Serasa ada tantangan khusus jika bisa saling membully. Serasa jagoan sudah bisa membantai lawan debatnya di media sosial. Dengan mencuplik tafsir-tafsir ayat di kitab suci, seakan-akan sudah menggenggam kebenaran dan mendapat restu dari Sang Penguasa Alam Semesta untuk mengutuk lawan politiknya. Kebenaran itu relatif.

Gonjang-ganjing jagad politik Indonesia semakin memanas sampai terpilihnya presiden baru di tahun 2019. Panasnya perang komentar di media sosial disinyalir memang sebuah kesengajaan untuk menekan posisi petahana yang susah dijegal hanya dengan isu korupsi, agama, komunisme, asing-aseng.

Harusnya mereka waspada bukan dengan sederet keburukan yang dibisikkan dengan data- data mentah. Jika ingin menang dengan elegan harus juga mau mengukur kemampuan diri.

Penulis jadi ingat cerita pewayangan ini tentang obrolan Togog sebagai abdi dengan Raja dan satria yang diasuhnya. Togog sebenarnya adalah dewa (Bathara Antaga) yang  ditugaskan untuk mendampingi tokoh-tokoh antagonis. Dalam setiap obrolannya sebenarnya ia sangat sengak jika diminta pertimbangan oleh Tuannya.Togog mengemban misi untuk meluruskan kedegilan, keculasan dan niat busuk tuannya.

Cakil : “Togog. Bagaimana pendapatmu tentang Arjuna calon lawanku?”

Togog: “Zzzzz” (Togog terkantuk kantuk sampai ketiduran)…lalu bangun tiba-tiba…”Aaaapa Gus Cakil”

Cakil: “Kupingmu dengar tidak sih aku ngomong tadi?”

Togog: “Oooooh meskipun hamba tidur saya dengar Gus Cakil. Hati-hati dengan Arjuna Tuan dia itu meskipun kelihatan lemah tetapi kekuatannya luar biasa. Mempunyai panah pusaka, Sakti mandraguna, Punya kesaktian sepi angin bisa berjalan di atas karang seperti terbang.”

Cakil: Ah yang benar saja Cakil, Aku tidak peduli aku lebih sakti.

Togog: “Jangan merasa lebih sakti dan sombong Gus, itu akan membuat anda menjadi lemah.”

Cakil:”Kenapa kamu malah menyanjung-nyanjung lawan sih Gog?”

Togog: “khan sekedar saran Gus Cakil mau didengar monggo mau tidak monggo…

Sebagai pengabdi antagonis Togog selalu kritis dan mengingatkan tuannya yang sering kelewat PD akan kemampuan diri. Sebab awal kekalahan karena terlalu PD menang sehingga tidak mengenal musuh dan segala kelebihannya. Menganggap musuhnya adalah lawan remeh yang bisa digulingkan dengan isu-isu tidak sedap. Kepada semua pemimpin yang mau bertarung. Rendah hati itu lebih penting dari sebuah kesombongan, merasa diri lebih benar dan agamis belum tentu sosok yang baik yang bisa menjadi pucuk pimpinan tertinggi negara.

Kepada Neno Warisman saya tidak tahu yang ada dalam benakmu tapi kalau memang memilih berjuang untuk melawan”ketidakadilan” versimu sebaiknya pikirkan panjang. Yang diperjuangkan itu untuk sebuah upaya membangkitkan rasa kebangsaan atau sebuah cara untuk melanggar peraturan.

Calon Presiden sudah jelas dan 2019 jelas sebuah transisi untuk memilih presiden dan wakil presiden baru. Siapapun Presidennya tentu adalah pilihan rakyat. Anda masih ngotot memperjuangkan sesuatu yang jelas tidak sesuai dengan konstitusi.

Kalau Anda memilih Prabowo ya silahkan deklarasi dukung Prabowo calon Presiden, bukan memprovokasi masyarakat untuk cepat-cepat menurunkan Presiden. Anda mendahului keinginan rakyat yang dijamin haknya untuk memilih sesuai hati nuraninya. Jika tidak mau memilih Jokowi yang silahkan salurkan suara anda sesuai selera anda.Itu pendapat saya yang terkesan suara “cebong”.

Atau anda akan lebih mendapat simpatik jika anda membuat gerakan #AyoPungutiSampah, #AyoSukseskanPilpres2019. Bersama teman teman dengan garang teriakkan Indonesia. Indonesia kamu bisa.

Ya namanya masyarakat itu rindu damai dan tenang, tidak ingin terpecah belah dalam kubu-kubuan apapun namanya. Ingat gelegar suara penonton ketika meneriakkan Indonesia ketika atlet berjuang mengharumkan nama bangsa.

Patut dicontoh semangat atlet yang tidak ingin terseret dalam semangat politik yang kurang patriotik. Dalam olah raga kalah menang itu biasa. Yang penting sportivitas harus dijunjung tinggi-tinggi.

Tunjukkan dengan prestasi. Bukan dengan cara”nyinyir”.

***