Rizieq Shihab dan Gagasan Koalisi Keumatan

Selasa, 31 Juli 2018 | 15:50 WIB
0
388
Rizieq Shihab dan Gagasan Koalisi Keumatan

Namanya menjelma menjadi seorang tokoh yang diagungkan, paling tidak oleh mereka yang mengagungkannya, yaitu Imam Besar. Dia adalah Rizieq Shihab. Sebutan "Habib" di depan namanya kerap disematkan juga.

Yang keren itu adalah sebutan atau nomenklatur "Imam Besar". Keren dan unik tepatnya, sebab aliran Syiah kerap dianggap "sesat" di negeri Pancasila ini. Tetapi tahukah Anda bahwa sebenarnya istilah Imam Besar tidak ada dalam aliran Sunni, yang ada di Syiah, yaitu konsep Imamah. Jadi, mau Imam Besar-nya, tolak Syiah-nya.

Sebenarnya di Indonesia ada juga sebutan Imam Besar, yaitu Imam Besar masjid Istiqlal Nazarudin Umar, di mana keilmuhannya tidak usah diragukan lagi.

Kembali ke sosok Imam Besar Rizieq Shihab, ia menjadi tokoh atau panutan dalam politik keagamaan. Setiap fatwa atau pernyataannnya akan menjadi pertimbangan atau rujukan.

Sekalipun Rizieq Shihab menepi di Arab Saudi tetapi tidak menghalangi bagi para politikus di negeri ini yang ingin bertemu dan meminta wejangan atau petunjuk darinya.

Imam Besar Rizieq Shihab menjadi rujukan bagi politikus yang ingin mengundi nasib baik dalam pilkada serentak atau dalam pilpres.

Sudah banyak tokoh-tokoh politik yang berkunjung ke Arab Saudi dan menemui Imam Besar Rizieq Shihab sekedar ingin meminta restu atau dukungan politik untuk maju dalam pilkada dan pilpres.

Bahkan keputusan Ijtima Ulama juga atas saran dan fatwa dari Imam Besar Rizieq Shihab, sekalipun melalui teleconference, tak menghalangi sang Imam Besar untuk memberi petunjuk atau saran dalam pilpres 2019.

Ini juga agak menarik, dulu ada istilah pengawal fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) karena pada pilkada DKI kemarin satu tujuan mereka membuat istilah mengawal fatwa MUI. Tetapi seiring berjalannya waktu ada fatwa-fatwa MUI yang tidak dikawal oleh mereka. Katanya pengawal fatwa MUI? Yaa... karena hanya untuk politik praktis.

Dan akhirnya mereke memisahkan diri dengan tanpa embel-embel MUI. Mereka membuat istilah baru Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) dan Ulama-ulamanya juga dari kelompok mereka sendiri.

Sebenarnya legitimasi keilmuhan dan kreteria Ulama mereka sangat diragukan, tapi itu tidak menjadi soal, toh ini fatwa-fatwa politik dan dukung mendukung untuk kepentingan politik.

Karena kalau ingin laku dalam bisnis/dagang atau politik, bungkuslah atau kemaslah dalam kemasan atau bungkusan agama, niscaya akan laku keras atau laris manis tanjung kimpul... dagangan habis duit kumpul, ga peduli otak ngebul hati tumpul.

Bahkan tokoh politik yang ingin maju dalam pilpres tetapi belum pernah sowan ke Imam Besar Rizieq Shihab,mustahil akan mendapat rekomendasi atau dukungan politik dari sang Imam Besar.

Makanya yang mendapat rekomendasi dari Imam Besar hanya dua tokoh, yaitu Salim Segar Aljufri dan Abdul Somad. Prabowo juga pernah sowan ke Mekkah. Maka dua tokoh ini direkomendasikan untuk menjadi cawapres Prabowo. SBY dan AHY yang ga sempat sowan ke sana, mana bisa disebut.

Bahkan kalau rekomendasi Imam Besar atau Ijtima Ulama ini tidak dipatuhi atau dijalankan, maka partai itu termasuk partai munafik, ga peduli partai yang oleh Amien Rais dimasukkan sebagai Partai Allah.

Apakah rekomendasi Ijtima Ulama atau saran Imam Besar akan dipatuhi? Sepertinya tidak akan dipatuhi atau dijalankan. Naga-naganya sudah terlihat.

Prabowo sendiri tentu akan mengonsultasikan terlebih dahulu dengan ormas terbesar negeri ini yaitu NU dan Muhammadiyah, setidaknya NU dan Muhammadiyah akan menjadi "bamper" untuk menolak rekomendasi Ijtima Ulama dan saran sang Imam Besar. Prabowo pinter dong, dia pinjem badan yang buesarrr untuk digebukin Rizieq Shihab.

Bagi para politikus yang ingin mengundi nasib dalam pilpres lebih baik sowan ke Imam Besar Rizieq Shihab terlebih dahulu. Siapa tahu akan terpilih menjadi presiden.

Kepentingan Rizieq Shihab jelas, menjadikan siapapun yang bukan Jokowi sebagai Presiden. Sepanjang Jokowi berkuasa, sepanjang itulah pelariannya akan tetap dilakukan. Menanam investasi dari Mekkah lewat teleconferene adalah cara pintar dan mudah seorang Rizieq Shihab. Tapi, apa iya rela Prabowo berada di bawah subordinat pendiri FPI ini.

Nah untuk kasus ini kesaradaran dan instinct politik SBY jauh lebih berfungsi. Ia tidak hadir di Ijtima Ulama itu karena perhitungannya lebih matang.

Bukan berarti instinct politik Prabowo tidak berfungsi. Dalam kegalauannya akibat tekanan PKS yang memaksakan cawapresnya, ia hanya ingin mengakomodir banyak orang, apalagi orang itu berpengaruh seperti Rizieq Shihab. Tetapi 'kan Prabowo juga punya kalkulator politik yang bisa dia utak-atik sekembalinya dia dari Ijtima Ulama.

Hasilnya sudah diketahui bersama, Prabowo merapat kembali ke SBY, kemungkinan membentuk poros kebangsaan, meninggalkan poros keumatan yang digagas Rizieq Shihab.

***