Makna "Bajingan" bagi Anies-Sandi

Jumat, 27 Juli 2018 | 08:19 WIB
0
734
Makna "Bajingan" bagi Anies-Sandi

Jangan keburu marah dulu, sampean kira saya tukang umpat? Suka bersumpah serapah. Mari kita lihat dulu secara kultural, siapakah yang disebut "bajingan" itu.

Dalam bahasa Jawa, bajingan adalah istilah untuk menyebut sopir gerobak sapi, yang pada masa lalu adalah satu satu transportasi angkut material yang paling dapat diandalkan. Apakah itu hasil bumi, bahan bangunan, produk olahan, apapun yang membutuhkan pergerakan dari satu tempat ke tempat yang lain. Gerobak sapi dipilih karena ia bisa mengangkut barang yang lumayan berat, yang tidak mungkin diangkut oleh kereta kuda.

Bajingan kemudian turun derajat menjadi kata makian, justru karena sifat lemah dari moda transportasi ini yang berjalan lambat. Kalau diukur sih rata-rata cuma bergerak 4 km/jam. Bayangkan untuk menempuh jarak 20 km, dibutuhkan waktu 5 jam. Bandingkan dengan mobil paling kucluk di zaman sekarang yang mungkin untuk jarak yang sama, paling lama bisa ditempuh dalam 20 menit.

Karena itulah, para "priyayi" asli, gadungan, atau ngaku-ngaku pemilik gerobak itu suka marah dengan berkata "Bajingan, tak enteni suwi ra teko-teko". Terjemahannya kira-kira Pak supir gerobak, saya tunggu lama gak datang-datang.

Sejak itulah kata bajingan jadi kata umpatan, yang konon tingkatanya dalam kultur Jawa (terutama sub-kultur Jogja) dianggap paling kasar. Sehingga di bawahnya ada yang coba diperhalus menjadi bajigur, lalu dipehalus lagi menjadi bajinguk, dan terakhir kalau gak salah jadi bajilak.

Tingkat-tingkat umpatan itu, umumnya jika disampaikan sebagai maki-gurauan, keakraban untuk teman sebaya, atau anak kecil, atau malah perempuan. Tapi tetap saja yang paling sarkas adalah bajingan!

Lalu apa hubungan dengan Anies-Sandi?

Keduanya adalah sebagaimana yang ditulis banyak para supporter-nya dengan (mulai juga) hope-less: suka atau tidak suka adalah Gubernur dan Wagub DKI Jakarta yang sah.

OK, kita harus setuju. Keduanya adalah sopir atau pengendali kendaraan yang disebut birokrasi pemerintahan daerah. Yang di dalam gerobak itu, berada sedemikian banyak penduduk Jakarta dengan berbagai ragam karakter dan kepentingannya.

Sampai di sini sebenarnya, hewan penarik dan kereta angkutnya bisa di-replace jadi apa saja. Tapi nyatanya untuk personifikasinya yang paling tepat, tetap saja gerobag sapi. Lambat jalannya, kotoran berjejak menjengkelkan, dan bikin kesal mereka yang menantikan hasil dari omong besarnya.

Mau bikin rumah DP nol persen, mau bikin udara seger selaksa Jakarta punya AC raksasa, bikin KPK Tandingan untuk Jakarta, bla bla bla.... Belum lagi satu tahun, sudah membuat Jakarta jadi bahan olok-olok sebagai ibukota negara dengan manajemen paling ambaradul di dunia.

Jakarta hari ini sering disamakan dengan Abuja, ibukota Nigeria nun jauh di tanduk Afrika sana. Walau mungkin Nigeria itu negara kaya minyak dan memiliki SDM berkualitas yang berlimpah, tapi nyaris gak ada jejak keberadaban di sana. Masih mending negara-negara Teluk di Jazirah Arab, yang walau juga sangat rasis, dan elitis, tapi mereka punya jejak yang agak sedikit berselera.

Jakarta hari-hari ini mengalami kemunduran yang sangat cepat, walau belum setahun berlalu. Namun jika pembandingnya adalah Damaskus masih jauh lebih mending. Belum lagi hancur-hancuran karena perang kota, konflik antarsaudara sendiri. Hanya karena salah satu memaksakan kehendak ke-iman-annya.

Tapi hari ini, setelah melihat pemaksaan pemasanagan waring kain item di kali Sentiong, sembari menyalahkan periodisasi gubernur yang lalu. Setelah seolah-olah membela warga dengan pemasangan bendera negara sahabat dengan bambu terbelah. Hari ini saya tak tahan untuk mengumpat, ketika mereka memperlakukan petugas Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PPSU) atau kerap disebut pasukan oranye untuk melukis mural tanpa bayaran. Sembari menyebut itu sebagai sebagai "do-it-yourself (DIY) economy".

Begitulah para Amerikanis sok keminggris, sok pakai istilah bahasa Inggris hanya untuk menyebut istilah swakelola atau paling gampang gratisan. Pasukan oranye ini pada masa Jokowi-Ahok-Jarot adalah petugas dengan strata paling bawah tapi terangkat sebagai pahlawan kota yang paling dihargai. Di masa Anies-Sandi jatuh sebagai kacung yang bisa dikaryakan dengan tugas apa saja.

Ia bisa seenaknya disuruh nggambar, tanpa pernah punya bekal melukis yang baik. Tanpa pernah tahu apa itu mural, tanpa pernah tahu karakter warna, kecocokan jenis cat, penguasaan ruang, dan segala tetek bengek yang berkaitan dengan eksterior painting atau sederhananya street-art.

Saya sampai geleng-geleng kepala, bagaimana mungkin mereka tega bilang ini "do-it-yourself (DIY) economy", padahal mereka adalah pemilik anggaran besar untuk mempercantik wajah kota. Dimana dana itu disembunyikan atau paling buruk diselewengkan, dan lalu mengorbankan pekerja sekaligus warga masyarakat paling bawah. Dan itu dilakukan ketika Jakarta menyongsong hajatan besar Asian Games yang belum tentu 30 tahun sekali berlangsung.

Anies-Sandi kalian adalah bajingan!

Dulu ketika para pemilik gerobag itu memaki para sopir gerobaknya, masih dengan tersungging senyum. Tidak jelas siapa yang harus dimaki: si sopir, si sapi, atau gerobaknya yang beroda kayu. Tapi kalian adalah bajingan sesungguhnya, tak ada kata lain yang lebih buruk. Kalian tidak hanya mempermalukan kotamu sendiri, bahkan kota dari mana kalian berasal, sekolah tempat kau dibesarkan, bahkan juga orang tua yang melahirkanmu dan kelak anak keturunanmu.

Satu-satunya yang masih akan membanggakan dan membelaimu adalah para supportermu, yang agendanya tak lebih hanya mengganti ideologi negara dan secara perlahan menghapus negeri ini dalam peta. Kalian adalah mimpi buruk sebagaimana dulu pernah Karl Marx bilang: membuat jalan menuju neraka dengan ditaburi niat baik dan kata-kata manis.

Sekali lagi kalian adalah bajingan!

***