Naikkan Rivalitas Lawan Jokowi, tapi Terjebak dalam Bayang-bayang Ahok

Sabtu, 21 Juli 2018 | 13:56 WIB
0
541
Naikkan Rivalitas Lawan Jokowi, tapi Terjebak dalam Bayang-bayang Ahok

Fenomena cara berpolitik Anies Baswedan ini menarik. Dalam sejarah politik Indonesia belum ditemukan sebuah preseden menuju rivalitas dengan teknik antitesis seperti ini. Sejarah pertarungan Presiden dan Gubernur di Indonesia ini pernah ada di masa Ali Sadikin, saat itu sebelum kejatuhan Bung Karno, Ali Sadikin ditunjuk Bung Karno sebagai Gubernur.

Sebenarnya penunjukkan Ali ini lebih pada langkah pengamanan Bung Karno yang saat itu sudah terkepung Jenderal Jenderal Angkatan Darat, namun beberapa waktu kemudian Bung Karno lebih memilih mengalah, dan Ali diperintahkan untuk merapat saja dengan Kelompok Orde Baru.

Ali Sadikin malah ditugaskan dengan dana terbatas oleh Pak Harto untuk ngurus DKI Jakarta, dan malah berhasil. Di sini Pak Harto malah nggak bisa jegal Ali Sadikin pada awal awal kekuasaan Orde Baru, termasuk Aspri-Aspri Pak Harto yang selama ini selalu mengepung Ali Sadikin.

Pada momen Taman Mini awal 1970-an, Ali bahkan didukung habis oleh Bu Tien karena dukung Proyek Taman Mini. Ali Sadikin bermain sangat cantik. Sementara Jenderal Mitro "Gendut" cenderung menolak Project Taman Mini, karena Mitro terpengaruh oleh beberapa kelompok mahasiswa. Penolakan Jenderal Mitro ini justru mendorong tanpa sengaja Mitro dirivalkan ke Pak Harto.

Oleh Ali Moertopo dengan cerdas menjadikan ini sebagai frame politik yang kemudian berlanjut pada kondisi politik yang panas jelang Malari 1974.

Pertama kali yang dijatuhkan tentu Jenderal Mitro "Gendut", dan Ali Sadikin dibereskan 3 tahun kemudian dengan teknik penghabisan masa jabatan. Setelah selesai masa jabatan Ali hendak didubeskan tapi gagal, dan akhirnya Ali ndak ada jabatan sama sekali.

Di sini Ali Sadikin digiring pada tahun 1977 sampai tidak punya kekuatan di belakang sama sekali, pengaruh politiknya habis. Bahkan Ali Sadikin sengaja dirivalkan oleh Sudomo.

Rivalitas Ali-Sudomo ini jaraknya panjang, sampai tahun 1993-an, bahkan tabloid politik Detik pernah memuat "Kalau perlu saya tendang pantat Sudomo", pertarungan Ali-Sudomo ini adalah langkah cerdas Yoga Sugama untuk menghindari rivalitas langsung Ali Sadikin ke Suharto, dengan teknik operasi framing media dan persepsi publik ini. Justru Pak Harto nyaris tidak ada pesaing setelah Ali Sadikin disingkirkan 1977, dan Ibnu Sutowo jatuh pada 1975.

Suharto kecolongan, rivalitas langsungnya justru ke anak perempuan Bung Karno yang kerap dipandang remeh oleh laporan laporan intelijen: Megawati.

Sejak Mega berhasil menjadi rival Suharto secara langsung pada tahun 1993 dengan ditandai Mega menghadap ke Bina Graha sebagai tokoh Partai Oposisi setelah kemenangan Kongres PDI di Sukolilo Surabaya, Mega tidak pernah men-down-grade dirinya di bawah Pak Harto. Baginya alam pertarungan harus vis a vis berhadapan dengan Suharto. Mega kemudian berada dalam pertarungan langsung dengan Suharto sampai Suharto dipaksa berhenti tahun 1998.

Ini beda dengan Gus Dur yang selalu membingungkan rakyat ketika ia secara acak melakukan perlawanan Suharto. Kadang ia merapat ke Pak Harto, kadang ia memusuhi Pak Harto, kadang ia tarung di level bawah, kadang langsung hantam Pak Harto. Teknik Gus Dur ini cenderung membuka ruang ruang baru perlawanan, sementara di tingkat atasnya tetap Megawati pegang kendali atas pertarungan melawan Suharto.

Teknik rivalitas penting dalam melakukan perlawanan politik. Dalam alam demokrasi yang liberal, teknik rivalitas lebih ditentukan oleh persepsi opini publik dan dukungan publik yang terpengaruh atas suasana perlawanan.

Berbeda di masa Sukarno dan Suharto, rivalitas didasarkan atas ketekunan jangka panjang dan sifatnya senyap.

Anies Baswedan menyadari itu bagaimana ia harus menaikkan tingkat rivalitasnya untuk menjadi langsung melawan Jokowi, namun ia terjebak dalam bayang-bayang Ahok. Setiap tindakan Anies adalah kebangkitan kenangan akan Ahok. Setiap kesalahan Anies adalah mantra mantra yang terucap dari situasi Ahok yang dibui oleh gerakan politik identitas.

[irp posts="19050" name="Pokrol Bambu Gaya Gubernur Anies Baswedan"]

Habitat Anies berada dalam lingkungan intelektualitas kelas tinggi. Anies lebih senang menasbihkan dirinya sebagai pelanjut intelektual ala Ayn Rand, Sartre ataupun Montesquieu. Beda dengan Jokowi yang hidup dalam realitas, maka Anies hidup dalam alam buku-buku.

Beda dengan Ahok yang terbiasa melakukan bisnis dengan ketepatan waktu dan ukuran kerja yang jelas, Anies adalah seniman-budayawan. Ia menikmati waktu bukan sebagai jadwal kaku, tapi sebuah kerangka "nikmatnya kopi dan sejuknya pagi".

Bagi Jokowi dan Ahok waktu adalah "delivery fakta kerja", bagi Anies "waktu adalah gagasan atas kenikmatan berpikir dan merenung". Inilah kenapa Jokowi dan Ahok selalu tepat waktu bila datang, dan Anies sering telat ketika datang dalam sebuah acara.

Anies ingin melepaskan dirinya ke dalam bayang bayang Ahok untuk langsung berhadapan dengan Jokowi. Tapi Anies gagal dalam menciptakan antitesis. Tim konsultannya tidak mampu membaca dialektika politik dan semangat jaman (zeitgeist) ketika ia berhadapan dengan Jokowi.

Dalam usahanya melesat ke hadapan Jokowi, justru Anies semakin dalam ke dalam bayang bayang Ahok. Anies menjadi sebuah kumpulan nostalgia atas perlakuan 'kelompok Anies' terhadap Ahok yang tak adil. Tanpa sadar tubuh Anies sudah menjadi sebuah "Elegi Untuk Ahok", sebuah ratapan terus menerus dalam sejarah Jakarta. Dan jelas ini tidak membuat nyaman Anies. Ia ingin dirinya mengubah menjadi petarung daripada 'kumpulan nostalgia kesedihan' atas Ahok.

Oleh Anies, Jokowi dijadikan sebuah lambang penguasa yang tak adil, dan ia menjadi Che Guevara menjadi tokoh pembebasan atas penindasan rezim kapitalis. Tapi Anies dengan segenap borongan intelektual dan buku-buku dalam alam pemikirannya, gagal menciptakan dirinya sebagai bagian perlawanan rakyat. Sebab, ia berdiri di menara gading, sementara Jokowi terus berada di kerumunan-kerumunan rakyat.

Langkah Anies dalam beberapa manuver politik, secara cepat memang meningkat popularitasnya, tapi tetap gagal menciptakan situasi populis, Anies gagal menyatukan satu kekuatan ide menjadi "perasaan bersama" karena situasi populis bisa tercipta bila ada "kegelisahan massif" dan sampai saat ini Anies masih terdesak dalam ring Ahok. Ia tak bisa lepas dari 'elegi untuk Ahok'.

Selama Anies terjebak dalam lingkaran kesedihan Ahok, selama itu pula Anies mengalami kebuntuan politik...

***

Anton DH Nugrahanto, Catatan Politik, Jakarta 21 Juli 2018.