Jangan-jangan.... Ini cuma jangan-jangan, Agus Harimurti Yudhoyono atau biasa dipanggil AHY merasa dirinya seperti komoditas yang terjual di sana-sini, dan sebagai buktinya menurut AHY, dirinya sering dipasangkan dengan tokoh-tokoh dalam Pilpres.
Lha, tapi AHY ngaku sendiri euy... Coba simak curhatnya berikut ini:
"AHY selalu dijadikan objek atau komoditas dalam politik, dipasangkan seperti terjual sana-sini," kata AHY saat memberikan sambutan di acara halalbihalal media di Restoran Eastern Opulence, Jalan Cikupa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat 20 Juli 2018.
Mencermati pernyataan AHY, ada kata-kata yang cukup menarik,yaitu "terjual".
Benarkah nama AHY "terjual" atau "dijual'? Mengapa AHY tidak menggunakan kata "tergadai" atau "terijon"?
Kata "terjual" mempunyai arti atau makna yang cenderung positif, dan "menjual" mempunyai arti atau makna yang cenderung negatif (karena butuh maka dijual).
Kalau "terjual" artinya mempunyai nilai tawar tinggi sehingga partai-partai atau calon-calon presiden mendekati dirinya dan ditawarkan posisi sebagai capres atau cawapres. Dan laku terjual dengan harga pasaran yang tinggi.
Kalau "menjual" artinya sengaja ditawarkan ke sana-sini atau sengaja dijual, kepada partai-partai atau calon-calon capres atau cawapres. Ia dijual dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasaran.Dan kalau sengaja dijual hanya ada dua kemungkinan, yaitu laku dijual dan tidak laku dijual.
Faktanya, AHY sengaja dijual ke partai-partai atau kepada calon presiden,baik kubu Jokowi atau kubu Prabowo. Dan bagi Partai Demokrat AHY sebagai capres atau cawapres adalah harga mati dan tidak bisa ditawar-tawar. Bener ga, Bro?
Faktanya lagi, sampai saat ini pun AHY belum laku dijual, apalagi terjual, setidak-tidaknya apa yang terbaca di media massa. Entah kalau ada strategi yang disembunyikan, misalnya tiba-tiba AHY berpasangan dengan Ahok, misalnya.
Belum ada dari dua kandidat calon presiden yang saat ini namanya beredar seperti Jokowi dan Prabowo yang mau dipasangkan dengan AHY sebagai cawapres. Artinya harga pasaran AHY boleh dibilang masih rendah. Pasar belum melirik. Kalau harga pasaran AHY tinggi, sudah pasti akan terjual dan akan menjadi rebutan dari dua kandidat calon presiden.
AHY ini ibaratnya seperti buah pisang tapi masih muda, cara untuk membuat matang yaaa.. dikarbit, tapi kalau dikarbit kulit luar nampak kuning dan mateng, tetapi dalamnya masih mentah dan belum enak untuk di makan. Yang ada malah hanya rasa sepet. AHY tentu saja akan menghindari stigma ini bahwa dia bukanlah politikus karbitan!
Masih ada waktu dan masih ada kesempatan bagi AHY untuk mematangkan diri, meski kono kalau dinilai antara sakala 1 sampai 10, AHY ini nilai pasarannya masih "medioker". Sayangnya, para elite di sekitar Demokrat ingin menawarkan kepada calon-calon presiden dengan skala tinggi, misalnya nilai 9.
Jika ini terjadi, artinya ada mark-up nilai. Fakta menunjukkan, setidak-tidaknya sampai saat ini, penawaran dengan nilai tinggi itu belum berbuah, gayung belum bersambut. Upaya menyodorkan AHY ke sana ke mari juga belum disambut.
Ada sebait lirik lagu "Ayah" yang dinyanyikan Ebiet berbunyi: "Anakmu sekarang banyak menanggung beban". Tetapi sesungguhnya bukan AHY yang menanggung beban itu. Coba kalau lirik itu diubah "Bapakmu sekarang banyak menanggung beban", mungkin lebih tepat.
Wajah ganteng bisa jadi akan menjadi daya tarik tersendiri untuk menarik hati kaum wanita, sebagaimana kekuatan Pak SBY -ayah AHY- dulu. Tetapi untuk menuju Istana Merdeka wajah ganteng saja belumlah cukup.
Apakah "terjual" atau "dijual?" biarlah laron-laron yang akan menilai.
Jangan pernah bertanya pada rumput yang bergoyang!
Ebiet keliru di sini.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews