Ngomong-ngomong... Mo Ngomongin Apa Lagi, Ya?

Minggu, 15 Juli 2018 | 10:02 WIB
0
707
Ngomong-ngomong... Mo Ngomongin Apa Lagi, Ya?

Mau ngomongin apa lagi?

Ngomongin Jokowi sudah, ngomongin Prabowo sudah, ngomongin TGB sudah, ngomongin PDIP sudah, ngomongin PKS sudah, ngomongin Aktivis 98 sudah, ngomongin Pripot (Freeport) sudah, ngomongin Polisi sudah, ngomongin Tentara sudah.

Ngomelin FA sudah, ngomelin Sandy Sandoro sudah ada yang ngomel duluan, ngomelin Cebong buang-buang waktu nggak guna nggak bakal bisa berubah dari angka 200.

Ngomongin olah raga sudah.

Eh, ngemeng-ngemeng Timnas U 19 yang jadi juara 3, kasihan ya Egy Maulana. Habis tanding, kepalanya keliengan, dipakein bantuan pernafasan gas oksigen, tapi kok temen-temennya cuek aje,ya. Boro-boro ngasih perhatian, nyamperin juga nggak. Ada apa, ya?

Eh, ngemeng-ngemeng soal Zohri, pelari cepat itu, cebong kok sensi banget ye. Masa cuma cebong yang boleh ngasih ucapan selamat. PKS ngucapin selamat buat Zohri nggak boleh, malah dibully habis. Zohri kan pelari Nusantara, bukan cuma milik satu golongan. Kebayang ngak kalau sampe timnas u19 juara pertama? Cebong tambah kalap aje. Cuma mereka saja yang boleh ngucapin selamat.

Ngomongin Islam Nusantara sudah.

Eh, ngemeng-ngemeng soal Islam Nusantara, kok nggak ada bosennya ya? Padahal semakin banyak diomongin malah semakin bikin bingung. Ternyata Islam Nusantara itu banyak tafsirnya Ada ushulnya (perkara pokok) ada furunya (cabang, varian ) juga.

Kebayang nggak kaya gini. Imam madzhab itu kan banyak muqolidnya. Masing-masing muqolid punya varian berbeda. Tiap varian banyak pengikutnya. Varian ini bikin ormas ini, varian itu bikin ormas atawa kelompok berbeda.

Sudah bikin ormas, masing-masing ormas ada variannya juga. Misalnya NU dengan Islam Nusantaranya. Ada yang setuju dengan gerakan Islam Nusantara, ada juga yang nggak setuju. Lha yang setuju juga banyak variannya. Ada yang anti arab, ada yang nggak. Ada yang anti jenggot, ada yang nggak. Ada yang anti gamis, ada yang nggak.

Pendukung Islam Nusantara juga ada yang washatiyah (moderat) juga. Orang washatiyah itu biasanya menghindari pro kanan, menghindari pro kiri, bahkan menghindari pro tengah juga. Padahal dia ada di tengah. Intinya nggak mau menyinggung siapa pun.

Ane nanya sama ustadz yang juga pendukung Islam Nusantara berjenis washatiyah. Untuk urusan praktik ibadah, apa bedanya antara NU dengan Islam Nusantara? Ustadz itu bilang, nggak ada bedanya. Lha kalau nggak ada bedanya, boleh nggak ane bilang, ane nggak mau IN maunya NU saja.

Dia bilang, ya boleh saja. Kan IN itu cuma istilah sebagaimana Islam tradisional dan Islam modernis tidak lebih dari sebuah istilah akademis. Jadi tergantung kesukaan. Mau pake istilah lama atau baru.

Dia melanjutkan, cuma gawatnya, istilah ini dibesar-besarkan seolah berhubungan dengan akidah. Islam Nusantara dipahami seolah ia akidah tersendiri. Padahal kalau ditelisik, ya tetap aja ikut imam Asyari dan imam Maturidi. Tetap NU.

Ane mancing dia. Ane nanya soal kyai yang anti Arab. Sebagai IN washatiyah tentu saja dia tidak mau terpancing. Dia memahami anti arab itu bukan berarti anti Islam. Cuma sebagai perlawanan terhadap pemahaman keagamaan yang tidak membumi di Indonesia. Atau meminjam istilah usul fikih -pemahaman Islam yang tidak shalih likulli zaman wal makan. Pemahaman Islam berdasar konteks Arab yang ingin dipaksakan penerapannya di Indonesia.

Ane penasaran, ane perjelas lagi pertanyaannya. Tapi Pak Kyai itu bilang terang-terangan kalau Islam Arab itu menyebarkan Islam dengan menjajah bangsa lain, beda dengan penyebaran Islam di Nusantara. Kewasahtiyahannya nggak goyah. Dia bilang, kita sih tetap menghormati keilmuannya, jika memang Pak Kiai yg dimaksud tergolong ahlul ilmi.

Akan tetapi, jika dikatakan Islam Arab itu penjajah (menimbang ia berbicara dalam konteks politik), barangkali yang dimaksud adalah penyebarannya hingga ke luar negeri. Tetapi, dengan tidak mengurangi kapasitas kekiai-annya, rasanya memang berat jika dikatakan Islam Arab -sebagaimana yang saya pahami dari yang ia maksud- sebagai penjajah.

Sebab, ekspansi Islam pada masa lampau juga harus diletakkan pada konteksnya. Dan pada waktu itu, mengekspansi negara tetangga sudah menjadi kelaziman. Tidak ada yang berteriak HAM. Juga tidak ada PBB. Yang membedakan, ekspansi yang dilakukan pemerintahan Islam pada masa itu justru untuk membubarkan kezaliman, utamanya yang dilakukan Romawi dan Persia.

Begitulah cara ustadz NU menghormati ulama. Walaupun ada sedikit perbedaan pendapat, tapi tetap menghormati keilmuan Pak Kyai yang dihormatinya, apa pun yang diucapkannya.

Ane paham sih apa maskud ustadz itu. Soal penjajahan (ekspansi) jangan disamakan dengan konteks sekarang. Pada masa itu kan untuk mempertahankan wilayah sebuah negara, kalau nggak mau dijajah oleh negara super power, belum lagi kaum petualang semacam Jengis Khan, ya harus menundukkan negara sekitarnya untuk membuat benteng pertahanan walaupun harus sampai keseberang benua. Kata pesebak bola Belanda, pertahanan terbaik adalah menyerang.

Jauh sebelumnya, Tuhan memerintahkan kepada Nabi Musa dan kaumnya untuk tinggal di bumi Palestina. Tapi karena untuk tinggal di Palestina kan mereka harus berhadapan dengan pribumi di sana. Berhubung setelah diintip pribuminya badannya besar-besar dan gagah pula, kaum nabi Musa ciut dia punya nyali, menolak tinggal di sana sampai akhirnya Tuhan menghukumnya menjadi kaum yang linglung, mondar mandir tak tentu arah selama puluhan tahun.

Kembali ke soal IN dan NU. Kalau nggak ada bedanya, kenapa harus melemparkan gagasan IN tanpa penjelasan yang cukup pula. Penjelasan ustadz di atas sebenarnya sudah cukup. Tapi untuk urusan ormas ane tergolong washatiyah, nggak NU ngak juga Muhammadiyah, nggak juga ormas lainnya. Maka ane cuma bisa bilang, gagasan IN supaya bikin rame aje. Nggak ada loe nggak rame, kata iklan rokok.

Mau ngomongin apa lagi?

***

15072018