Saya Tetap Pilih Risma

Rabu, 25 Juli 2018 | 12:58 WIB
0
600
Saya Tetap Pilih Risma

Senyampang, pemberitaan Jakarta yang makin ambradul, saat itu pula Surabaya dinyatakan sebagai kota dengan "penataan dan peremajaan" paling baik. Saya tidak tahu lembaga sekredibel apa atau seberapa tinggi gengsi City-net itu, tapi itu adalah forum Wali Kota se-Asia Pasifik yang beranggota 24 negara.

Kenapa misalnya kota sejenis seperti Depok atau Cimahi atau Bekasi atau yang lainnya tidak bergabung di dalamnya. Forum ini menetapkan Surabaya sebagai kota terbaik se-Asia Pasifik. Konon sejajar dengan Yokohama dan Seoul. Yang jelas, Surabaya yang dulu dikenal kota yang sumpeg, ruwet dan panas mendapat julukan baru sebagai Kota Seribu Taman.

Bagi saya sih ini hanya mengulang cara melihat kawasan candi Budha di belakang Prambanan yang disebut Candi Sewu, saking banyaknya jumlah. Lalu orang Jawa yang suka cari gampangnya, nyebut saja Candi Sewu. Realitasnya memang Surabaya bergerak menjadi kota metropolitan yang modern, beradab, dan sangat peduli terhadap masalah warganya. Bahkan tidak kurang, kota yang lebih dulu "rapi, disiplin, dan modern"-pun mau belajar kepada Surabaya.

Kok bisa? Singapura boleh menjadi kota maju, bersih, dan tertib, karena pemerintah mereka bersikap "tangan besi". Ia indah tapi tidak asyik, ia bagus tapi kurang menggairahkan. Hukum di Surabaya dijalankan dengan sangat ketat, tak pandang bulu, tapi sekaligus manusiawi dan sangat care pada "berkeimanan dalam arti luas". Jangan lupa, di seberang pulau Surabaya tinggal sebuah etnis yang paling lucu se-Indonesia, namun sekaligus paling sulit diatur. Tapi nyatanya mereka bisa juga nurut di bawah kendali seorang ibu yang kadang galak, kadang nangisan, tapi tak kenal capek ini.

Sebenarnya gak fair juga membandingkannya dengan sikon Jakarta hari ini. Mosok membandingkan badut dengan birokrat sekaligus teknokrat. Ga apple to apple kalau istilahnya hari ini. Badut itu dibandingkannya ya dengan seorang stand-up comedy-an, atau dulu pelawak Srimulat, atau kalau dalam wayang Gareng-Petruk misalnya. Ketiga contoh terakhir ini pun tetap lebih mulia. Mereka tetap bisa menghibur tanpa biaya uang negara atau menunggangi agama.

Bila di Jakarta hari-hari ini Kalimas yang dulu juga kotor dan bau, disulap sebagai tempat wisata air. Di Jakarta, kali item ditutup waring, agar baunya tidak meruap.

Membandingkan Jakarta dan Surabaya hari ini sungguh tidak asyik! Sama tidak asyiknya memperdebatkan rivalitas masa lalu antara Padjadjaran dan Madjapahit, di mana kedua kota ini menjadi salah satu titik terluar di pantai yang menjadi pintu masuknya. Bedanya hanya satu: Sejak dari masa Sunda Kelapa, Jayakarta, Batavia dan Jakarta, kota ini berulang kali dihancurkan dan ingin ditinggalkan. Namun setiap kali itu pula, mereka kembali lagi, lagi, dan lagi.

Saya yakin wacana pemindahan ibokota negara yang diwacanakan itu akan berhenti di tengah jalan. Suka atau tidak suka, Jakarta memang punya aura yang memuakkan, tapi ia sekaligus punya kekuatan menyatukan.

Kota yang aneh dan mengesalkan, tapi selalu dirindukan. Tak salah bila Koes Plus pernah menulis lagu berjudul "Ke Jakarta Aku Kan Kembali".

Oh ya kota-kota romantik, selalu memacu orang-orang kreatif membuat lagu yang akan jadi klasik dan legendaris. Disini harus kedua kota ini pantas disebut, begitu pula Jogja, Solo, Semarang, dan Bandung. Yang lainnya ya harus bersabar, kalau pun ada, pasti masih lucu dan unyu-unyu...

Kembali ke Tri Rismaharini. Mungkin ia wanita birokrat yang paling pantas dicatat paling berprestasi dewasa ini. Di luar itu wanita-wanita sejenis baru pantas disebut karena dicokok KPK. Kalaupun berprestasi levelnya baru semenjana, begitu mau naik level, habis. Mustinya Risma mau dicalonkan jadi Gubernur Jawa Timur, tapi oleh partainya ia disimpan.

Sebenarnya alasan ini juga patut diragukan, saya lebih percaya kalau ia memang dianggap "tidak punya duit dan tidak mau kasih setoran". Untuk wilayah seluas Jawa Timur, tentu hanya mereka yang punya amunisi saja yang berani bertarung. Risma sebagai penerima Bung Hatta-Anti Corupption Award, yang memberantas korusi birokrasi tentu ia tidaklah bisa masuk kategorisasi itu.

Lalu mau ngapain besok setelah ia tidak menjadi walikota? Ia akan berhenti sebagai walikota tahun 2020 esok, setelah dua kali masa jabatan dengan kemenangan yang selalu mayoritas. Karena itulah, saya akan terus mengupayakan Risma sebagai salah satu kandidat cawapres kejutan untuk Jokowi. Walau setahu saya sampai detik ini, ia tidak termasuk dari lima nama yang ada di saku baju Jokowi.

Mungkin ia masih disimpan di saku celana Jokowi. Jangan lupa Jokowi itu penuh kejutan, ia suka bermain tik tak, dan gaya berpolitiknya halus sekali. Hingga bikin kesel rival politiknya. Jika benar Prabowo akan berpasangan dengan AHY, itulah cermin rasa frustasi. Di dalamnya tidak ada lagi hitung-hitungan elektabilitas, apalagi hal-hal yang berbau kenegarawanan atau politik adiluhung kebangsaan. Mereka ini golongan lintah penghisap darah, yang tampak menakutkan tapi hanya dengan dikucuri air tembakau terkapar lenyap.

Bagi saya Risma adalah Ahok plus-plus. Semua kebaikan Ahok ada pada diri Risma, semua reputasi yang pernah dibikin Ahok di Jakarta juga pernah dilakukan Risma. Ia sama galaknya terhadap korupsi dan swasta yang ngawur, tapi juga sekaligus sama populis dan manusiawinya terhadap orang miskin.

Nilai plusnya, semua kelemahan Ahok tertutupi oleh Risma sebagai figur triple majority: "perempuan, jawa, dan muslim".

Sekarang Jokowi itu bukan lagi milik PDIP semata, ia sudah jauh lebih indepent dan bebas dari stigma petugas partai. Ia bebas memilih siapa saja, sesuai pertimbangan personal dan profesional yang terbukti 90% tepat dan ampuh itu. Salah satu dari 10% cela (bahkan paling tercela) Jokowi itu di antaranya: Anis Baswedan.

Dan saat ini di seberang sana ada pilihan yang jadi paradoks dan antagonisnya. Apalagi saya juga percaya masa depan kebaikan dunia itu ada pada diri perempuan-perempuan baik.

Jadi kenapa tidak Risma!

***