Risma dan Anies dalam Berebut Ruang Debat Publik

Rabu, 1 Agustus 2018 | 10:52 WIB
0
736
Risma dan Anies dalam Berebut Ruang Debat Publik

Pertarungan-pertarungan debat publik saat ini sebenarnya kepanjangan dari pertarungan debat publik di dunia milis pada era 2001-2008.

Seluruh perdebatan politik tak lepas dari pertarungan di milis-milis pada jaman itu, bahkan dulu Prabowo juga pelaku aktif dalam diskusi publik. Prabowo yang anaknya Pak Cum itu dan notabene Pak Cum adalah lawan politik Sukarno, namun Prabowo terkesan tergila gila dengan ide Sukarno, ia selalu menggambarkan Sukarno di tahun 1932 di mana irama narasi "Indonesia Menggugat" sebagai identitas kebangkitan politik dirinya.

Kalau kita perhatikan dengan saksama, para pelaku debat media sosial pada era 2001-2008 semuanya masih sama, profilling baik karakter dan jenis lawan debat, hanya Buni Yani bisa dikatakan pemain baru dalam debat publik. Dalam menganalisa para petarung komunikator debat publik, kita harus membuka catatan catatan pertarungan itu dan sampai sekarang setelah dianalisa, hasilnya masih konsisten siapa lawan dan siapa kawan.

Jokowi dan Ahok sendiri adalah bagian dari produk debat publik itu, beda misalnya dengan Djarot yang membangun dirinya sendiri lewat kerja kerja politik kepartaian sehingga terasing dalam debat publik.

Anies Baswedan sendiri berusaha menjadi bagian debat publik, namun dia sebenarnya tidak otentik dan narasi tentang dirinya ambigu. Beda dengan Jokowi dan Ahok yang punya reputasi otensitas dalam membangun dirinya dalam struktur pondasi debat publik.

Anies adalah bagian terasing dalam debat publik dan tidak memiliki kesejarahan dalam diskusi publik, wilayah Anies justru wilayah formal. Dia membangun dirinya bukan dari sisi emosional massa, tapi dari prestasi prestasi akademik, sejak muda Anies pemburu reputasi akademis, wilayah pergaulan Anies adalah wilayah mereka yang duduk dengan etika akademis dengan deretan gelar, bukan mereka yang tumbuh dalam pergulatan hidup keseharian dengan cara bicara sederhana macam Ahok dan Jokowi.

Inilah kenapa Anies kerap di-bully, terjebak pada bahasa bahasa langit dan ia tak paham bahasa lumpur dalam politik .

Nah, ketika Anies mau coba coba tiru Jokowi berfoto depan gerobak sampah, ngangkat air comberan penuh kotoran dengan tangan kosong, melukis dengan sarung tangan atau sok melintas di Pelican Crossing sambil membayangkan dirinya adalah John Lennon yang melintas di Abbey Road, menjadi semacam Don Kisot (Quixote) di depan kincir angin, sebuah gambar yang tak memenuhi efek sentuhannya.

Anies terlempar dari substansinya, ia berusaha memasuki alam publik yang penuh perdebatan, tapi ia gagal menjadi monumen aksara yang hidup di tengah perdebatan itu. Bila strategi memasuki hiruk pikuk debat publik terus dan Anies goyang dangdut di sana, maka dipastikan Anies akan tergerus elektabilitasnya.

Di luar Anies yang perlu diperhatikan adalah Tri Rismaharini alias Risma, Walikota Surabaya yang sudah sangat responsif dalam debat debat publik. Risma yang Sarjana Manajemen Wilayah Tata Kota sudah menyadari betapa pentingnya kemajuan kota yang dibinanya masuk ke dalam "City Branding and Identity".

Di sini Risma mampu mengelola emosional publik dengan prestasinya bahkan Surabaya pelan pelan memiliki ikon yang tertanam di kepala alam bawah sadar publik, seperti kota Amsterdam dengan julukan I-am Sterdam. Rasa bersatunya kota dengan semangat memiliki warga kota dan kebanggaannya. Kalau bahasa ningrat Yogya-nya "Melu Handarbeni", di sini warga Kota Surabaya terus menerus merasa bangga dengan Risma dan tak pelak menjadikan Risma sebagai pembanding kinerja Anies yang luar biasa payah itu.

Risma menjadi bayang bayang Anies, dia menjadi bagian tak terpisahkan nuansa Branding yang otentik seperti era kebangkitan Jokowi pada awal tahun 2012.

Sangat mudah menceritakan Risma tentang pembangunan kota dan narasi substansinya, sama mudahnya ketika Jokowi berhasil menceritakan bagaimana Pasar Nongko, Solo menjadi sebuah Pasar yang tertib, bagaimana ratusan pedagang klithikan berbaris di boulevard Slamet Riyadi menuju Kampung Semanggi, bagaimana Taman Pluit dipercantik dan menjadi titik nol mengubah tatanan kota, nah disinilah Risma seperti sudah seperti garis lurus sejarah Jokowi. Dan Anies yang mencoba menjadi 'Jokowi Wannabe' dalam ruang diskusi publik sudah gagal total.

Komunikasi politik adalah sesuatu yang hidup, ia bisa tercipta dalam aura jaman, seperti ketika Bung Karno aktif menulis di artikel artikel koran di masa Hindia Belanda dengan nama samaran Bima. Seperti ketika Churchill dengan efektif memanfaatkan radio untuk mengimbangin logika logika miring Hitler, seraya menyatakan "Orang Inggris tak takut mati atas kegilaan Fuhrer". Seperti juga JF Kennedy yang mengarahkan tim riasnya dan angle kamera TV ditengah wajah kuyu Richard Nixon.

Atau seperti Pak Harto dengan efektif menjadikan Kementerian Penerangan sebagai lembaga intelijen paling kuat mengalahkan lembaga intelijen resmi yang dibangun sejak era Bandrio. Atau ketika Bu Mega berhadapan dengan Suharto lewat dua panggung: Truk-truk dipenuhi rakyat yang melawan Lurah dan Babinsa, dan pidato pidato lapangan yang membuat orang orang berlarian mengerumuni Megawati dan siap bertarung di jalan jalan.

Bahkan seperti SBY yang menggunakan koran koran daerah sebagai pemicu dirinya dizalimi oleh Taufik Kiemas lantas menjadi pondasi politik "Mengeluh adalah Kemenangan Politik" atau seperti Jokowi yang membangun dirinya dengan Kaskus.

Tiap jaman punya lansekap, namun siapa yang bisa merebut wilayah komunikasi dan menghegemoni-nya dialah pemenang politik sesunggunya.

***

Anton DH Nugrahanto