Banyak pendukung Jokowi yang cemas dengan idiom serta metafor yang terus diproduksi Rocky Gerung (RG) pada setiap kali tampil di ILC, seakan-akan penyakit menular yang bisa menjangkiti dan membunuh lawan politiknya. Padahal serangan Fadli Zon dan Fahri Hamzah terhadap rezim pemerintahan Joko Widodo seringkali jauh lebih berbobot dibanding pilihan diksi RG yang digunakan sebagai amunisi itu.
Kalau mau jujur, tulisan RG jauh lebih berkelas tinimbang cara dia bertutur. Apa yang menarik dan harus dicemaskan dari idiom semisal "menggores moral publik", istilah yang ia lempar untuk mengkritisi perlakuan Jokowi serta timnya terhadap Mahfud MD. Coba bandingkan misalnya dengan beberapa tulisan RG yang dibuat jauh sebelum sengkarut politik Pilpres dan Pilgub DKI.
Lantas mengapa FZ dan FH yang tiap saat membombardir Jokowi dan pendukungnya dengan kritikan hanya dianggap angin lalu, dan hanya melahirkan sinisme?
Jawabnya karena FZ dan FH adalah politisi yang partainya mengusung Prabowo yang apa pun kebijakan rezim pemerintahan Jokowi harus dianggap salah dan disalahkan, di mana posisi berdiri FZ dan FH bermandi cahaya. Sebaliknya RG sengaja memilih berdiri di grey area serta malu-malu mengakui kalau dirinya tegak di Prabowo, apa lagi keberadaannya di ILC diberi jubah filsuf dan Ilmuwan oleh Karni Ilyas.
Dengan jubah yang dikenakannya seakan sikap serta pandangannya bersifat obyektif. Seakan dengan sikap kritisnya terhadap penguasa ini, RG disejajarkan dengan intelektual kritis sekelas Antonio Gramsci atau para pemikir post strukturalis oleh para pemujanya.
Dalam kasus tersingkirnya Mahfud MD dari posisi cawapres Jokowi karena desakan partai pengusung, RG menyebut tindakan Istana terhadap Mahfud MD telah menyebabkan seseorang terhina sekaligus menghina moralitas publik.
Sampai di sini pernyataan RG ada benarnya. Istana, atau katakanlah Jokowi tidak konsistensi dalam memegang janji yang tentu saja bertentangan dengan moral publik, meski dalam riil politik hal yang jamak. Tapi publik suka lupa kalau tema ILC malam itu bukan hanya soal PHP terhadap Mahfud MD tapi "Kejutan Cawapres: Antara Mahar Politik dan PHP".
Lalu mengapa RG hanya fokus menyerang Istana kaitannya dengan Mahfud MD dan memilih bungkam soal Mahar Politik yang diduga keras dilakukan Sandiaga Uno untuk menyingkirkan kandidat cawapres Prabowo lainnya?
Kira-kira demikian maksud keberatan Masinton Pasaribu saat menyela RG malam itu.
Bukankah RG diposisikan sebagai filsuf atau Ilmuwan Sosial yang dalam melakukan kritik harus bersikap jujur dan adil? Bukankah jika benar apa yang dilakukan Sandiaga Uno, maka tindakannya bukan saja menggores moral publik tapi sudah termasuk dalam kategori kejahatan?
Sikap bungkamnya RG terhadap isu mahar politik yang juga merupakan tema diskusi ILC malam itu menunjukkan kalau keberadaan RG bukan sebagai filsuf maupun ilmuwan sosial melainkan tak lebih pihak yang mewakili kelompok Prabowo bersama Fahri Hamzah dan Mardani Ali Sera, yang dari kubu Joko Widodo diwakili oleh Masinton Pasaribu dan Nusron Wahid.
Apakah filsuf atau Ilmuwan Sosial yang menceburkan diri dalam sengkarut politik seperti yang dilakukan RG merupakan sesuatu yang salah, tentu bisa diperdebatkan. Tapi memilih berdiri di kubu Prabowo adalah hak RG, tidak seorang pun boleh membatasinya.
Sejarah dijejali ilmuwan sosial yang melibatkan diri dalam sengkarut kekuasaan. Ilmuwan yang mendukung rezim diktator Soeharto atau Marcos tak terhitung, bahkan di balik obsesi Adolf Hitler untuk menguasai Eropa dan dunia tegak beberapa ilmuwan dan juga filsuf.
Bedanya ada yang mengaku dengan jujur seperti Buya Syafii Maarif dan banyak pula yang malu-malu seperti RG.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews