Imam Ali mengajarkan sebuah doa, "Ya Allah. Jangan jadikan kesabaranku sebagai alasanku untuk menjadi seorang pengecut..."
Ingat kampanye Pilkada Jakarta kemarin?
Kita ingat, hari itu adalah jadwal kampanye Ahok. Pria itu lebih memilih blusukan meninjau fasilitas orang-orang miskin di Jakarta. Dia ingin bertemu dengan rakyat. Mendengar langsung keluhan mereka. Selama ini memang dia mendengar langsung keluhan rakyat di Balai Kota. Tapi ini adalah hari kampanye, dan Ahok ingin bertemu langsung dengan rakyat di tempat mereka tinggal.
UU melindungi seorang Cagub berkampanye di hari yang ditentukan. UU juga menyatakan siapa saja yang menghalangi kampanye adalah melanggar hukum.
Apa yang terjadi? Segerombolan orang menghadang kampanye tersebut. Mereka mengancam Ahok. Mereka menudingnya. Padahal mereka bukan warga dari lokasi tempat kampanye berlangsung. Mereka didatangkan dari jauh, sengaja melakukan penghadangan.
Ahok mengalah. Mengalah pada pelanggar hukum itu.
Bukan hanya itu. Beberapa relawan yang juga melakukan kampanye di berbagai daerah dipersekusi. Ibu-ibu relawan yang menggenakan seragam kotak-kotak diperlakukan dengan buruk.
UU juga melarang masjid dijadikan sarana kampanye. Tapi di mesjid-mesjid mereka menggunakan sebagai sarana agitasi. Beberapa masjid terang-terangan memasang spanduk menolak sholat jenazah para pendukung Ahok. Mereka bukan saja melanggar UU, tetapi juga menjadikan masjid untuk melanggar hukum agama yang memerintahkan menyolati jenazah.
Semua pelanggaran itu dilakukan dengan terang-terangan. Dilakukan dengan terbuka. Mereka menebar ketakutan.
Saat pencoblosan dibuat tamasya Al Maidah. Apa tujuannya? Untuk menakut-nakuti orang yang mau memberikan suaranya saat hari pencoblosan. Warga takut dengan preman berjubah agama yang merampas hak orang lain secara terang-terangan. Melanggar hukum secara terbuka. Menantang aparat dengan bertindak semena-mena.
Waktu itu terjadi demoralisasi terhjadap para pendukung Ahok. Mereka dipersekusi. Di halangani saat kampanye. Ditudinjg dengan sapaan-sapaan buruk.
Orang-orang yang mengedepankan akal sehatnya, memilih diam. Mundur dan enggan berurusan dengan preman berjubah itu. Padahal para preman berjubah itu terang-teranganh melanggar hukum. Terang-terangan menjadikan masjid sebagai sarana kampanye.
Bayangkan, kita takut dengan para pelanggar hukum itu, hanya karena mereka lebih beringas?
Lalu apa hasilnya? Jakarta kini punya dua ondel-ondel yang memakaikan cadar pada kali item.
Tampaknya strategi premanisme, menebar ketakutan, dan persekusi bakal dimainkan lagi saat Pilpres nanti. Mereka yang hobi menyeret-nyeret agama dalam politik akan petantang-petenteng lagi untuk menggolkan agenda politiknya.
Mungkin juga mereka akan meneriakkan lagi soal isu PKI, yang sudah basi tapi sering diulang-ulang seperti kaset kusut. Mereka akan meneriakkan soal aseng, asing, padahal ketika Indonesia berhasil mengambil saham Freeport, kelompok merekalah yang ikut menghalangi.
Kita sudah belajar itu. Kita sudah belajar bagaimana mereka menggunakan strategi yang hasilnya malah merusak Jakarta. Bagaimana cara mereka menebar ketakutan dan persekusi untuk berkuasa. Bagaimana pada Pilkada Jakarta bendera dan seruan orang yang mau mengubah dasar negara kita bisa bebas diteriakkan.
Dengarlah apa yang disampaikan Jokowi di depan para relawan kemarin. "Jangan bangun permusuhan, jangan membangun ujaran kebencian, jangan membangun fitnah fitnah, tidak usah suka mencela, tidak usah suka menjelekkan orang. Tapi, kalau diajak berantem juga berani."
Iya, benar. Jangan mau lagi ditakut-takuti dan dipersekusi oleh para penebar ketakutan itu. Jangan lagi berlindung di balik akal sehat untuk mendiamkan segala kelakuan mereka yang menyebalkan. Jangan biarkan mereka menggunakan jargon agama untuk mengancam. Hadapi.
Jokowi mengajarkan kita untuk berani. Berani memperjuangkan hak kita. Memperjuangkan aspirasi kita sendiri. Sama seperti dia mengajarkan Gibran dan Kaesang untuk berani berdiri di kakinya sendiri. Hidup dengan keringatnya sendiri.
Sementara ada orang yang kebakabaran celana dalam mendengar pidato Jokowi tentang keberanian itu. Mereka adalah para pengusung Capres bekas menantu Soeharto. Capres yang karirnya di waktu muda diraih dengan bantuan posisinya sebagai keluarga Cendana.
Mereka juga pendukung Cawapres yang sampai sekarang hidup di ketiak bapaknya. Cawapres yang ketakutan karirnya di dunia militer tidak lagi cemerlang, sebab kekuasaan bapaknya sudah berakhir. Cawapres rasa Karedok, karena bau kencur.
Mereka mencela nasihat keberanian dari Jokowi. Sebab mereka memang mengusung pemimpin, yang bahkan dari mudanya menampilkan diri sebagai pengecut. Tidak berani berdiri di kakinya sendiri. Pemimpin yang besar dari kekuasaan mertua dan kursi empuk bapaknya.
Atau pemimpin yang saking tidak punya prestasinya, selalu menyeret-nyeret nama Tuhan dalam kampanye...
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews