Regulasi UMKM Pangkas Biaya Kepatuhan

Jumat, 24 Agustus 2018 | 21:55 WIB
0
672
Regulasi UMKM Pangkas Biaya Kepatuhan

Pemerintah akhirnya merespon keluhan kalangan UMKM soal pajak. Bagi mereka yang baru merintis usaha dengan modal terbatas, dan omzet tak lebih dari Rp 4,8 milyar setahun, tarif pajak yang diterapkan sebelumnya serasa memberatkan.

Untunglah lewat regulasi terbaru UMKM yang mengatur tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, akhirnya tarif PPh Final yang dikenakan UMKM menjadi 0,5% dari sebelumnya 1%.

Penurunan tersebut diharap bisa mendorong pengusaha mikro, kecil, dan menengah berperan serta dalam kegiatan ekonomi formal dan bisa mempermudah dalam melakukan kewajiban perpajakan. Kemudahan yang diberikan akan berimbas pada peningkatan kepatuhan kewajiban perpajakan.

Reformasi birokrasi dalam bidang regulasi yang dilakukan pemerintah ini sejalan dengan upaya banyak negara di dunia untuk mengurangi kompleksitas dan memudahkan aturan bagi kalangan pengusaha yang ingin memulai bisnis. Laporan penelitian Bank Dunia terhadap 190 negara dunia yang dituangkan dalam Doing Bussiness 2018 menyebut salah satu sektor yang mendapatkan perhatian serius untuk dibenahi adalah sektor perpajakan.

Nah, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 tahun 2018, merupakan upaya pemerintah memberikan ruang lebih bagi kalangan UMKM untuk berkembang. Beleid ini diharapkan bisa mendorong kepatuhan perpajakan di kalangan UMKM. Karena salah satu permasalahan pajak di Indonesia adalah masih rendahnya tingkat kepatuhan pembayaran dan pelaporan pajak yang bermuara pada rendahnya rasio pajak di Indonesia.

Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak sendiri menargetkan meningkatkan rasio pajak mencapai 15% pada 2020 nanti. Sementara rasio pajak Indonesia kini masih di bawah level 11%.

Maka regulasi terbaru yang mengatur UMKM ini, sebagai salah satu upaya pemerintah memangkas biaya kepatuhan yang selama ini harus ditanggung para pengusaha kecil untuk mematuhi pajak. Dengan memangkas biaya kepatuhan hingga pada tingkat minimum bahkan nihil, diharapkan kepatuhan perpajakan UMKM akan melonjak.

Apalagi pemerintah kini mulai memberi perhatian ke UMKM untuk bisa menggerakan perekonomian segmen tersebut. Apalagi data Kementerian Koperasi menyebut saat ini ada 59,69 juta unit UMKM dengan rincian usaha mikro 58,9 juta, usaha kecil 716.800, usaha menengah 65.500, dan usaha besar 5.030. Sedangkan kontribusi UMKM terhadap PDB nasional adalah Rp 7.005,95 triliun atau sekitar 62,57% dari total Produk Domestik Bruto (PDB).

Jika ditelaah, ada dua perubahan signifikan terhadap regulasi terbaru UMKM ini. Pertama, tarif pajak PPh Final dari yang sebelumnya 1% menjadi 0,5%. Kedua, pengaturan jangka waktu pengenaan PPh Final untuk pengusaha yang memperoleh peredaran bruto tertentu dengan omzet tak lebih dari Rp 4,8 miliar yang diatur tujuh tahun untuk wajib pajak orang pribadi, empat tahun bagi wajib pajak berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, atau firma, dan tiga tahun untuk wajib pajak perseroan terbatas (PT).

Pengaturan peredaran bruto tertentu di sini mengacu pada usaha. Karena penghasilan yang diperoleh dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas dikecualikan dari aturan ini. Adapun item jasa pekerjaan bebas yang diatur dalam Pasal 2 ayat (4) PP nomor 23 tahun 2018 yaitu terkait profesi seperti: pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, PPAT, dan sejenisnya. Bagaimana halnya dengan yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan atau kesehatan? Ternyata dikecualikan dari aturan ini.

Dalam jangka waktu tujuh, empat, atau tiga tahun bagi kalangan UMKM untuk mengenakan PPh Final atas penghasilan yang diperolehnya tersebut, maka dapat dikatakan biaya kepatuhan yang harus mereka tanggung saat itu sangat kecil bahkan nyaris nihil.

Arti biaya kepatuhan

Jika merujuk pada pendapat seorang pakar ekonomi senior J Scott Moody dari Tax Foundation, biaya kepatuhan adalah sebuah tindakan dasar yang diperlukan untuk mematuhi ketentuan perpajakan, termasuk dalam hal ini adalah biaya pencatatan (pembukuan), biaya pendidikan (pelatihan) pegawai, pengisian formulir, dan pengemasan atau pengiriman (pelaporan pajak).

Menurut Moody dalam sebuah testimoninya pada 2001 di hadapan para anggota komite menyatakan karena untuk mematuhi Undang-Undang Perpajakan merupakan sebuah biaya tetap, maka biaya kepatuhan terbukti lebih memukul kalangan individu yang berpenghasilan rendah dibandingkan mereka yang berpenghasilan tinggi dalam memenuhi kewajiban perpajakan.

Faktanya adalah pada 1996 perusahaan kecil berbentuk badan usaha dengan kepemilikan aset kurang dari US$ 1 juta harus menanggung biaya kepatuhan 27 kali lipat dari persentase asetnya dibandingkan dengan perusahaan berskala besar. Bahkan orang pribadi dengan penghasilan kena pajak kurang dari US$ 50.000 harus membayar hampir 60% biaya kepatuhan atau sebesar US$ 37 miliar dari US$ 65 miliar yang harus ditanggung seluruh Wajib Pajak Orang Pribadi saat itu.

Maka PP nomor 23 tahun 2018 berupaya meminimalisir biaya kepatuhan untuk UMKM. Karena dengan pengenaan PPh Final bagi UMKM maka mereka tidak perlu menyewa seorang akuntan ataupun membeli perangkat lunak aplikasi pembukuan yang mahal untuk menyusun laporan keuangan, yang berarti akan meningkatkan biaya kepatuhan.

Bahkan dengan sistem pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) secara online, maka kalangan UMKM tak memerlukan biaya pengisian formulir, pencetakan, dan pengiriman untuk melaporkan SPT-nya. Dapat dikatakan mereka tidak memerlukan biaya kepatuhan selama pengenaan PPh final tersebut. Masalah yang mungkin timbul adalah bagaimana jika jangka waktu pengenaan PPh final tersebut telah berakhir dan Wajib Pajak harus mulai melakukan pembukuan?

Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak sebagai sebuah lembaga negara yang berfungsi menjalankan kebijakan fiskal perlu memikirkan solusi untuk menjaga keberlangsungan iklim usaha yang kondusif bagi kalangan UMKM. Mungkin dengan pembuatan aplikasi perangkat lunak pembukuan yang sederhana sehingga mereka tetap dapat melakukan pencatatan pembukuan sendiri, bisa sebagai jalan keluar yang menguntungkan kedua belah pihak.

Bagi wajib pajak mereka tidak perlu kuatir suatu saat biaya kepatuhan akan meningkat, dan bagi Ditjen Pajak tax ratio yang ideal akan segera terwujud.

***

Dimuat di Harian Kontan, 21 Agustus 2018