Sejuta Cerita tentang Jakarta Terselip Malu Tak Terkata

Jumat, 27 Juli 2018 | 21:41 WIB
0
783
Sejuta Cerita tentang Jakarta Terselip Malu Tak Terkata

Status Penulis adalah pendatang di Jakarta. Sudah hampir 20 tahun tinggal dan bermukim. Dari rentang waktu itu ada sejuta cerita tentang Jakarta.

Cerita tentang kemacetan sudah biasa didengar ribuan kali, cerita kriminalitas sepertinya bukan cerita mengagetkan selalu ada di sekitar dan menjadi teman tidur malam.

Cerita tentang sepak terjang politisi dan parlemen, sampai perut mual juga terus berseliweran  di audio visual (televisi, radio, media sosial, platform blog dan media-media visual yang bertebaran di sekitar). Narkoba dan perputarannya jangan ulang pertanyaan itu sebab mau bibir sampai perot dan teriakan sekencang apapun tetap saja bandar narkoba aktif menawarkan barang perusak masa depan generasi muda itu tanpa henti.

Jakarta adalah magnet pendatang, termasuk saya yang menggantungkan harapan besar agar bisa mengusung cerita ketika mudik (meskipun mereka tidak tahu untuk bisa mendapatkan uang perlu kelimpungan utang sana-sini, bekerja siang malam untuk bisa pulang dengan membawa kebanggaan).

Kalau ditanyakan siapa penghuni asli Jakarta, boleh ditanyakan orang Betawi asli saja sudah menepi ke pinggiran Jakarta, mereka sudah kewalahan dengan tuntutan hidup di Jakarta. Semuanya serba uang, cerita tentang gotong royong, guyup rukun warga mungkin hanya sayup-sayup terdengar.

Yang ada adalah tentang kiprah orang-orang pintar yang duduk di pemerintahan, parlemen, lembaga-lembaga Swadaya masyarakat, ormas- ormas yang membuat Jakarta yang hiruk pikuk semakin  gaduh.

Semua saling serobot, berebut kepentingan, berebut simpati warga yang  sudah terlalu kebal merasakan intrik- intrik yang diproduksi di ibu kota Republik Indonesia ini menjadi cerita memilukan yang harus didengar sampai ke seluruh pelosok negeri.

Jakarta memang magnet bagi mereka yang ingin  kaya, entah kaya mendadak maupun bagian dari usaha bertahun-tahun. Anda tidak perlu rangking 1 di kelas untuk menjadi spesial di Jakarta, cukup bekerja keras melatih komunikasi, ketangguhan berbisnis dan bertahan dalam prahara termasuk ikut larut dalam teknik tipu menipu, trik politik suka-suka dan tentunya tutup kuping untuk sebuah kebenaran.

Jakarta sudah menjadi kota metropolitan dengan persebaran Mal paling banyak, boleh jadi paling banyak sedunia sebagai ibu kota negara. Dan Jakarta adalah pusat cerita yang bisa dijadikan ribuan buku dengan berbagai versi.

Bagaimanapun juga ada kebanggaan bisa bertahan di Jakarta. Artinya selama bertahun tahun saya bisa melewati berbagai tantangan, masalah cerita seram, cerita tentang kriminalitas yang menakutkan dan cuaca yang semakin tidak bersahabat. Apalagi memikirkan transportasi publik yang harus bersaing dengan kesombongan orang-orang yang tetap saja membawa kendaraan pribadi meskipun sepanjang hari terjebak kemacetan parah.

Beberapa tahun lalu penulis sempat berharap banyak tentang perubahan Jakarta. Sudah ada mimpi yang pernah mampir tergenggam dalam sanubari. Kami yakin dan percaya ada pemimpin Jakarta yang All out memikirkan detail tentang Jakarta, meminimalisir penyimpangan, menertibkan birokrasi, membangun kemandirian dan yakin bisa membuat ketar-ketir Singapura sebagai tetangga yang maju karena penataan kota, birokrasi yang tertib, kerapian aturan disiplinnya.

Penulis pikir tinggal menunggu waktu Jakarta akan berubah menjadi Metropolitian yang bisa dibanggakan sebagai cerita yang mengantarkan kerja keras Presidennya yang berusaha membangun infrastruktur, etos kerja dan semangat tanpa lelah untuk menyapa rakyat dan mendorongnya untuk terus kerja, kerja dan kerja. Itu cerita dulu.

Setelah Pilkada selesai cerita berubah. Orang berpikir ternyata susah mengubah mindset orang kota terutama Jakarta. Diberi pemimpin visioner maunya yang berpikiran vintage, diberi alternatif cerdas menikmati smart city, warga cenderung memilih pemimpin yang melestarikan welas asih dan tidak tegaan akan ulah preman-preman yang kembali merasa diberi ruang untuk mengobrak—abrik tatanan yang sudah mulai teratur.

Diberi kesempatan mengharumkan nama bangsa tetapi malah memelihara semangat empat lima yang bermodalkan bambu runcing (maaf untuk menganalogikan bendera negara Asia yang dikibarkan dengan belahan bambu).

Jakarta memang dipimpin oleh orang yang paham benar ilmu politik tetapi rasanya susah mengharapkan ada kemajuan revolusioner yang bisa dinikmati dalam waktu dekat. Semua berubah dalam hitungan waktu. Mimpi-mimpi yang sudah nyata di depan mata harus berubah karena politik.

Karena politik belum dipersepsikan positif, maka boleh dikata pollitik itu ibaratnya ”Telek” kata kasar dari kotoran ayam. Pengolahan isu SARA,  sentimen agama telah membelah obyektifitas berpikir. Yang salah bisa jadi benar, yang benar harus rela mengalah demi hasrat serta syahwat politik yang “saru”.

Malu saya bercerita tentang Jakarta, susah terkatakan betapa malunya bisa sempat bepergian ke luar negeri, apa  yang harus diceritakan bila ada sungai harus ditutupi pakai kelambu hitam agar tidak bau  dan terlihat wajah aslinya yang hitam, keruh dengan aroma semriwing yang bikin batuk. Siapa sih pemimpinnya. Ah jangan cerita. Kalian saja yang cerita.

Tanah Abang kembali seperti semula ruwet, ribet, macet, gaduh dengan penguasa –penguasa lapak yang kembali gendut. RPTRA yang semakin tidak terurus. Aparat yang lebih sibuk Selfie daripada kerja nyata. Tapi semoga cerita saya salah.

Saya tabok pipi saya semoga cerita tentang Jakarta yang semrawut itu hanya mimpi. Tapi pipi saya memerah dan terasa sakit sampai ke tulang pipi. Oh berarti cerita tentang Jakarta mirip dengan saya baca di twitter, instagram, komentar-komentar di media online bukan mimpi ternyata.

Saya malu untuk menceritakannya.

***