Madura In Memory (3): Suramadu Jangan Hanya Dijadikan Monumen!

Senin, 16 Juli 2018 | 22:59 WIB
0
888
Madura In Memory (3): Suramadu Jangan Hanya Dijadikan Monumen!

Semula masyarakat Madura mengira Jembatan Suramadu akan dibangun semata-mata hanya untuk memperlancar arus transportasi. Tetapi, melalui Keppres 55 Tahun 1990, Pemerintah menetapkan, pembangunan Jembatan Suramadu dan kawasan industri dijadikan satu paket.

Artinya, tanpa industrialisasi itu, tidak ada jembatan. Keputusan pemerintah didasarkan pada perhitungan ekonomi. Investor yang akan membangun jembatan tersebut tentu keberatan bila modalnya tidak segera kembali.

Salah satu alternatif yang bisa ditempuh yaitu membangun kawasan industri di daerah sekitar jembatan itu. Keuntungan diperoleh karena dengan adanya industri ini tentu lebih cepat dan lebih besar daripada hanya mengharapkan keuntungan dan pajak penggunaan jembatan.

Ada beberapa pandangan yang mendasar dalam konteks ini. Pertama, sebagian ulama Madura yang tergabung dalam NU Bangkalan dan Basra merasa keberatan atas rencana ini. Menurut mereka, masyarakat Madura sangat mengharapkan dibangunnya Jembatan Suramadu.

Namun, bila pembangunannya tanpa industrialisasi, harus dipertanyakan industrialisasi yang bagaimaa yang pantas untuk Madura, tidak seperti orang membeli kucing dalam karung. Para ulama mengingatkan bahwa, “Madura sebagai sebuah daerah yang masyarakatnya sangat kental dengan tradisi Islam (tradisional),” cerita Harun Al Rasyid.

Bila industri yang masuk ke Madura sama saja dengan daerah lain, ulama Madura khawatir kebudayaan baru itu akan merusak budaya Islam di daerah ini. Sebagai penjaga dan pelestari budaya Madura, ulama Madura merasa bertanggung-jawab atas kelangsungan Islam di bumi Madura.

Ketua Umum Forum Komunikasi Cendekiawan Madura dekat dengan ulama dan pondok pesantren di Madura itu, tentu saja tidak bisa tinggal diam melihat adanya kekhawatiran sebagian ulama tersebut bila industri jadi masuk ke Madura.

Maka, ia bersama almarhum Pak Noer, Harun Al Rasyid berusaha masuk ke ponpes yang diasuh oleh para ulama ternama. Almarhum Abdul Latief Algaff juga terlibat dalam langkah yang dilakukan Pak Noer dan Harun Al Rasyid itu.

Setiap kali ada isu sensitif menyangkut perlakuan tak adil atas Madura, kedua pendiri Ikatan Mahasiswa Bangkalan (IMABA) ini langsung bereaksi keras. “Jika kami dimiskinkan terus, Madura akan melawan!” tegas Harun Al Rasyid.

Seperti saat ada isu rencana Pemerintah mengalirkan migas dari Blok Raas langsung ke Pulau Bali. Bersama Dewan Pembangunan Madura (DPM) yang diketuai H. Achmad Zaini MA, ia ikut menandatangani “petisi” yang mengingatkan Pemerintah untuk membatalkan rencana pengaliran migas dari Blok Raas ke Provinsi Bali.

“Alhamdulillah, saat itu Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) mendengarkan aspirasi orang Madura, sehingga rencana tersebut dibatalkan,” ujarnya.

Protes serupa juga pernah dilakukannya kala Presiden Soeharto mengalirkan migas dari Blok Kangean ke Gresik melalui pipa bawah laut melintasi Parusuan dan Porong pada 1993. “Ini kan tidak adil!” tegas Harun Al Rasyid.

Padahal, dari Blok Kangean yang terletak di Pulau Pagerungan Besar, Kecamatan Sapekan, Kabupaten Sumenep itu, setiap tahunnya menghasilkan sekitar Rp 5 triliun, setara dengan biaya pembangan Jembatan Suramadu yang mencapai sekitar Rp 5,4 triliun.

Jadi, Madura itu kaya migas, tapi rakyatnya miskin. “Bagaimana supaya rakyat Madura bisa ikut menikmati kekayaan migasnya inilah yang harus kita perjuangkan,” kata ayah seorang putri kelahiran Surabaya pada 8 Desember 1966 itu.

Seperti Latief Algaff, Harun Al Rasyid adalah alumni SMAN 1 Bangkalan yang diterima di UNEJ tanpa tes. Lulus dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UNEJ (1992), Harun Al Rasyid menjadi dosen di almamaternya. Sedangkan Latief Algaff di Fisipol UGM Jogjakarta.

Meski tinggal di Jember, namun perhatiannya terhadap Madura masih tetap ada. Ini terlihat dari Tesis Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya (2002) yang disusun Harun Al Rasyid untuk meraih gelar Master (S2).

Judul tesisnya: Kebijakan Pembangunan Jembatan Surabaya - Madura Dan Industrialisasi Di Pulau Madura; Studi Kasus Tentang Keppres Nomor 55 Tahun 1990 Dari Perspektif Ekonomi Politik.

“Karena saya terlibat dalam perencanaan untuk industrialisasi, saya mudah menjawab,” ujar Sekretaris DPM ini. Sikap kritisnya terhadap kebijakan Pemerintah atas Madura tak pernah pupus, meski dirinya menjadi dosen (PNS) di UNEJ.

Kala pembangunan Jembatan Suramadu mengalami pasang surut kebijakan, Harun Al Rasyid kerap melancarkan protes keras, tidak peduli siapapun dia. Presiden Megawati Soekarnoputri pun pernah diprotesnya.

Pasalnya, pembangunan Jembatan Suramadu hanya dijadikan komoditas politik kekuasaan. Ia menilai, pemerintahan Megawati tidak memiliki tata krama. Menurutnya, Megawati tidak melibatkan tokoh Madura saat peralihan Keppres terkait pembangunan Jembatan Suramadu dan pengembangan kawasan industri Madura.

Saat itu, pemerintahan Megawati mengubah Keppres untuk Suramadu, dari Keppres Nomor 55 Tahun 1990 menjadi Keppres Nomor 79 Tahun 2003. Banyak hal penting berubah di dalam poin-poin Keppres tersebut. Seperti, mengalihkan pengerjaan pembangunan Jembatan Suramadu pada pemerintah yang sebelumnya swasta.

“Saya mempertanyakan pertimbangannya apa?” tanya Harun Al Rasyid. Keterlibatan mantan Gubernur Jatim H. Mohammad Noer sebagai sesepuh Madura dalam perubahan Keppres juga telah membuat geram pada pemerintahan Megawati. Pak Noer sama sekali tak dilibatkan dan diajak berdiskusi mengenai Keppres baru tersebut.

Harun Al Rasyid, salah seorang yang mengetahui pasang surutnya kebijakan pembangunan Jembatan Suramadu. Dalam tesisnya, ia menyinggung soal kehati-hatian Pak Noer menjaga masyarakat Madura adalah salah satu faktor molornya pembangunan Jembatan Suramadu.

Juga, berbagai kepentingan yang ada, bertarung. Mulai dari kepentingan korporasi besar yang ingin mengembangkan berbagai usaha di Madura hingga pertarungan politik. Jika mengikuti perkembangan Madura sangat menarik.

Isu akan adanya industrialisasi di Madura serta rencana pembangunan Jembatan Suramadu sudah ada sejak 1988. Saat itu ada hasil rangkaian penelitian BBPT yang menyatakan bahwa Jembatan Madura dan Jawa paling layak dibangun.

Ketika itu memang pilihannya ada 2 selain Suramadu: Selat Sunda dan Selat Bali. Sejak itu, Harun Al Rasyid, Latief Algaff, bersama IMABA mulai intensif menggelar pertemuan dan konsolidasi pemikiran dalam rangka persiapan dan antisipasi industrialisasi di Madura.

Pada 1991, IMABA menggelar seminar nasional untuk Madura. Seminar tentang Songsong Industrialisasi di Madura berlangsung dua hari. “Itu free. Padahal, IMABA waktu itu sama sekali tidak punya apa-apa, kecuali kemauan dan tekad,” ungkap Harun Al Rasyid.

“Hadir dalam seminar ini hampir semuanya tokoh Madura terkait dengan Keppres 55/1990 di manapun berada. Selain itu, para menteri yang ada kaitannya dengan pembangunan Jembatan Suramadu maupun pengembangan kawasan industri di Madura ikut hadir,” lanjutnya.

Banyak hal yang dihasilkan dari seminar nasional tersebut. Berbagai gagasan ideal diusulkan semua yang hadir dalam seminar tersebut. Yang terpenting, ia bersama teman-temannya di IMABA gencar konsolidasi dengan berbagai pihak di Madura.

Pasalnya, pembangunan Jembatan Suramadu dan pengembangan kawasan industri di Madura bukan lagi isu hangat di kalangan pemerintahan. Segala kegiatan yang bisa mendatangkan animo untuk membahas Madura ke depan juga dilaksanakan.

Tidak hanya seminar, tetapi juga kegiatan-kegiatan seni ke-Madura-an. Dari seminar tersebut, IMABA paham, kalangan ulama di Madura ingin ambil bagian dalam konsep dan pemikiran mengenai industrialisasi di Madura.

Sejak itulah, IMABA seringkali bertukar pikiran dengan para ulama. Beda pemikiran sering terjadi antara mahasiswa dengan para ulama. Meski ada perbedaan pemikiran dengan ulama, tali silaturahmi tetap dijaga dengan baik.

Bukan hanya berhadapan dengan para ulama, keterlibatannya menjadi pembela masyarakat seringkali berhadapan dengan tokoh yang dianggapnya sebagai guru. Setelah Keppres 55 Tahun 1990 turun, mulai ada proses pembelian lahan untuk kaki jembatan.

“Nah, yang saya temukan di lapangan berbeda dengan kebijakan yang diambil Pak Noer saat itu. Tanah warga hanya dibeli seharga Rp 7-8 ribu/m2. Ini jelas sangat tak logis. Masa’ harga tanah setara dengan satu-dua bungkus rokok saja,” sindirnya.

Kenyataan tersebut, membuatnya harus berpikir, uang sekecil itu tak mungkin dimanfaatkan masyarakat untuk membeli tanah di tempat lain atau mendirikan usaha baru. Ia menyelidiki pembebasan lahan itu. Pak Noer yang berusaha meyakinkan masyarakat merasa terganggu.

“Lalu, saya dipanggil Pak Noer saat halal bi halal di kediamannya di Bangkalan. Luar biasa. Saya dimarahi orang yang saya anggap sebagai guru dan sesepuh Madura itu,” ungkap Harun Al Rasyid sambil tertawa.

Ia mengungkapkan, tidak menanggapi kemarahan Pak Noer dengan arogan. Harun Al Rasyid hanya bisa menjelaskan, apa yang dilakukannya adalah perjuangan seperti yang dilakukan Pak Noer. Cuma, ada perbedaan masa dan tantangan yang harus dihadapi keduanya.

Harun memaparkan, tindakannya itu untuk mengingatkan kebijakan yang sudah ditetapkan berbeda dengan praktek di lapangan. “Akhirnya, setelah saya beri penjelasan seperti itu Pak Noer paham,” kenangnya saat menceritakan kepada Pepnews.com.

Hingga menjelang akhir hayat Pak Noer, Harun masih menjalin tali silaturahmi dengan Pak Noer. Ia hanya berusaha mengingatkan kepada Pemerintah, jika Pak Noer turut andil dalam memperjuangkan terwujudnya Jembatan Suramadu.

Bahkan, masih ada dua keinginan Pak Noer lainnya yang hingga kini masih diperjuangkan Harun Al Rasyid. Yakni: Membangun Bandara dan Pelabuhan di Madura. Ini keinginan Pak Noer saat bertemu Pak Harto (Presiden Soeharto) sebelum menerima Keppres 55/1990 itu.

“Pak Noer minta Juanda dan Tanjungperak dipindah ke Madura, karena Suramadu itu masih satu paket dengan Bandara dan Pelabuhan di Madura,” ungkap Harun Al Rasyid. Mengapa harus ke Madura? Perlu dicatat, Juanda adalah koordinat militer.

Ini akan menjadi sasaran tembak bila terjadi konflk bersenjata dengan negara lain. Kalau di Madura, “Nantinya diharapkan bisa menjadi bandara pengganti Changi di Singapura yang mulai overload. Ini bisa jadi Bandara Antar Benua,” lanjutnya. Demikian pula pelabuhan.

Jika dibangun pelabuhan internasional di Madura, maka ini juga bisa menggantikan peran pelabuhan di Singapura. Sehingga, adanya bandara dan pelabuhan internasional di pesisir utara, “Ini bisa nyambung dengan Suramadu, dengan harapan pula meningkatkan ekonomi Madura.”

Jadi, dengan demikian diharapkan, “Suramadu bukan sekedar seonggok jembatan semata, tapi sudah merupakan bagian dari pembangunan Madura secara menyeluruh, terutama infrastruktur,” lanjut Harun Al Rasyid.

***