Dukung Jokowi Tanpa Jadi Cebong, Dukung Prabowo Tanpa Jadi Kampret

Rabu, 22 Agustus 2018 | 16:17 WIB
0
695
Dukung Jokowi Tanpa Jadi Cebong, Dukung Prabowo Tanpa Jadi Kampret

Saya tidak ingat kapan tepatnya fabel politik cebong-kampret bermula. Mungkin medio 2015 atau paruh terakhir tahun itu. Pengertiannya pun tidak definitif. Umumnya, Cebong diasosiakan kepada pendukung Presiden Jokowi, pemenang kontestasi pilpres 2014 dan capres 2019. Sedangkan Kampret ditujukan kepada pendukung Prabowo, capres 2014 dan 2019. Intinya, dikotomi Cebong-Kampret merujuk kepada pendukung dua sosok itu, dengan posisi yang diametral.

Kedua istilah ini digunakan secara pejorative oleh masing-masing kutub. Pendukung Prabowo menyebut pendukung Jokowi sebagai Cebong atau Cebongers (plural). Sebaliknya, pendukung Jokowi menyebut pendukung Prabowo dengan sebutan Kampret atau Kampreters (plural).

Di antara kedua kutub itu, hanya pendukung Jokowi yang secara terbuka menerima sebutan Cebong bagi dirinya. Bahkan sebagian di antara mereka dengan bangga mengidentifikasi diri sebagai Cebong. Pendukung Prabowo belum ada penulis temui yang rela disebut Kampret, apalagi mengakui diri sebagai Kampret.

Medan laga Cebong dan Kampret tak lain adalah dunia maya. Cebong mendiskreditkan Prabowo, dan Kampret melakukan sebaliknya. Begitu seterusnya berlangsung selama bertahun-tahun. Lebih-lebih kedua sosok ini akan bertanding untuk kedua kalinya tahun depan, sehingga seakan menjadi nyawa tambahan bagi eksistensi Cebong dan Kampret.

Pembelahan ini diperparah dengan post-truth yang diidap kedua kelompok. Konten yang kerap mereka bagikan tak mengindahkan prinsip kebenaran dan etika, yang penting sesuai dengan selera, konten sampah hingga fitnah pun diembat lalu dibagikan dengan jumawa. Konten-konten tersebut biasanya dikemas dalam bentuk meme, broadcast anonim, atau video yang dipotong tipis-tipis.

Perilaku ini seakan melekat kepada dua spesies beda alam itu. Sehingga sukar membedakan mana di antara keduanya yang masih manusia [dengan akal sehat, sebagaimana fitrahnya].

Pembelahan yang mengacu kepada sosok dukungan ini jelas bermasalah. Sebab faktanya tak sedikit pendukung kedua capres yang masih menggunakan akal sehat dalam meng-endorse dukungannya, atau mengkritik capres yang tidak didukungnya, secara baik-baik: by data.

Saran terbaik memang menghilangkan sama sekali istilah itu, karena terbukti menimbulkan perpecahan. Beberapa tokoh sudah mengimbau untuk meninggalkan sebutan tersebut. Namun apalah daya, Banyak orang bebal di internet. Imbauan tokoh hanya direken ketika (lagi-lagi) sesuai selera.

Oleh sebab itu, yang dapat kita lakukan adalah mempersempit pengertian Cebong dan Kampret berdasarkan ciri-ciri umumnya. Menariknya, meski keduanya berjarak seperti langit dan bumi, akan tetapi ada kesamaan yang menjadikan mereka seperti kembar identik. Ciri-ciri umum itu ialah sebagai berikut:

1. Membuat dan atau menyebarkan konten media sosial (meme, video, Screenshot berita misleading, opini sesat) yang bersifat ejekan, hinaan, hingga fitnah kepada capres yang tak didukung.

2. Mudah mengutuk, merundung dan berkata kasar ditujukan kepada capres yang tidak didukung dan atau kepada pendukungnya. Singkatnya, tidak beradab.

3. Senang berdebat tentang apa yang dianggapnya kejelekan atau kelemahan capres yang tidak didukungnya, tanpa berdasarkan data yang memadai.

4. Senang nimbrung di kolom komentar orang lain dengan konten pada poin 1, tanpa caption yang jelas. Seringkali tidak berkorelasi dengan thread.

Jika ciri-ciri di atas kita sepakati, maka sebutan Cebong dan Kampret akan dengan sendirinya berada pada strata terbawah, sejajar dengan bot dan akun klonengan (baca: kloningan/cloning/akun yang dibuat untuk tujuan membuat ricuh situasi).

Agar kita menjadi pendukung-capres yang bermartabat, mulailah dengan menghindari keempat ciri di atas, sehingga membebaskan diri kita dari dikotomi Cebong-Kampret.

Sebagai pendukung yang bermartabat, kita tahu bahwa hak politik dan hak menyampaikan pendapat dilindungi oleh undang-undang. Di saat yang sama, kita juga sadar bahwa penyampaian pendapat maupun kritik dibatasi oleh etika. Dengan memperhatikan hal ini, pilpres maupun pil- yang lain akan menemukan maknanya yang sejati sebagai pesta demokrasi.

Insya Allah.

***