Madura In Memory (8): Suramadu Nyambung Sampai Pantura Madura

Kamis, 2 Agustus 2018 | 06:34 WIB
0
953
Madura In Memory (8): Suramadu Nyambung Sampai Pantura Madura

Pembentukan Badan Pengembangan Wilayah Suramadu (BPWS) merupakan suatu upaya untuk mempercepat pengembangan wilayah Suramadu. Wilayah Surabaya-Madura ini meliputi Kota Surabaya dan 4 kabupaten di Madura: Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep.

BPWS dibentuk melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 27 Tahun 2008 tentang BPWS yang terakhir disempurnakan dengan Perpres Nomor 23 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 27 Tahun 2008 tentang BPWS.

Dengan adanya percepatan pengembangan wilayah Suramadu diharapkan ketidakseimbangan antara wilayah Surabaya dengan Madura dapat diatasi dan pengembangan potensi unggulan Madura bisa dikembangankan secara optimal.

Sehingga, pertumbuhjan ekonomi di Madura dapat tumbuh berkembang lebih cepat. Percepatan pengembangan wilayah Suramadu bisa diwujudkan melalui pengembangan klaster/kawasan yang telah berkembang maupun prospektif berkembang melalui perkembangan sektor-sektor strategis.

Perkembangan sektor strategis melalui keterkaitan ke depan dan ke belakang dapat mendorong pertumbuhan produksi secara keseluruhan. Ini bisa diwujudkan melalui sinergitas pengembangan infrastruktur dan SDM dengan pengembangan kawasan serta memperhatikan sosial budayanya.

Madura adalah nama sebuah pulau yang terletak di sebelah timur Jatim yang dipisahkan dari Jawa oleh Selat Madura. Secara administratif, pulau itu termasuk bagian dari Jatim. Walaupun secara geografis sangat berdekatan dengan Jawa, tapi nasib Madura kurang beruntung.

Karena secara ekonomi, pulau ini tertingal sangat jauh dibadingkan pulau Jawa yang dipisahkan sebuah selat kecil yang jaraknya hanya sekitar 5 km saja. Kondisi alam Madura termasuk minus, sehingga menjadikan revolusi hijau dan revolusi biru yang terjadi di Jawa tak ada di Madura.

Melalui Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1990 pada 14 Desember 1990, Pemerintah telah memutuskan membangun Jembatan Suramadu dengan tujuan untuk meningkatkan perekonomian Madura pada khususnya dan Jatim pada umumnya dengan cara memperlancar arus transportasi dari Surabaya ke Madura.

Dengan ditetapkannya Keppres itu bisa diatasi salah satu kendala kegiatan, yaitu aksebilitas dan sekaligus bisa merealisasikan posisi geografis Madura yang kedudukannya berdekatan dengan Surabaya yang merupakan salah satu potensi Madura untuk mengembangkan perekonomiannya.

Menurut Keppres itu, supaya diperoleh nilai ekonomis, maka pembangunan jembatan Suramadu sekaligus dimaksudkan sebagai sarana untuk memacu perluasan kawasan industri dan perumahan di Surabaya dan Madura.

Pembangunan ketiga proyek itu diharapkan bisa mendorong kegiatan sosial ekonomi di Madura yang sampai sekarang ini masih dirasakan belum banyak tersentuh oleh dinamika pembangunan, selain akan menampung perkembangan sosial ekonomi di Surabaya yang semakin padat.

Dengan demikian, kegiatan ekonomi masyarakat yang dititik-beratkan pada bidang agraris ekstraktif, yang tidak banyak menjanjikan perkembangan dan pertumbuhan ekonomi serta kesejahteraan masyarakat yang disebabkan kondisi SDA dan prasarana sarana yang tidak mendukung.

Sehingga, dengan melalui proses industrialisasi diharapkan akan memacu perkembangan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat Madura dan mampu menampung pengalihan pemanfaatkan sumber daya produktif setempat dari sektor kegiatan ekonomi yang kurang atau tidak produktif.

[caption id="attachment_20124" align="alignleft" width="597"] Jembatan Suramadu akan sampai ke Pantura Bangkalan. (Foto: BPWS.go.id)[/caption]

Ide pembangunan Jembatan Suramadu sebenarnya telah dilontarkan pada 1950 saat Pak Noer (Mohammad Noer) masih menjabat Patih di Bangkalan, tetapi ide itu belum bisa direalisasikan karena terbentur masalah dana. Namun dengan dikeluarkannya Keppres Nomor 55 Tahun 1990, ide Pak Noer yang sempat tersimpan selama 40 tahun lamanya segera terealisasi.

Yang istimewa dengan Keppres tersebut, selain Pak Noer sebagai anggota Tim Pengarah yang diketuai Menristek/Ketua BPPT B.J. Habibie, juga mengangkat Pak Noer sebagai koordinator proyek.

Kemudian dengan Keputusan Menristek/Ketua BPPT Nomor 283/M/BPPT/VI/1991 PT Dhipa Madura Perdana (DMP) ditetapkan sebagai pelaksana proyek pembangunan jembatan Suramadu dan pengembangan kasawan industri dan kawasan perumahan.

Sebagai pelaksana proyek, PT DMP yang didirikan Pak Noer pada 3 Mei 1989 bersama William Soerjadjaja dan Edward Soerjadjaja (Summa Group) menyarankan kepada Pemda Bangkalan untuk segera menyiapkan tata ruang Bangkalan.

Kawasan industri yang akan dibangun di Madura dibagi menjadi dua tahap. Pertama, meliputi 15 ribu ha di bagian selatan Bangkalan di sekitar ujung jembatan sisi Madura, untuk clean industry, yaitu industri elektronik yang non polutif.

Tahap kedua, di bagian utara Bangkalan seluas 8 ribu ha untuk heavy industry, di sini juga akan dibangun pelabuhan samudera. Untuk merealisakan pembangunan jembatan dengan bentangan sekitar 5,6 km beserta kawasan industrinya.

Menurut Ketua Umum Forum Komunikasi Cendekiawan Madura (FKCM) Harun Al Rasyid, diperkirakan investasinya sekitar Rp 5 triliun (pada 2000), dihadapkan persoalan yang cukup dilematis, karena adanya perbedaan pandangan tentang kebijakan kawasan industri di Madura.

Semula masyarakat Madura mengira Jembatan Suramadu akan dibangun semata-mata untuk memperlancar arus transportasi. Tapi, melalui Keppres 55 Tahun 1990 pemerintah menetapkan bahwa pembangunan Jembatan Suramadu dan kawasan industri dijadikan satu paket.

Artinya, tanpa industrialisasi tidak ada jembatan,” ujar Harun Al Rasyid kepada Pepnews.com Keputusan pemerintah ini didasarkan pada perhitungan ekonomi. Investor yang akan membangun jembatan itu tentu keberatan bila modalnya tidak segera kembali.

Salah satu alternatif yang dapat ditempuh adalah membangun kawasan industri di daerah sekitar jembatan itu. Keuntungan diperoleh karena dengan adanya industri tersebut tentu lebih cepat dan lebih besar daripada hanya mengharapkan keuntungan dan pajak penggunaan jembatan.

Ada beberapa pandangan yang mendasar dalam konteks ini. Antara lain, sebagian ulama Madura yang ada di NU Bangkalan dan Badan Silaturahmi Ulama Madura (Basra) merasa keberatan atas rencana ini.

Menurut mereka, masyarakat Madura sangat mengharapkan dibangunnya Jembatan Suramadu namun bila pembangunannya tanpa industrialisasi, harus dipertanyakan industrialisasi yang bagaimana yang pantas untuk Madura, tidak seperti orang membeli kucing dalam karung.

Para ulama itu mengingatkan, Madura sebagai sebuah daerah yang masyarakatnya sangat kental dengan tradisi Islam (tradisional). Bila industri yang masuk ke Madura sama saja dengan daerah lain, ulama Madura khawatir kebudayaan baru itu akan merusak budaya Islam di daerah ini.

“Sebagai penjaga dan pelestari budaya Madura, ulama Madura merasa bertanggung-jawab atas kelangsungan Islam di bumi Madura,” tegas Harun Al Rasyid yang terlibat langsung bersama Pak Noer saat itu.

Ia yang dikenal dekat dengan ulama dan pondok pesantren di Madura, tentu tak bisa tinggal diam melihat adanya kekhawatiran sebagian ulama ini bila industri jadi masuk ke Madura. Bersama Pak Noer, Harun Al Rasyid berusaha masuk ke ponpes yang diasuh para ulama ternama.

Urusan dengan ulama pun beres. Ternyata realisasi pembangunan Jembatan Suramadu tak juga terwujud. Pak Noer pernah berjanji akan merenangi Selat Madura jika jembatan tidak kunjung dibangun.

Ide ini pun diwujudkan oleh Presiden RI Megawati Soekarnoputri dengan Keppres RI Nomor 79 Tahun 2003 tentang Pembangunan Jembatan Suramadu. Megawati menancapkan tiang pancang pada 20 Agustus 2003. Jembatan sepanjang 5,4 km itu diresmikan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada 10 Juni 2009.

Sebelumnya, Pak Noer bercerita tentang rencana pembangunan jembatan Suramadu, yang pernah disampaikannnya kepada Gubernur Jatim dan para Bupati. Ia melihat ada dua soal: (1) Pelaksana pembangunan harus ditender secara internasional dan terbuka.

(2) Kalau jembatan Suramadu sudah selesai, nanti akan dibuat jalan tol. Di Madura akan ada kawasan industri dan bandar udara yang sudah tentu memerlukan tenaga-tenaga terdidik. Ia ingin melihat kekayaan Indonesia diimbangi oleh SDM yang berkemampuan, lewat pendidikan.

Sehingga, SDA tidak dikeruk orang asing, tapi tenaga sendiri. Pak Noer ingin pembangunan tak hanya bertumpu di darat, tetapi laut juga harus diutamakan. Berapa ton ikan, dan berapa triliun rupiah yang dikeruk orang lain dari laut Indonesia. Pokoknya, “Negara kita kaya raya,” kata Pak Noer yang selalu optimis.

Menurut Harun Al Rasyid, yang disampaikan Pak Noer saat itu sejalan dengan Poros Maritim yang disampaikan Presiden Joko Widodo. “Dari Tiga Poros Maritim yang ada di Indonesia, salah satunya ada di wilayah perairan Madura,” ungkapnya.

Karena itu pengembangan pelabuhan sangat dibutuhkan dalam rangka pergerakan arus komoditi. Salah satunya yaitu mengembangkan Pelabuhan Internasional, dari Tanjung Perak di Surabaya, dalam satu sistem dengan rencana pengembangan pelabuhan di wilayah antara Teluk Lamong sampai Kabupaten Gresik.

Untuk jangka panjang diarahkan ke Pelabuhan Tanjung Bulupandan di pantai utara Bangkalan. Pengembangan Pelabuhan Tanjung Bulupandan direncanakan memiliki kapasistas 2 juta Teus pertahun, dengan kedalaman kapal mencapai 16-18 m atau kapal generasi ketiga, yang mampu melayani kapal dan kargo petikemas dengan kapasistas mencapai 2.000-3.000 Teus.

Pembangunan Pelabuhan Tanjung Bulupandan diharapkan sinergi dengan rencana pembangunan Bandara Antar Benua di wilayah utara Bangkalan. “Ingat, Bandara Juanda itu termasuk dalam Koordinat Militer (TNI-AL),” tegas Harun Al Rasyid.

Dulu, lanjut Harun Al Rasyid, hal ini juga masuk dalam perencanaan pengembangan Bandara Juanda yang sudah tidak mungkin lagi untuk tetap bisa melayani penerbangan sipil. Juanda ini termasuk Koordinat Militer, seperti Bandara Adi Sutjipto (TNI-AU).

Adi Sutjipto di Jogjakarta dan Husein Sasranegara di Bandung bermetamorfosa di tempat lain menjadi bandara komersial Kulon Progo dan Sekarjati di Majalengka

***