Maraknya penolakan deklarasi #2019Ganti Presiden di beberapa daerah di Indonesia, bisa dijadikan alasan bahwa deklarasi ini berpotensi memecah belah rakyat. Betapa tidak, polarisasi yang terjadi pasca Pilpres 2014, telah memecah rakyat dalam dua kubu yang saling berlawanan, yakni kubu Prabowo dan kubu Jokowi.
Fatalnya, polarisasi ini tidak dihilangkan dengan kesadaran bahwa Pilpres sudah usai, dan segala perbedaan pilihan harus dibuang jauh-jauh. Indonesia sudah memiliki Presiden baru yang secara demokratis dipilih rakyat. Saatnya seluruh komponen bangsa, secara bersama-sama mendukung Presiden terpilih dan kembali bekerja untuk kemajuan bangsa.
Namun, polarisasi yang ada justru terus diberi 'pupuk' untuk kepentingan politik sesaat. Mulai dari Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 hingga Pilkada Serentak 2018, aroma perpecahan seperti dibiarkan mengeluarkan baunya yang menyengat. Proyek politik ini berlanjut hingga muncullah tagar #2019GantiPresiden, sebagai amunisi untuk Pilpres 2019.
Menurut aturan yang ada di dalam pemilu, kampanye #2019GantiPresiden yang dilakukan sejumlah orang, memang dinilai tidak melanggar aturan. Namun, kampanye atau deklarasi tersebut sama saja dengan upaya menyebar kebencian terhadap presiden yang sedang menjabat, yakni Joko Widodo atau Jokowi.
Hal itu, seperti dikatakan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie dalam akun Twitter @JimlyAs. Menurut Jimly, yang dilansir di laman Kompas.com (26/08/2018) gerakan #2019GantiPresiden jelas menyebar kebencian kepada Presiden yang sedang menjabat, karena dilakukan sebelum masa kampanye pilpres yang resmi ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Dan, kenyataannya, aktivitas #2019GantiPresiden ini bukan gerakan massa belaka yang tak memiliki kepentingan politik. Gerakan ini, jelas-jelas gerakan politik yang di-support oleh kekuatan partai politik di luar Pemerintahan yang berkuasa, yang juga memiliki agenda dalam kontestasi Pilpres 2019. Secara etika, kubu di luar pemerintahan ini sudah melakukan kampanye Pilpres sebelum waktunya.
Jika ada itikad baik, menurut Jimly, gerakan #2019GantiPresiden ini sebaiknya lebih mempromosikan hal-hal baik dari calon presiden yang diusungnya sebagai lawan Jokowi, bukan justru menjelek-jelekan calon lain yang tidak disukainya.
Kalau muaranya menjelek-jelekan, atau bahkan memfitnah, tentu saja hal itu akan menyakiti dan memprovokasi perasaaan orang-orang yang mendukungnya, sehingga menimbulkan perlawanan.
Pihak pengusung #2019GantiPresiden sepatutnya menggunakan cara yang lebih cerdas dan beretika, yang bisa diterima dua kubu yang berbeda. Bila ingin mengkritik, kritiklah secara benar dengan mengacu sumber data yang bisa dipertanggungjawabkan.
Masyarakat kita sudah lebih cerdas, dan juga dewasa dalam memahami perbedaan pendapat, karena perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Namun, bukan berarti perbedaan yang ada itu harus dibentur-benturkan, apalagi untuk kepentingan politik sesaat. Kalau ini yang terjadi, artinya demokrasi kita sudah mundur ke belakang.
Sejarah telah mencatat, perpecahan di antara kitalah yang membuat Belanda begitu lama menjajah Tanah Air kita. Namun, ketika benih-benih persatuan itu datang, kemerdekaan pun akhirnya mudah didapat. Kita harus menyadari, dalam keadaan bersatu saja, kita belum tentu bisa menjadikan Indonesia sebagai negara maju, apalagi jika kita terpecah belah.
Janganlah nafsu politik sesaat #2019GantiPresiden harus merusak ikatan kebangsaan yang sudah lama terjalin. Jauhi ego masing-masing, karena sesungguhnya kita semua bersaudara.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews