Pilkades, Kejamnya Melebihi Pilkada dan Pilpres

Rabu, 25 Juli 2018 | 19:50 WIB
0
1003
Pilkades, Kejamnya Melebihi Pilkada dan Pilpres

Pagi ini saya mendapat pesan dari Gus Ali, kalau acara baiatan sehabis isya di dua tempat ditunda. Tepatnya hari Senin malam Selasa Pahing, karena malam tersebut desa yang ketempatan pengajian akan melaksanakan pemilihan kepala desa.

Seperti biasa akan ada hari tenang, tidak boleh ada konsentrasi masal, meskipun acara pengajian ini rutin saban bulan dan bertempat di masjid.

Pelaksanaan pilkades serentak kali ini diikuti oleh 60 calon kepala desa di daerah Ponorogo. Sosialisasi gencar dilakukan untuk menghindari kecurangan dan kerusuhan.

Kejamnya pilkades melebihi pilkada ataupun pilpres, warga sesama warga saling berhadapan. Perseteruan tak bisa dihindarkan dalam lingkup desa, lingkup lingkungan, bahkan dalam satu keluarga. Perbedaan pilihan akan menjadi bibit permusuhan yang bisa dibawa turun temurun.

Terlebih kalau kandidat masih dalam satu lingkungan, atau bahkan masih ada pertalian darah. Dendam akan dibawa sampai mati. Permusuhan antartetangga dan antarsaudara dalam lingkup desa, di mana saban hari akan bertemu. Mendukung salah tidak mendukung tambah salah. Orang akan mudah menjustifikasi pasti milih itu karena masih saudara, pasti milih itu karena temannya, pasti tak milih itu karena pernah memusuhi, padahal tidak pasti begitu.

Botoh, adalah team sukses. Team sukses bisa dari dalam desa dan sepengetahuan kandidat, namun juga ada botoh yang berasal dari luar desa atau bahkan orang kita kabupaten atau provinsi. Botoh yang di desa serta tugasnya mencari orang pemilih, mereka dipercaya mengelola keuangan. Termasuk uang saku buat pemilih.

Ada botoh dari dalam desa yang baik dan banyak pula yang nakal, uang tersebut tidak sampai pada calon pemilih. Anggap saja uang saku ini uang suap supaya memilih kandidat.

Sedangkan botoh dari luar adalah orang luar yang bermain tanpa sepengetahuan kandidat atau lingkup dalam. Mereka adalah petaruh dari luar kota bahkan dari luar propinsi. Cara main mereka sulit ditebak, demi taruhan mereka akan mencari apa saja asal menang. Pergerakan mereka sulit ditebak.

Sebagai contoh kejadian di daerah Pulung. Di atas kertas, hitung-hitungan dimenangkan kandidat wanita. Namun di pagi hari menjelang pemilihan ada kendaraan penjemput pemilih. Calon pemilih tidak dibawa ke tempat pemilihan namun dibawakan ke tempat wisata, mereka dikasih makan dan dikasih uang, dan baru sore harinya dikembalikan.

Botoh dari luar sudah mempelajari dengan seksama peta pendukung kandidat. Sehingga punya strategi di hari H untuk memenangkan pertaruhan.

Petaruh ini lawannya juga petaruh yang sama-sama orang dari luar, sehingga tak ada hubungannya dengan kandidat atau orang dalam desa. Namun pengaruhnya luar biasa bagi kandidat atau keberlangsungan demokrasi di desa untuk periode ke depan.

Andil, andil sama artinya dengan saham. Yang bermain adalah orang dalam begitu pula pengelolanya. Yang menguasai andilan dia yang menang, kata pak Seni. Pak Seni adalah teman saya yang beberapa waktu lalu di desanya juga dilaksanakan Pilkades. Ada cerita sistem andilan, seperti yang dia ceritakan.

Kyai yang di atas kertas punya basis masa, dan telah mempersiapkan dalam waktu lama kalah dengan kandidat yang menerapkan sistem andil, meski hal ini sangat rahasi dan hati-hati agar tak tertangkap pihak berwajib.

Pemilih diberi modal Rp200 ribu, dan pemilih disuruh menambah Rp100 ribu. Bila menang uang akan jadi Rp600 oleh pihak kandidat yang dikelola botoh secara diam-diam. Sehingga calon pemilih tersandera dengan uang yang sudah masuk sebagai andil (saham) dengan harapan menang Rp600 ribu. Uang dikumpulkan oleh pihak ketiga, biasanya bandar dari Solo dan Jakarta. Bila satu rumah ada 4 pemilih, sudah 2,4 juta di depan mata. Cara ini menurut pak Seni yang paling efektif untuk mengikat pemilih.

Namun dengan adanya pilkades serentak ini konsentrasi botoh dari luar kota akan terpecah. Mereka tak bisa lebih intens dalam bertaruh, karena banyaknya tempat taruhan. Sehingga menurut pak Seni sistem andilan lebih akan sering dipakai.

Sistem uang saku masih riskan katanya, kalau sistem andilan calon pemilih akan tersandera.

Ini cerita tentang Pilkades, bagaimana cerita tentang pilkada dan pilpres?

Pasti lebih rumit dan lebih gede soal uang yang beredar. Dengan kompensasi proyek atau “kue” setelah kandidatnya jadi. Pilkada dan pilpres para elite yang saling berhadapan, kalau pilkades warga sama warga yang saling berhadapan. Sementara sebagian masyarakat menjadikan budaya, budaya bertaruh, event pilkades ajang pertaruhan yang ditunggu-tunggu.

***