Filsafat Sofistik Rocky Gerung

Kamis, 23 Agustus 2018 | 09:48 WIB
0
1157
Filsafat Sofistik Rocky Gerung

Salah satu bintang acara ILC adalah Rocky Gerung (RG). Orang yang sudah saya kenal namanya sejak masih kuliah di UI. Dia kakak kelas yang jauh sekali, nyaris beda delapan angkatan. Saya baru masuk saja, dia sudah kelar kuliahnya. Saya mengenal dia kalau gak salah sebagai penggiat Sekolah Demokrasi, belakang lembaga ini beralih nama menjadi Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D).

Saya sedikit banyak terpengaruh oleh lembaga ini dalam belajar berdemokrasi, yang semestinya walau tetap bersungguh-sungguh, tetapi tidak emosian dan berkepala dingin. Kadang malah kalau melihat "nasib" dia hari ini, saya pun bisa melihat dia adalah cermin saya juga. Dia lulus kuliah, tapi tak pernah ambil ijazah dan ikut wisuda. Saya tetap mengambil ijazah, tapi juga gak pernah ikut wisuda.

Saya tidak pernah sungguh jadi dosen tetap, tetapi kadang secara ngawur sering dipanggil pak dosen, dan yang paling satir sering dipanggil pak profesor. Dia ini termasuk figur, yang tak pernah tertarik mengambil gelar S2 atau bahkan S3, menganggapnya buat apa? Kalau hanya sekedar prejengan di depan dan di belakang nama.

Tapi akhirnya malas baca buku (apalagi beli), ikut diskusi dan berani saling mendebat. Apalagi kalau hanya untuk sekedar mengerek gensi, cari kekayaan, dan membeli kekuasaan. Suka atau tidak suka, ia sebelumnya termasuk figur "berumah di atas angin", walau akhirnya tetap turun ke bumi dan menjadi seperti hari ini. Dalam hal terakhir ini, saya tidak ikut-ikutan saya tetap berumah di... rumah saya sendiri. Rumah di mana saya bisa jadi diri saya sendiri.

Kenapa akhirnya RG akhirnya seolah jadi "bad enemy", musuh yang buruk terutama bagi pendukung Jokowi?

Ya karena kritik-kritik pedasnya, yang cenderung ngawur bahkan tendensius. Ia dalam hal ini, sebenarnya hanya mengambil satu cabang filsafat yang akhirnya sangat berguna dan dibutuhkan oleh media yang bernama televisi. Filsafat sofistik sebenarnya dekat dengan ilmu logika. Di mana di setiap jurusan yang beraliran sosial atau budaya. Karena tidak banyak diajari ilmu berhitung, gantinya diberikan mata kuliah Dasar-Dasar Ilmu Logika.

Dari jalur inilah kemudian lahir kaum sofis sebagai kelompok yang menggunakan filsafat atau ilmu logika sebagai “alat” pembenaran. Dan sama sekali bukan alat mencari kebenaran.

Buruknya filsafat dan logika digunakan sedemikian rupa sehingga yang jelas-jelas keliru jadi seakan-akan benar dan logis. Cocok bukan dengan gaya sinetron Indonesia dewasa ini, bahkan sangat cocok dengan gerak-gerik atau dalam bahasa ngehek "politik yang dinamis" dewasa ini. Bagaimana mungkin, kita bisa memahami orang-orang yang dulu berada di pihak Jokowi, karena kehilangan jabatan (dan mungkin juga kehormatannya) menyeberang jadi pendukung Prabowo.

Atau sebaliknya, orang-orang yang dulu adalah Ketua Timses Prabowo, tiba-tiba geer sekali mau dijadikan Cawapres Jokowi. Apakah mereka ini orang-orang yang sedang mencari kebenaran? Mereka ini tak lebih pemburu kuasa, jabatan, dan ujungnya adalah harta dan wanita, yang tidak lebih baik dari yang lainnya. Kata-kata manis sok moralis dan jubah agama sajalah yang akan selalu dipakai sebagai pembenaran terhadap berbagai perilaku jungkir baliknya.

Di sisi ini pula lah RG hadir sebagai tokoh antagonis dalam sebuah sinetron-politik bernama ILC. Coba tengok satu saja pernyataan legendarisnya: bahwa "pencipta hoax terbesar adalah pemerintah". Dalam banyak kasus mungkin ia benar, tapi kan harus ketahuan pemerintah yang mana, kapan dan tentang apa. Ia benar, tapi sekaligus salah!

Dan Karni Ilyas, sebagai Presiden ILC, memahami betul bagaimana mengerek atau menjaga rating acaranya tetap tinggi. Harusnya banyak orang meniru dia dan (mungkin juga) PKS, kalau pengen jadi presiden mbok ya bikin saja acara sendiri atau ormas sendiri, lalu gantilah nama posisi Ketua Umum-nya dengan presiden kan beres! Jadi presiden sendiri, diangkat sendiri, dan kalau capek berhenti sendiri.

Karni Ilyas paham betul setelah Profesor Sahetapy mulai membosankan, ia butuh profil orang Menado lain untuk tetap menjaga rating acaranya.

Dan disini dipilihlah RG, yang saya pikir tepat sekali: karena selain lebih muda, ia eye chatching, lebih metropois, dan kekinian. Banyak yang sering lupa, orang Menado adalah salah satu etnis yang paling pemberani, lugas, dan blak-blakan dalam khazanah budaya Indonesia.

Dulu pada masa kolonial, pasukan Belanda (di bawah KNIL) selalu diisi oleh orang-orang Menado sebagai "kelas pasukan" intelektualnya. Mereka cerdas, pemberani dan loyal. Walau setelah Indonesia merdeka, justru mereka jugalah yang menjadi benteng terdepan "memerdekakan Indonesia".

Jangan lupa peran penting pasukan Permesta, yang kemudian justru memberontak karena merasa dikhiananti oleh pemerintah pusat di Jakarta. Coba saja lihat, reaksi keras mereka kalau Indonesia jadi khilafah, provinsi Sulawesi Utara-lah yang akan pertama kali memerdekakan diri.

Dalam konteks inilah, seharusnya kita memahami peran dan posisi RG dalam acara ILC. Ia memang dibutuhkan untuk terus menerus menyerang Jokowi, setiap gerak-geriknya, semua kebijakannya, semua hal yang bisa dikomentari. Dan karena, Jokowi tampak kalem-kalem saja, RG harus melakukan gempuran dengan cara-cara yang menurut kita absurd, kasar, dan tak masuk akal.

Coba periksa satu persatu adakah satu saja, tokoh "pembenci Jokowi garis depan" yang bisa bersikap logis, tenang, dan memberi pencerahan. Sejauh ini tak ada!

Sebenarnya kuncinya sederhana, kalau tidak suka ILC, RG, dan KI ya kita tidak perlu nonton. Dan itu yang saya lakukan sejauh ini. Hal yang lebih absurd adalah sudah tahu ILC itu bikin jengkel, tapi kita tetap menantikannya muncul di malam Selasa. Lalu seperti paduan suara, ramai-ramai mengecam dan memaki-makinya. Inilah industri massa dalam masyarakat yang serba instan, yang selalu kepo hanya untuk sekedar tahu, lalu kompak marah-marah sebagai reaksinya.

RG saya pikir sedang memainkan peran antagonisnya: bagian terbaiknya mungkin ia sedang menjaga Jokowi agar tetap berjalan lurus, terus menjaga jalan baiknya, agar tidak berbelok-belok. Sejauh ini, walau saya tak pernah menontonnya langsung, ia berhasil. Ia hanya dikasih peran untuk membuat semuanya jadi berimbang, jika Jokowi baik, maka dia pemeran jahatnya. Jangan lupa, sahabat terbaik adalah musuh kita yang paling bersikap keras terhadap perilaku kita. Sesederhana itu...

Tentang para pemirsanya yang akhirnya terprovokasi, bukankah memang demikian watak penonton tayangan gratis yang mudah baperan. Baper berharap berlebih bahwa ILC bisa menjadi alternatif pendidikan politik. Lupa itu hanya sinetron sitkom dengan balutan isu-isu politik....

***